Antisipasi Banjir-Longsor Tak Tuntas
A
A
A
SEMARANG - Bencana banjir dan longsor selalu mengintai Jateng seiring datangnya musim hujan. Awal 2014 lalu, bencana itu merengut puluhan nyawa, memporak-porandakan rumah warga, jalan raya, dan lahan pertanian.
Kondisi yang sama bisa terulang akhir tahun ini. Antisipasi bencana yang tidak maksimal semakin memperparah ancaman bencana. Berdalih anggaran tidak mencukupi, belum semua sungai dan saluran yang ada provinsi di Jateng bisa dinormalisasi. Tak pelak, limpasan air dari berbagai sungai itu menjadi ancaman utama. Prediksi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Semarang, pada November ini, di sejumlah daerah curah hujan ada yang mencapai 401-500 mm.
Curah hujan dengan angka tersebut masuk kategori sangat tinggi. (lihat tabel grafis) Kepala Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Jateng Prasetyo Budhie Yuwono mengungkapkan, anggaran untuk normalisasi sungai dari APBD 2014 Jateng sebesar Rp27 miliar. Sementara dari APBN sebanyak Rp100 miliar.
“Dana itu masih kurang untuk normalisasi semua sungai di Jateng yang jumlahnya mencapai 128 sungai,” paparnya. Awal 2014 lalu, selain menelan korban jiwa, bencana banjir dan longsor di berbagai daerah juga mengakibatkan kerugian sebesar Rp3 triliun. Selama ini, Jawa Tengah tercatat sebagai salah satu provinsi dengan ancaman bencana yang cukup tinggi.
Beragam bencana selalu mengintai provinsi dengan jumlah penduduk 33,679 juta jiwa ini. Pada musim penghujan rawan bencana banjir, tanah longsor terjadi. Musim kemarau, bencana kekeringan dan kebakaran selalu muncul. Menurut Prasetyo, pada tahun ini beberapa titik jalan pantura terancam banjir akibat luapan sejumlah sungai. Sungai-sungai itu antara lain, Kali Babakan dan Cisanggarung di Brebes, Sungai Comal di Pemalang, Kali Blorong, Blukar, Bodri di Kendal, Kali Beringin dan Tenggang di Semarang, Kali Wulan di Kudus, serta Sungai Juwono dan Logung di Pati.
“Sungainya sudah dinormalisasi, tapi belum optimal karena anggaran terbatas,” ujarnya. Banjir yang terjadi di daerah pantura itu, jelas dia, bukan semata karena kondisi sungai yang tidak normal, tapi juga resapan air di daerah hulu yang sudah banyak berkurang. Tak pelak, air hujan mudah melimpas ke sungai. “Bersama Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) kami hanya bisa melakukan normalisasi sungai dan perbaikan-perbaikan tanggul saja.
Sedangkan untuk pembenahan resapan air di daerah tangkapan, wilayahnya pemerintah kabupaten/kota,” bebernya. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jateng Sarwa Permana menjelaskan, banjir yang terjadi di beberapa daerah beberapa waktu lalu dikarenakan belum optimalnya pengelolaan sungai. “Sungai sering meluap sehingga tanggulnya jebol. Hal ini karena pengendalian air di sungai tersebut kurang baik,” ujarnya.
Adapun untuk bencana longsor dikarenakan tanah di sejumlah daerah yang ditempati warga merupakan daerah retakan atau tanah labil. “Namun untuk mengarahkan warga agar mau direlokasi hingga kini masih kesulitan,” akunya. Sarwa mengaku, Pemprov Jateng saat ini sudah menyiapkan anggaran sebanyak Rp3 miliar untuk antisipasi bantuan bencana banjir. Anggaran itu dialokasi ke Badan Koordinator Wilayah (bakorwil) yang ada di provinsi ini.
“Tahun ini kami juga menganggarkan bantuan logistic untuk bencana sebanyak Rp1,1 miliar. Jenis logistiknya macam-macam,” tutur dia. Sementara itu, anggota DPRD Jateng Muh Zen mengingatkan Pemprov Jateng agar upaya menjaga kelestarian lingkungan harus terus digalakkan. Sebab, antisipasi tanpa menggalakkan kelestarian lingkungan, hasilnya tidak akan maksimal. “Semua harus tahu, Jateng ini rawan akan berbagai bencana. Jadi harus ada tindakan konkret untuk mencegah, meminimalisir,” tandasnya.
Berpacu dengan Waktu
Banjir dan longsor awal tahun 2014 lalu mengakibatkan kerusakan hebat pada sejumlah jalan dan jembatan yang berada di naungan pemerintah provinsi JawaTengah. Kepala Bidang Bina Teknik Dinas Bina Marga Jateng Hanung Triyono mengungkapkan, jalan yang rusak karena terandam banjir awal tahun itu antara lain di adalah Tegal, Pekalongan, Kendal, Kota Semarang, Kudus, Pati, Jepara, dan Demak. “Tapi itu di titik tertentu, tidak merata,” katanya.
