Profesi Turun-temurun, Penduduk Didominasi Kaum Pria
A
A
A
GARUT - Ada banyak perkampungan di Kabupaten Garut, Jawa Barat, yang dijuluki sebagai kampung tenaga kerja wanita (TKW). Sebutan ini melekat karena sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai TKW di luar negeri.
Berjarak sekitar 15 km dari pusat Kabupaten Garut, sebuah kampung TKW terletak di pedalaman dengan ketinggian lebih dari 1.000 mdpl. Kampung ini bernama Dusun Cigadog, salah satu pedusunan di Desa Cigadog, Kecamatan Sucinaraja, Garut.
Kampung tersebut berada di sebuah perbukitan dengan dominasi sebagian besar lahannya berupa areal pertanian yang dibuat secara berundak. Tanaman palawija hingga sayur-sayuran berupa kol dan lainnya tertanam subur di wilayah berpenduduk 6.000 jiwa, atau sekitar 1.557 kepala keluarga (KK) ini.
Terdapat banyak tanjakan disertai tikungan tajam sebelum bisa memasuki wilayah desa yang berbatasan langsung dengan Desa Parentas, Kecamatan Cigalontang, Tasikmalaya, ini.
Barisan bukit yang telah ditumbuhi komoditas sayur mayur tampak berjajar sebelum akhirnya rumah-rumah penduduk mulai ditemui.
Seperti dusun kebanyakan, infrastruktur fisik dari mulai tata letak rumah warga, jalan lingkungan, hingga sarana umum, seperti lapangan olah raga dan sekolah tampak normal seperti biasa.
Hanya memang, aktivitas warga di jalan-jalan dusun ini tergolong sepi karena sebagian besar warganya tidak berada di rumah untuk beberapa waktu tertentu.
Berbeda dengan jumlah penduduk wanita, penduduk pria tampak lebih banyak di kampung ini. Sebagian di antara para pria yang tidak mengerjakan aktivitas bertani, memilih duduk-duduk di beranda atau halaman rumahnya.
Mereka adalah para suami yang tengah ditinggal isteri bekerja ke luar negeri sebagai TKW. Sejumlah negara di kawasan Timur Tengah dan Asia Tenggara, tercatat sebagai negara tempat di mana kaum wanita di kampung ini bekerja.
“Namun demikian, bukan berarti hanya penduduk wanita saja yang bekerja di luar negeri. Ada juga beberapa penduduk pria yang juga ikut bekerja di luar negeri. Namun jika dihitung, jumlah penduduk wanita yang bekerja di luar negeri lebih banyak,” kata Kepala Desa Cigadog, Ayud Sukaedi, saat ditemui Rabu (5/11/2014).
Ayud menyebutkan, beberapa negara seperti Arab Saudi, Oman, Qatar, Yordania, Uni Eropa, dan beberapa negara kawasan Timur Tengah lebih diminati penduduk wanita di desanya.
Sementara, para pria yang bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI), rata-rata hanya membidik negara-negara Asia seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Korea.
“Penduduk wanita di desa kami juga ada yang bekerja di sejumlah negara Asia. Cuma jumlahnya sangat sedikit, kebanyakan pria. Itu juga bekerja di sektor perkebunan, jasa, buruh pabrik, dan menjadi pelayan toko. Paling banyak sektor perkebunan dan sedikit industri,” ujarnya.
Menurut Ayud, ekonomi menjadi faktor penyebab tingginya minat warganya memilih bekerja sebagai TKW atau TKI di negeri orang. Pilihan bekerja di luar negeri setidaknya telah membudaya di desanya sejak era tahun 80-an.
“Jumlah penduduk yang menjadi TKW atau TKI berkembang semakin pesat di tahun 90-an hingga akhir 2010. Meski saat ini penduduk yang bekerja ke luar negeri mulai menyusut, jumlahnya tetap terbilang banyak. Setidaknya ada sekitar 200 orang yang masih bekerja di luar negeri,” katanya.
Menurut Ayud, tidak diperlukan persyaratan khusus untuk menjadi seorang TKW dan TKI. Latar belakang pendidikan pun tidak diperlukan bagi mereka yang ingin bekerja di sektor jasa rumah tangga atau buruh perkebunan.
“Hanya cukup foto kopi KTP, foto kopi Kartu Keluarga (KK), surat izin suami atau isteri, dan surat izin orang tua. Itu saja,” sebutnya. Sementara untuk bekal pendidikan bahasa yang akan digunakan, sambung Ayud, akan disediakan pelatihan oleh perusahaan penyalur.
“Tidak ada modal uang. Karena siapapun yang akan diberangkatkan sebagai TKW atau TKI, akan dijemput langsung oleh perusahaan penyalur. Malah jika mereka yang lulus tes kesehatan di Jakarta itu akan diberi uang tunai sebesar Rp5 juta,” paparnya.
Saking membudayanya bekerja di luar negeri, ungkap Ayud, beberapa keluarga dari kalangan penduduk Cigadog pernah merasakan bagaimana menjadi seorang TKW atau TKI.
“Ada beberapa keluarga, dimulai dari ibunya, anak pertamanya, anak keduanya, bahkan anggota keluarganya yang lain pernah jadi TKW. Penyebabnya sederhana, karena para majikan mereka merasa sudah percaya dengan seseorang anggota keluarganya. Oleh karena itulah, bila ibunya berhenti bekerja menjadi TKW, selalu digantikan oleh anaknya. Begitu seterusnya,” ungkapnya.
