Kereta Kedungsepur Hanya Berumur 50 Hari
A
A
A
SEMARANG - Kereta Api (KA) Komuter Kedungsepur dengan rute Stasiun Gubug (Kabupaten Grobogan)-Stasiun Weleri (Kabupaten Kendal) terpaksa dihentikan operasionalnya lantaran minim peminat.
Tarif Rp15.000 untuk sekali perjalanan diduga menjadi penyebabnya. Penghentian operasional KA Kedungsepur telah dilakukan sejak sepekan terakhir. Sejak diluncurkan 28 September 2014 lalu, kereta dengan fasilitas setara kelas bisnis ini ternyata belum banyak menarik minat masyarakat, terutama pekerja dari Gubug dan Weleri. Alhasil, setiap hari okupansinya sangat minim.
Humas KAI Daop 4 Semarang Suprapto mengatakan, penghentian operasional KA Kedungsepur hanya sementara. KAI akan menata ulang dan mencari formula terbaik agar okupansinya memuaskan. Saat ini Daop 4 juga sedang menunggu dana Publik Service Obligation (PSO) dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk menyubsidi tarif kereta. “Rencananya PSO diberikan pada Januari mendatang,” ujarnya kemarin.
Menurut Suprapto, jam operasional KA Kedungsepur sebenarnya sudah sesuai dengan kebutuhan para pekerja dari Gubug. Sesuai jadwal, KA berangkat dari Stasiun Gubug pada pukul 06.00 WIB, dan sampai di Stasiun Poncol Semarang pada pukul 06.43 WIB. Dengan jadwal tersebut, para pekerja dari Gubug tidak akan terlambat masuk kerja.
Untuk pulang kerja, para pekerja tetap bisa memanfaatkan moda KA karena keberangkatan komuter ini dari Stasiun Poncol pukul 17.10 WIB. Jam pulang kerja rata-rata pukul 16.00 WIB sehingga masih ada waktu bagi pekerja menuju Stasiun Poncol. Suprapto membenarkan pekerja dari Weleri memang tidak bisa menikmati KA Kedungsepur karena waktu berangkat dari Stasiun Weleri pukul 07.50 dan sampai Semarang pada pukul 08.32 WIB.
Dengan kata lain, bagi pekerja kantoran tentu akan terlambat masuk kantor jika menggunakan moda KA. Minimnya minat masyarakat menggunakan KA Kedungsepur tidak lepas dari mahalnya harga tiket untuk sekali jalan yakni Rp15.000 per orang.
Nilai itu dirasa sangat memberatkan pekerja dari Gubug. Mereka menilai lebih hemat naik sepeda motor. Muh Munir, 32, warga Gubug menilai harga tiket yang ditetapkan PT KAI masih terlalu tinggi. Apalagi tiket tersebut berlaku flat yang artinya jauh dekat harganya sama. “Ya mendingan naik sepeda motor, Rp15.000 sudah bisa pulang pergi,” ucapnya.
Karena itu, warga sangat mengharapkan PT KAI memberlakukan tiket dengan harga yang lebih terjangkau. “Saya pernah mencoba sekali karena penasaran. Dan memang kondisi keretanya sangat bagus dan nyaman, tapi kalau dengan harga tiket semahal itu tetap keberatan,” katanya.
Pengamat transportasi Unika Soegijapranata Semarang Djoko Setijowarno berpendapat, tarif Rp15.000 sangat tidak menarik bagi masyarakat, terutama pekerja karena membuat alokasi anggaran transportasi membengkak. Meski okupansi tidak sesuai harapan, seharusnya PT KAI tidak menghentikan operasional KA Kedungsepur. Sebab, KAI bisa meminta subsidi kepada pemerintah pusat maupun daerah.
Berdasarkan UU Nomor 23/2007 tentang Perkeretaapian, pemerintah bisa memberikan PSO atau subsidi terhadap KA yang dianggap perintis. “Kebetulan saat ini pemerintah menghapus PSO untuk KA ekonomi jarak jauh, dan hanya memberikan subsidi untuk kereta ekonomi lokal. Selain itu, juga bisa meminta subsidi dari pemerintah provinsi Jateng,” katanya.
Atas hal ini, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo semestinya proaktif karena dana subsidi sudah ada di pusat, sedangkan pemerintah daerah tinggal mengajukan permohonan subsidi untuk KA Komuter. “Kalau ada subsidi harga tiket bisa menjadi Rp3.000. Dengan harga subsidi tersebut maka dipastikan komuter akan mampu menjadi transportasi pilihan masyarakat,” ujarnya.
