Mimpi Ramai Dikunjungi Pelancong Mancanegara
A
A
A
Setiap harinya, panggung terbuka di Padepokan Seni Mayang Sunda, di Jalan Peta, No 209, Kota Bandung tak pernah sepi ber bagai aktivitas. Tempat itu men jadi pilihan ko mu nitas untuk berlatih, diskusi hingga menggelar pertunjukan.
Kendati belum tercatat sebagai bangunan heritage, tempat yang sering digunakan para seniman itu rupanya memiliki nilai sejarah tersendiri. Ge dunggedung itu mulai dibangun sejak 1987, sebagai ka karen atas pelaksanaan Festival Film Indonesia (FFI) yang di selenggarakan di Kota Kembang. Lahan milik pemerintah kota itu pun kemudian dibangun dan di jadikan tempat untuk kegiatan seni. Pengurus gedung ini pun sempat berganti-ganti. Berawal dari penggunaan kantor pariwisata, kemudian menjadi yayasan, hingga akhirnya dikelola kembali menjadi kantor wisata.
Dalam perjalananya, pada 2012 gedung seni ini resmi dinamakan Padepokan Seni Mayang Sunda, dengan proses sa yembara kepada masyarakat luas. Kendati telah berdiri lebih dari 20 tahun yang lalu, hingga kini banyak warga Kota Bandung yang belum mengetahui ke beradaan padepokan seni ini. Pa dahal tempat ini dicitacita kan sebagai salah satu destinasi wisatawan asing ketika datang ke Bandung, khususnya untuk memerkenalkan keanekaragaman seni tradisi tatar sunda.
“Kami tetap berupaya memfasilitasi berbagai ak tivitas seniman dan budayawan. Kami ber harap, budaya tradisi bisa tetap dilestarikan, dan para seniman yang terlibat bisa sejahtera. Bahkan kami bercitacita, tempat ini bisa me njadi salah satu tujuan wisatawan asing yang berkunjung ke kota Bandung,” tutur Kepala UPT Padepokan Seni Mayang Sunda Sri Susiagawati.
Namun da lam mewujudkannya cita-cita besar itu, perlu tahapan panjang, minimal nama tempat ini dikenal masyarakat. “Sekarang ini masih banyak yang belum me nge tahui keberadaan tempat ini, Padepokan Mayang itu di mana? Di sebelah mana? setelah banyak dikenal, strategi untuk menjadikan tempat ini menjadi tujuan wisata budaya tentu lebih mudah,” jelas Wati. Setelah satu tahun di fungsi kannya kembali, pihak Padepokan Seni Mayang Sunda juga mulai memerhatikan geliat kualitas pertunjukan seni dan budaya.
Bahkan kegiatan pertunjukan yang disuguhkan melibatkan pihak kurator dari seniman dan akademisi. Sejumlah pertunjukan yang sempat terpantau diantara yakni “Kidung Kampiun Bandung” pada September lalu, pembinaan teater dan workshop karinding kepada pelajar beberapa waktu lalu.
“Kami tak ingin asal-asalan, karena kami juga ingin memiliki modal (ciri khas) yang menjadi daya tarik seperti Saung Angklung Udjo. Event berkelanjutan sebagai daya tarik sudah dilakukan, dan target tujuan wisata budaya juga mulai dilakukan dengan melakukan diskusi dengan berbagai stake holder,” tutur Wati.
Memperhatikan berbagai fasilitasnya, padepokan ini juga cukup representatif sebagai tempat aktivitas pertunjukan. Untuk ruang indoorsaja, para pengunjung bisa merasakan kenyamanan saat menikmati suguhan pertunjukan, baik dari kualitas sound, lightingdan kursi penonton. Meski untuk skala outdoor, berbagai fasilitas harus terus dibenahi. “Di 2014 ini kami terus mengadakan event berkelanjutan sebagai agenda pembinaan dan pencitraan. Target 2015 mampu mewujudkan tempat ini menjadi bagian wisata budaya akan semakin dimatangkan.
Sementara pada 2016, kami berharap sudah bisa running,” ungkapnya. Meski hingga kini tak sedikit ditemui wisatawan asing yang berkunjung langsung ke padepokan ini untuk menonton berbagai pertunjukan, namun kehadiran mereka saat itu baru dalam lingkup kerja sama dengan komunitas yang ada. Seperti kegiatan pertukaran pelajar, atau kegiatan sejenis lainnya.
