Mantan TKW itu Kini Jadi Guru
A
A
A
GARUT - Selain isteri kepala desa, pengalaman sebagai tenaga kerja wanita (TKW) pun rupanya pernah dijalani oleh dua orang guru di Kampung Cigadog, Desa Cigadog, Kecamatan Sucinaraja Garut, Jawa Barat.
Salah satu guru yang kini berstatus sebagai pegawai negeri sipil (PNS), Euis Dedeh Karmanah (48), mengaku pernah menjadi buruh migran di Timur Tengah selama dua tahun, yakni pada 1987 hingga 1989.
Guru SDN Cigadog 1 ini menuturkan, keberangkatan dirinya sebagai TKW dilakukan setelah lulus SMA. Sama seperti kaum perempuan di kampungnya, motif Euis menjadi TKW disebabkan karena ingin membantu meringankan perekonomian keluarga.
“Waktu baru lulus SMA, saya belum memikirkan untuk mencari pekerjaan apa. Yang terpikir adalah bagaimana bisa membantu ekonomi keluarga. Makanya saya pun memutuskan untuk pergi ke Arab Saudi untuk bekerja menjadi TKW,” kata Euis saat ditemui belum lama ini.
Euis sendiri mengaku tidak memiliki keahlian apa-apa sebagai modal sebagai asisten rumah tangga. Kemampuan bahasa Arabnya nol hingga dia meninggalkan kampung kelahirannya.
“Karena bahasa Arab itu nanti diberikan saat pelatihan di perusahaan penyalur. Selama satu bulan saat itu saya belajar mengenai bahasa, budaya, kebiasaan, dan lainnya,” ujarnya.
Meski telah mempelajari bahasa Arab sejak masih di pelatihan, ternyata tidak semua bahasa yang telah dipelajarinya berguna saat berkomunikasi dengan majikannya. Namun kondisi ini tidak membuat membuat kesalahpahaman yang berarti antara dirinya dengan majikan.
“Sebenarnya masih ada lagi bahasa lain yang belum bisa saya mengerti. Tapi tidak pernah sampai menyebabkan majikan marah karena apa yang disuruh dapat saya mengerti melalui gerak tubuh dari majikan. Seiring waktu berjalan, saya pun lambat laun mengerti dan bisa bahasa Arab ketika itu,” paparnya.
Selama di Arab, tepatnya di Riyadh, gajinya per bulan hanyalah sekitar Rp300 ribu atau sebesar 600 riyal.
“Gaji saya cuma sekitar Rp300 ribuan. Dulu kan dolar masih di bawah Rp2.000. Mata uang riyal juga masih rendah bila dikonversi ke rupiah,” ujarnya.
Sepulang ke Indonesia, Euis memutuskan tidak akan berangkat ke Arab Saudi lagi. Karena niat untuk melanjutkan jenjang pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi telah dia rencanakan saat masih bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
“Tak lama setelah pulang, saya mulai mengajar anak-anak SD. Alhamdulillah ada biaya untuk saya kuliah D-2. Aktivitas mengajar ini berlanjut hingga pada tahun 2000 saya diangkat menjadi PNS. Setelah PNS, saya kembali kuliah mengambil S 1 di bidang Pendidikan Agama Islam,” tuturnya.
Euis sendiri mengaku pengalaman hidup sebagai TKW akan selalu membekas diingatannya.
“Namun kalau berbicara soal bahasa Arab, sebagian besarnnya sudah lupa karena tidak pernah lagi mempraktikannya,” tutupnya.
Salah satu guru yang kini berstatus sebagai pegawai negeri sipil (PNS), Euis Dedeh Karmanah (48), mengaku pernah menjadi buruh migran di Timur Tengah selama dua tahun, yakni pada 1987 hingga 1989.
Guru SDN Cigadog 1 ini menuturkan, keberangkatan dirinya sebagai TKW dilakukan setelah lulus SMA. Sama seperti kaum perempuan di kampungnya, motif Euis menjadi TKW disebabkan karena ingin membantu meringankan perekonomian keluarga.
“Waktu baru lulus SMA, saya belum memikirkan untuk mencari pekerjaan apa. Yang terpikir adalah bagaimana bisa membantu ekonomi keluarga. Makanya saya pun memutuskan untuk pergi ke Arab Saudi untuk bekerja menjadi TKW,” kata Euis saat ditemui belum lama ini.
Euis sendiri mengaku tidak memiliki keahlian apa-apa sebagai modal sebagai asisten rumah tangga. Kemampuan bahasa Arabnya nol hingga dia meninggalkan kampung kelahirannya.
“Karena bahasa Arab itu nanti diberikan saat pelatihan di perusahaan penyalur. Selama satu bulan saat itu saya belajar mengenai bahasa, budaya, kebiasaan, dan lainnya,” ujarnya.
Meski telah mempelajari bahasa Arab sejak masih di pelatihan, ternyata tidak semua bahasa yang telah dipelajarinya berguna saat berkomunikasi dengan majikannya. Namun kondisi ini tidak membuat membuat kesalahpahaman yang berarti antara dirinya dengan majikan.
“Sebenarnya masih ada lagi bahasa lain yang belum bisa saya mengerti. Tapi tidak pernah sampai menyebabkan majikan marah karena apa yang disuruh dapat saya mengerti melalui gerak tubuh dari majikan. Seiring waktu berjalan, saya pun lambat laun mengerti dan bisa bahasa Arab ketika itu,” paparnya.
Selama di Arab, tepatnya di Riyadh, gajinya per bulan hanyalah sekitar Rp300 ribu atau sebesar 600 riyal.
“Gaji saya cuma sekitar Rp300 ribuan. Dulu kan dolar masih di bawah Rp2.000. Mata uang riyal juga masih rendah bila dikonversi ke rupiah,” ujarnya.
Sepulang ke Indonesia, Euis memutuskan tidak akan berangkat ke Arab Saudi lagi. Karena niat untuk melanjutkan jenjang pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi telah dia rencanakan saat masih bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
“Tak lama setelah pulang, saya mulai mengajar anak-anak SD. Alhamdulillah ada biaya untuk saya kuliah D-2. Aktivitas mengajar ini berlanjut hingga pada tahun 2000 saya diangkat menjadi PNS. Setelah PNS, saya kembali kuliah mengambil S 1 di bidang Pendidikan Agama Islam,” tuturnya.
Euis sendiri mengaku pengalaman hidup sebagai TKW akan selalu membekas diingatannya.
“Namun kalau berbicara soal bahasa Arab, sebagian besarnnya sudah lupa karena tidak pernah lagi mempraktikannya,” tutupnya.
(lis)