Hanung mengaku sudah melakukan perbaikan di titik jalanjalan tersebut. Sebagian besar diperbaiki dengan cara dibeton. Hingga saat ini,progress pembangunanya sudah mencapai antara 80-90%. Dia menargetkan pembangunan itu akan selesai semua pada pertengahan Desember mendatang. Dengan dibeton, lanjut Hanung, kualaitas peningkatan jalan itu bisa bertahan dari lima sampai 10 tahun.
Namun, kalau terkena banjir besar lagi, ia tidak bisa menjamin kualitasnya bisa bertahan selama itu. Melimpasnya air hujan penyebab banjir yang mengakibatkan jalan raya rusak, salahsatunya diakibatkan pemerintah kabupaten/kota kerap melanggar rencana tata ruang wilayah (RTRW).
Menurutnya, ruang milik jalan hingga kini kerap dijadikan sebagai lahan parkir, berdagang, bahkan untuk menimbun barang, dan sebagainya. Tak pelak, saluran drainase kerapkali tidak berfungsi karena mampet. Hanung menambahkan, seharusnya pemerintah kabupaten/ kota di Jawa Tengah sudah mulai membuat peta drainase di daerahnya masing-masing, sehingga ketika melakukan perbaikan bisa terintegrasi sesuai dengan peta tersebut.
“Kalau perbaikan drainasenya sepotong- potong akan sama saja,” tegasnya. Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jateng Arief Zayin berpendapat, sebagian besar bencana alam yang terjadi di provinsi ini akibat faktor manusia. “Banyak kerusakan lingkungan akibat aktifitas manusia sendiri.
Mulai galian C, hilangnya kawasan resapan, hingga reklamasi. Penataan wilayah yang sampai sekarang masih abai terhadap pelestarian lingkungan,” katanya. Arief bependapat, semua kebijakan pemerintah daerah yangdikeluarkanselalusaja tidak berpihak kepada pelestarian lingkungan. Menurutnya, banyak kebijakan yang lebih mengarah bagaimana peningkatan ekonomi namun tidak memikirkan dampak lingkungannya. “Semua kawasan yang seharusnya lestari jadi pemukiman dan kawasan industri. Ini sangat parah,” bebernya.
Amin fauzi
Kondisi yang sama bisa terulang akhir tahun ini. Antisipasi bencana yang tidak maksimal semakin memperparah ancaman bencana. Berdalih anggaran tidak mencukupi, belum semua sungai dan saluran yang ada provinsi di Jateng bisa dinormalisasi. Tak pelak, limpasan air dari berbagai sungai itu menjadi ancaman utama. Prediksi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Semarang, pada November ini, di sejumlah daerah curah hujan ada yang mencapai 401-500 mm.
Curah hujan dengan angka tersebut masuk kategori sangat tinggi. (lihat tabel grafis) Kepala Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Jateng Prasetyo Budhie Yuwono mengungkapkan, anggaran untuk normalisasi sungai dari APBD 2014 Jateng sebesar Rp27 miliar. Sementara dari APBN sebanyak Rp100 miliar.
“Dana itu masih kurang untuk normalisasi semua sungai di Jateng yang jumlahnya mencapai 128 sungai,” paparnya. Awal 2014 lalu, selain menelan korban jiwa, bencana banjir dan longsor di berbagai daerah juga mengakibatkan kerugian sebesar Rp3 triliun. Selama ini, Jawa Tengah tercatat sebagai salah satu provinsi dengan ancaman bencana yang cukup tinggi.
Beragam bencana selalu mengintai provinsi dengan jumlah penduduk 33,679 juta jiwa ini. Pada musim penghujan rawan bencana banjir, tanah longsor terjadi. Musim kemarau, bencana kekeringan dan kebakaran selalu muncul. Menurut Prasetyo, pada tahun ini beberapa titik jalan pantura terancam banjir akibat luapan sejumlah sungai. Sungai-sungai itu antara lain, Kali Babakan dan Cisanggarung di Brebes, Sungai Comal di Pemalang, Kali Blorong, Blukar, Bodri di Kendal, Kali Beringin dan Tenggang di Semarang, Kali Wulan di Kudus, serta Sungai Juwono dan Logung di Pati.