Andik Sismanto
Tarif Rp15.000 untuk sekali perjalanan diduga menjadi penyebabnya. Penghentian operasional KA Kedungsepur telah dilakukan sejak sepekan terakhir. Sejak diluncurkan 28 September 2014 lalu, kereta dengan fasilitas setara kelas bisnis ini ternyata belum banyak menarik minat masyarakat, terutama pekerja dari Gubug dan Weleri. Alhasil, setiap hari okupansinya sangat minim.
Humas KAI Daop 4 Semarang Suprapto mengatakan, penghentian operasional KA Kedungsepur hanya sementara. KAI akan menata ulang dan mencari formula terbaik agar okupansinya memuaskan. Saat ini Daop 4 juga sedang menunggu dana Publik Service Obligation (PSO) dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk menyubsidi tarif kereta. “Rencananya PSO diberikan pada Januari mendatang,” ujarnya kemarin.
Menurut Suprapto, jam operasional KA Kedungsepur sebenarnya sudah sesuai dengan kebutuhan para pekerja dari Gubug. Sesuai jadwal, KA berangkat dari Stasiun Gubug pada pukul 06.00 WIB, dan sampai di Stasiun Poncol Semarang pada pukul 06.43 WIB. Dengan jadwal tersebut, para pekerja dari Gubug tidak akan terlambat masuk kerja.
Untuk pulang kerja, para pekerja tetap bisa memanfaatkan moda KA karena keberangkatan komuter ini dari Stasiun Poncol pukul 17.10 WIB. Jam pulang kerja rata-rata pukul 16.00 WIB sehingga masih ada waktu bagi pekerja menuju Stasiun Poncol. Suprapto membenarkan pekerja dari Weleri memang tidak bisa menikmati KA Kedungsepur karena waktu berangkat dari Stasiun Weleri pukul 07.50 dan sampai Semarang pada pukul 08.32 WIB.
Dengan kata lain, bagi pekerja kantoran tentu akan terlambat masuk kantor jika menggunakan moda KA. Minimnya minat masyarakat menggunakan KA Kedungsepur tidak lepas dari mahalnya harga tiket untuk sekali jalan yakni Rp15.000 per orang.
Nilai itu dirasa sangat memberatkan pekerja dari Gubug. Mereka menilai lebih hemat naik sepeda motor. Muh Munir, 32, warga Gubug menilai harga tiket yang ditetapkan PT KAI masih terlalu tinggi. Apalagi tiket tersebut berlaku flat yang artinya jauh dekat harganya sama. “Ya mendingan naik sepeda motor, Rp15.000 sudah bisa pulang pergi,” ucapnya.
Karena itu, warga sangat mengharapkan PT KAI memberlakukan tiket dengan harga yang lebih terjangkau. “Saya pernah mencoba sekali karena penasaran. Dan memang kondisi keretanya sangat bagus dan nyaman, tapi kalau dengan harga tiket semahal itu tetap keberatan,” katanya.
Pengamat transportasi Unika Soegijapranata Semarang Djoko Setijowarno berpendapat, tarif Rp15.000 sangat tidak menarik bagi masyarakat, terutama pekerja karena membuat alokasi anggaran transportasi membengkak. Meski okupansi tidak sesuai harapan, seharusnya PT KAI tidak menghentikan operasional KA Kedungsepur. Sebab, KAI bisa meminta subsidi kepada pemerintah pusat maupun daerah.
Berdasarkan UU Nomor 23/2007 tentang Perkeretaapian, pemerintah bisa memberikan PSO atau subsidi terhadap KA yang dianggap perintis. “Kebetulan saat ini pemerintah menghapus PSO untuk KA ekonomi jarak jauh, dan hanya memberikan subsidi untuk kereta ekonomi lokal. Selain itu, juga bisa meminta subsidi dari pemerintah provinsi Jateng,” katanya.
Atas hal ini, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo semestinya proaktif karena dana subsidi sudah ada di pusat, sedangkan pemerintah daerah tinggal mengajukan permohonan subsidi untuk KA Komuter. “Kalau ada subsidi harga tiket bisa menjadi Rp3.000. Dengan harga subsidi tersebut maka dipastikan komuter akan mampu menjadi transportasi pilihan masyarakat,” ujarnya.
Andik Sismanto
(ftr)