Tinggalkan Suami Demi Kemajuan Kampung
A
A
A
Sebuah perjuangan memang tak jarang harus ada yang dikorbankan, baik itu kecil maupun besar. Seperti halnya yang dialami perempuan bernama Rasmi, 53, warga asal Wuring, Alok Barat, Sika, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Bertekad untuk memajukan kampungnya yang tertinggal, dia pun memilih untuk berangkat mengikuti pelatihan perakitan panel listrik tenaga surya di India. Meninggalkan suaminya, Tajudin Baso, yang sedang terbaring sakit di rumah.
Rasmi mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan desanya belajar ke India yang dibiayai oleh Yayasan Wadah Titian Harapan sebuah yayasan milik keluarga Soemitro Djojohadikusumo. Dia yakin bahwa tindakannya ini tidak salah. Sebelum berangkat ke India dirinya sudah meminta izin dari suaminya tersebut.
“Sudah dua tahun tiga bulan, suami sakit stroke ringan. Tapi karena kesempatan ini sangat jarang, saya ambil dan saya direstui oleh suami untuk pergi,” katanya ditemui beberapa waktu lalu saat acara Program Penguatan dan Pemberdayaan Sukarelawan (P3S) oleh Yayasan Wadah Titian Harapan di Hotel Taman Eden 2, Kaliurang, Sleman.
Baru berjalan dua bulan di India, musibah pun datang menghampirinya. Dirinya mendapatkan kabar dari Indonesia bahwa suaminya meninggal dunia. Saat itu dari yayasan menawarkannya untuk pulang, mengikuti acara pemakaman. Namun, setelah dipikir berulang, dia memilih untuk tetap tinggal di India. Menyelesaikan pelatihan itu hingga benar-benar bisa bermanfaat. Mengenai suaminya, menurutnya lebih baik mendoakannya setiap kali dia shalat.
Apalagi, tuntutan dari agamanya menganjurkan setiap orang yang meninggal harus segera untuk dimakamkan. Jika dirinya pulang pun, membutuhkan waktu yang berjam-jam. “Kalau saya berhenti saat itu untuk pulang. Akan sia-sia saja ilmu yang saya dapatkan karena belum tuntas. Apalagi dalam agama saya juga menganjurkan agar orang yang meninggal untuk segera dimakamkan,” katanya.
Dirinya yakin, sikap yang diambilnya ini tidak salah. Sebab, panel listrik tenaga surya ini akan sangat dibutuhkan masyarakat di kampungnya yang memang sampai kini belum teraliri listrik. Nantinya, selain bisa menerangi kampungnya dengan alat ini pun juga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat. Sebab, panel listrik tenaga surya ini dapat juga digunakan oleh para nelayan untuk mencari ikan di malam hari. “Kita diajarkan, dari mulai merangkai dan memperbaikinya,” ujarnya.
Selesai mengikuti pelatihan tersebut, ilmu yang didapatkannya ini pun sudah ada sedikit manfaatnya. Salah satunya, dia sebarkan seluruh pengetahuannya selama di India kepada para anggota di bawah yayasan yang memberikan kesempatan kepadanya itu.
Setelah pelatihan selesai, saat ini dirinya inggal menunggu waktu beberapa minggu saja untuk mendapatkan kiriman ratusan panel listrik tenaga surya tersebut dari India untuk di distribusikan di kampungnya. “Sangat beruntung kita mendapatkan kesempatan dan bantuan ini,” ucapnya.
RIDHO HIDAYAT
Sleman
Bertekad untuk memajukan kampungnya yang tertinggal, dia pun memilih untuk berangkat mengikuti pelatihan perakitan panel listrik tenaga surya di India. Meninggalkan suaminya, Tajudin Baso, yang sedang terbaring sakit di rumah.
Rasmi mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan desanya belajar ke India yang dibiayai oleh Yayasan Wadah Titian Harapan sebuah yayasan milik keluarga Soemitro Djojohadikusumo. Dia yakin bahwa tindakannya ini tidak salah. Sebelum berangkat ke India dirinya sudah meminta izin dari suaminya tersebut.
“Sudah dua tahun tiga bulan, suami sakit stroke ringan. Tapi karena kesempatan ini sangat jarang, saya ambil dan saya direstui oleh suami untuk pergi,” katanya ditemui beberapa waktu lalu saat acara Program Penguatan dan Pemberdayaan Sukarelawan (P3S) oleh Yayasan Wadah Titian Harapan di Hotel Taman Eden 2, Kaliurang, Sleman.
Baru berjalan dua bulan di India, musibah pun datang menghampirinya. Dirinya mendapatkan kabar dari Indonesia bahwa suaminya meninggal dunia. Saat itu dari yayasan menawarkannya untuk pulang, mengikuti acara pemakaman. Namun, setelah dipikir berulang, dia memilih untuk tetap tinggal di India. Menyelesaikan pelatihan itu hingga benar-benar bisa bermanfaat. Mengenai suaminya, menurutnya lebih baik mendoakannya setiap kali dia shalat.
Apalagi, tuntutan dari agamanya menganjurkan setiap orang yang meninggal harus segera untuk dimakamkan. Jika dirinya pulang pun, membutuhkan waktu yang berjam-jam. “Kalau saya berhenti saat itu untuk pulang. Akan sia-sia saja ilmu yang saya dapatkan karena belum tuntas. Apalagi dalam agama saya juga menganjurkan agar orang yang meninggal untuk segera dimakamkan,” katanya.
Dirinya yakin, sikap yang diambilnya ini tidak salah. Sebab, panel listrik tenaga surya ini akan sangat dibutuhkan masyarakat di kampungnya yang memang sampai kini belum teraliri listrik. Nantinya, selain bisa menerangi kampungnya dengan alat ini pun juga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat. Sebab, panel listrik tenaga surya ini dapat juga digunakan oleh para nelayan untuk mencari ikan di malam hari. “Kita diajarkan, dari mulai merangkai dan memperbaikinya,” ujarnya.
Selesai mengikuti pelatihan tersebut, ilmu yang didapatkannya ini pun sudah ada sedikit manfaatnya. Salah satunya, dia sebarkan seluruh pengetahuannya selama di India kepada para anggota di bawah yayasan yang memberikan kesempatan kepadanya itu.
Setelah pelatihan selesai, saat ini dirinya inggal menunggu waktu beberapa minggu saja untuk mendapatkan kiriman ratusan panel listrik tenaga surya tersebut dari India untuk di distribusikan di kampungnya. “Sangat beruntung kita mendapatkan kesempatan dan bantuan ini,” ucapnya.
RIDHO HIDAYAT
Sleman
(bbg)