“Sungainya sudah dinormalisasi, tapi belum optimal karena anggaran terbatas,” ujarnya. Banjir yang terjadi di daerah pantura itu, jelas dia, bukan semata karena kondisi sungai yang tidak normal, tapi juga resapan air di daerah hulu yang sudah banyak berkurang. Tak pelak, air hujan mudah melimpas ke sungai. “Bersama Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) kami hanya bisa melakukan normalisasi sungai dan perbaikan-perbaikan tanggul saja.
Sedangkan untuk pembenahan resapan air di daerah tangkapan, wilayahnya pemerintah kabupaten/kota,” bebernya. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jateng Sarwa Permana menjelaskan, banjir yang terjadi di beberapa daerah beberapa waktu lalu dikarenakan belum optimalnya pengelolaan sungai. “Sungai sering meluap sehingga tanggulnya jebol. Hal ini karena pengendalian air di sungai tersebut kurang baik,” ujarnya.
Adapun untuk bencana longsor dikarenakan tanah di sejumlah daerah yang ditempati warga merupakan daerah retakan atau tanah labil. “Namun untuk mengarahkan warga agar mau direlokasi hingga kini masih kesulitan,” akunya. Sarwa mengaku, Pemprov Jateng saat ini sudah menyiapkan anggaran sebanyak Rp3 miliar untuk antisipasi bantuan bencana banjir. Anggaran itu dialokasi ke Badan Koordinator Wilayah (bakorwil) yang ada di provinsi ini.
“Tahun ini kami juga menganggarkan bantuan logistic untuk bencana sebanyak Rp1,1 miliar. Jenis logistiknya macam-macam,” tutur dia. Sementara itu, anggota DPRD Jateng Muh Zen mengingatkan Pemprov Jateng agar upaya menjaga kelestarian lingkungan harus terus digalakkan. Sebab, antisipasi tanpa menggalakkan kelestarian lingkungan, hasilnya tidak akan maksimal. “Semua harus tahu, Jateng ini rawan akan berbagai bencana. Jadi harus ada tindakan konkret untuk mencegah, meminimalisir,” tandasnya.
Berpacu dengan Waktu
Banjir dan longsor awal tahun 2014 lalu mengakibatkan kerusakan hebat pada sejumlah jalan dan jembatan yang berada di naungan pemerintah provinsi JawaTengah. Kepala Bidang Bina Teknik Dinas Bina Marga Jateng Hanung Triyono mengungkapkan, jalan yang rusak karena terandam banjir awal tahun itu antara lain di adalah Tegal, Pekalongan, Kendal, Kota Semarang, Kudus, Pati, Jepara, dan Demak. “Tapi itu di titik tertentu, tidak merata,” katanya.
Hanung mengaku sudah melakukan perbaikan di titik jalanjalan tersebut. Sebagian besar diperbaiki dengan cara dibeton. Hingga saat ini,progress pembangunanya sudah mencapai antara 80-90%. Dia menargetkan pembangunan itu akan selesai semua pada pertengahan Desember mendatang. Dengan dibeton, lanjut Hanung, kualaitas peningkatan jalan itu bisa bertahan dari lima sampai 10 tahun.
Namun, kalau terkena banjir besar lagi, ia tidak bisa menjamin kualitasnya bisa bertahan selama itu. Melimpasnya air hujan penyebab banjir yang mengakibatkan jalan raya rusak, salahsatunya diakibatkan pemerintah kabupaten/kota kerap melanggar rencana tata ruang wilayah (RTRW).
Menurutnya, ruang milik jalan hingga kini kerap dijadikan sebagai lahan parkir, berdagang, bahkan untuk menimbun barang, dan sebagainya. Tak pelak, saluran drainase kerapkali tidak berfungsi karena mampet. Hanung menambahkan, seharusnya pemerintah kabupaten/ kota di Jawa Tengah sudah mulai membuat peta drainase di daerahnya masing-masing, sehingga ketika melakukan perbaikan bisa terintegrasi sesuai dengan peta tersebut.
“Kalau perbaikan drainasenya sepotong- potong akan sama saja,” tegasnya. Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jateng Arief Zayin berpendapat, sebagian besar bencana alam yang terjadi di provinsi ini akibat faktor manusia. “Banyak kerusakan lingkungan akibat aktifitas manusia sendiri.
Mulai galian C, hilangnya kawasan resapan, hingga reklamasi. Penataan wilayah yang sampai sekarang masih abai terhadap pelestarian lingkungan,” katanya. Arief bependapat, semua kebijakan pemerintah daerah yangdikeluarkanselalusaja tidak berpihak kepada pelestarian lingkungan. Menurutnya, banyak kebijakan yang lebih mengarah bagaimana peningkatan ekonomi namun tidak memikirkan dampak lingkungannya. “Semua kawasan yang seharusnya lestari jadi pemukiman dan kawasan industri. Ini sangat parah,” bebernya.
Amin fauzi
(bbg)