“Untuk mempersiapkan ciri khas atau kojo yang bisa dijual se bagai aset wisata budaya, kami terus melakukan riset dan diskusi. Bahkan FGD terus dilakukan untuk memonitoring apa yang sudah dan akan dikerjakan kedepannya,” ujarnya.
Heru Muthahari
Kota Bandung
Kendati belum tercatat sebagai bangunan heritage, tempat yang sering digunakan para seniman itu rupanya memiliki nilai sejarah tersendiri. Ge dunggedung itu mulai dibangun sejak 1987, sebagai ka karen atas pelaksanaan Festival Film Indonesia (FFI) yang di selenggarakan di Kota Kembang. Lahan milik pemerintah kota itu pun kemudian dibangun dan di jadikan tempat untuk kegiatan seni. Pengurus gedung ini pun sempat berganti-ganti. Berawal dari penggunaan kantor pariwisata, kemudian menjadi yayasan, hingga akhirnya dikelola kembali menjadi kantor wisata.
Dalam perjalananya, pada 2012 gedung seni ini resmi dinamakan Padepokan Seni Mayang Sunda, dengan proses sa yembara kepada masyarakat luas. Kendati telah berdiri lebih dari 20 tahun yang lalu, hingga kini banyak warga Kota Bandung yang belum mengetahui ke beradaan padepokan seni ini. Pa dahal tempat ini dicitacita kan sebagai salah satu destinasi wisatawan asing ketika datang ke Bandung, khususnya untuk memerkenalkan keanekaragaman seni tradisi tatar sunda.
“Kami tetap berupaya memfasilitasi berbagai ak tivitas seniman dan budayawan. Kami ber harap, budaya tradisi bisa tetap dilestarikan, dan para seniman yang terlibat bisa sejahtera. Bahkan kami bercitacita, tempat ini bisa me njadi salah satu tujuan wisatawan asing yang berkunjung ke kota Bandung,” tutur Kepala UPT Padepokan Seni Mayang Sunda Sri Susiagawati.
Namun da lam mewujudkannya cita-cita besar itu, perlu tahapan panjang, minimal nama tempat ini dikenal masyarakat. “Sekarang ini masih banyak yang belum me nge tahui keberadaan tempat ini, Padepokan Mayang itu di mana? Di sebelah mana? setelah banyak dikenal, strategi untuk menjadikan tempat ini menjadi tujuan wisata budaya tentu lebih mudah,” jelas Wati. Setelah satu tahun di fungsi kannya kembali, pihak Padepokan Seni Mayang Sunda juga mulai memerhatikan geliat kualitas pertunjukan seni dan budaya.
Bahkan kegiatan pertunjukan yang disuguhkan melibatkan pihak kurator dari seniman dan akademisi. Sejumlah pertunjukan yang sempat terpantau diantara yakni “Kidung Kampiun Bandung” pada September lalu, pembinaan teater dan workshop karinding kepada pelajar beberapa waktu lalu.
“Kami tak ingin asal-asalan, karena kami juga ingin memiliki modal (ciri khas) yang menjadi daya tarik seperti Saung Angklung Udjo. Event berkelanjutan sebagai daya tarik sudah dilakukan, dan target tujuan wisata budaya juga mulai dilakukan dengan melakukan diskusi dengan berbagai stake holder,” tutur Wati.
Memperhatikan berbagai fasilitasnya, padepokan ini juga cukup representatif sebagai tempat aktivitas pertunjukan. Untuk ruang indoorsaja, para pengunjung bisa merasakan kenyamanan saat menikmati suguhan pertunjukan, baik dari kualitas sound, lightingdan kursi penonton. Meski untuk skala outdoor, berbagai fasilitas harus terus dibenahi. “Di 2014 ini kami terus mengadakan event berkelanjutan sebagai agenda pembinaan dan pencitraan. Target 2015 mampu mewujudkan tempat ini menjadi bagian wisata budaya akan semakin dimatangkan.
Sementara pada 2016, kami berharap sudah bisa running,” ungkapnya. Meski hingga kini tak sedikit ditemui wisatawan asing yang berkunjung langsung ke padepokan ini untuk menonton berbagai pertunjukan, namun kehadiran mereka saat itu baru dalam lingkup kerja sama dengan komunitas yang ada. Seperti kegiatan pertukaran pelajar, atau kegiatan sejenis lainnya.
“Untuk mempersiapkan ciri khas atau kojo yang bisa dijual se bagai aset wisata budaya, kami terus melakukan riset dan diskusi. Bahkan FGD terus dilakukan untuk memonitoring apa yang sudah dan akan dikerjakan kedepannya,” ujarnya.
Heru Muthahari
Kota Bandung
(ars)