Berjarak sekitar 15 km dari pusat Kabupaten Garut, sebuah kampung TKW terletak di pedalaman dengan ketinggian lebih dari 1.000 mdpl. Kampung ini bernama Dusun Cigadog, salah satu pedusunan di Desa Cigadog, Kecamatan Sucinaraja, Garut.
Kampung tersebut berada di sebuah perbukitan dengan dominasi sebagian besar lahannya berupa areal pertanian yang dibuat secara berundak. Tanaman palawija hingga sayur-sayuran berupa kol dan lainnya tertanam subur di wilayah berpenduduk 6.000 jiwa, atau sekitar 1.557 kepala keluarga (KK) ini.
Terdapat banyak tanjakan disertai tikungan tajam sebelum bisa memasuki wilayah desa yang berbatasan langsung dengan Desa Parentas, Kecamatan Cigalontang, Tasikmalaya, ini.
Barisan bukit yang telah ditumbuhi komoditas sayur mayur tampak berjajar sebelum akhirnya rumah-rumah penduduk mulai ditemui.
Seperti dusun kebanyakan, infrastruktur fisik dari mulai tata letak rumah warga, jalan lingkungan, hingga sarana umum, seperti lapangan olah raga dan sekolah tampak normal seperti biasa.
Hanya memang, aktivitas warga di jalan-jalan dusun ini tergolong sepi karena sebagian besar warganya tidak berada di rumah untuk beberapa waktu tertentu.
Berbeda dengan jumlah penduduk wanita, penduduk pria tampak lebih banyak di kampung ini. Sebagian di antara para pria yang tidak mengerjakan aktivitas bertani, memilih duduk-duduk di beranda atau halaman rumahnya.
Mereka adalah para suami yang tengah ditinggal isteri bekerja ke luar negeri sebagai TKW. Sejumlah negara di kawasan Timur Tengah dan Asia Tenggara, tercatat sebagai negara tempat di mana kaum wanita di kampung ini bekerja.
“Namun demikian, bukan berarti hanya penduduk wanita saja yang bekerja di luar negeri. Ada juga beberapa penduduk pria yang juga ikut bekerja di luar negeri. Namun jika dihitung, jumlah penduduk wanita yang bekerja di luar negeri lebih banyak,” kata Kepala Desa Cigadog, Ayud Sukaedi, saat ditemui Rabu (5/11/2014).
Ayud menyebutkan, beberapa negara seperti Arab Saudi, Oman, Qatar, Yordania, Uni Eropa, dan beberapa negara kawasan Timur Tengah lebih diminati penduduk wanita di desanya.
Sementara, para pria yang bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI), rata-rata hanya membidik negara-negara Asia seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Korea.
“Penduduk wanita di desa kami juga ada yang bekerja di sejumlah negara Asia. Cuma jumlahnya sangat sedikit, kebanyakan pria. Itu juga bekerja di sektor perkebunan, jasa, buruh pabrik, dan menjadi pelayan toko. Paling banyak sektor perkebunan dan sedikit industri,” ujarnya.
Menurut Ayud, ekonomi menjadi faktor penyebab tingginya minat warganya memilih bekerja sebagai TKW atau TKI di negeri orang. Pilihan bekerja di luar negeri setidaknya telah membudaya di desanya sejak era tahun 80-an.
“Jumlah penduduk yang menjadi TKW atau TKI berkembang semakin pesat di tahun 90-an hingga akhir 2010. Meski saat ini penduduk yang bekerja ke luar negeri mulai menyusut, jumlahnya tetap terbilang banyak. Setidaknya ada sekitar 200 orang yang masih bekerja di luar negeri,” katanya.
Menurut Ayud, tidak diperlukan persyaratan khusus untuk menjadi seorang TKW dan TKI. Latar belakang pendidikan pun tidak diperlukan bagi mereka yang ingin bekerja di sektor jasa rumah tangga atau buruh perkebunan.
“Hanya cukup foto kopi KTP, foto kopi Kartu Keluarga (KK), surat izin suami atau isteri, dan surat izin orang tua. Itu saja,” sebutnya. Sementara untuk bekal pendidikan bahasa yang akan digunakan, sambung Ayud, akan disediakan pelatihan oleh perusahaan penyalur.
“Tidak ada modal uang. Karena siapapun yang akan diberangkatkan sebagai TKW atau TKI, akan dijemput langsung oleh perusahaan penyalur. Malah jika mereka yang lulus tes kesehatan di Jakarta itu akan diberi uang tunai sebesar Rp5 juta,” paparnya.
Saking membudayanya bekerja di luar negeri, ungkap Ayud, beberapa keluarga dari kalangan penduduk Cigadog pernah merasakan bagaimana menjadi seorang TKW atau TKI.
“Ada beberapa keluarga, dimulai dari ibunya, anak pertamanya, anak keduanya, bahkan anggota keluarganya yang lain pernah jadi TKW. Penyebabnya sederhana, karena para majikan mereka merasa sudah percaya dengan seseorang anggota keluarganya. Oleh karena itulah, bila ibunya berhenti bekerja menjadi TKW, selalu digantikan oleh anaknya. Begitu seterusnya,” ungkapnya.
(lis)