Institusi Pendidikan Harus Proaktif
A
A
A
BANDUNG - Perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan harus menjadi tempat untuk membangun identitas kebudayaan. Selama ini, identitas kebudayaan perlahan mulai pudar akibat kurangnya penghayatan dan pengetahuan terhadap nilai kebudayaan.
“Sebagian orang Sunda mengalami imperioritas. Seolah-olah dia cukup minder dengan apa yang dimiliki orang lain. Hilangnya areal pertanian, hilangnya areal ekonomi, hilangnya komunitas masyarakat yang terdidik ini, akibat hilangnya kepercayaan diri masyarakat terhadap nilai-nilai budaya,” ungkap Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi saat menyampaikan Pidato Kebudayaan dalam rangka Dies Natalis ke-56 Fakultas Ilmu Budaya Unpad di Aula PSBJ, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran, Jatinangor, kemarin.
Menurut Dedi, jika masyarakat melakukan penghayatan terhadap nilai identitas kebudayaan, maka akan tumbuh kepercayaan diri yang besar. Kepercayaan diri yang besar ini akan berimbas pada kebudayaan sebagai pola perilaku hidup manusia. “Identitas kebudayaan kan dimulai dari diri manusianya. Jika tidak melekat pada diri manusianya, maka kemudian komunitasnya akan hilang. Setelah komunitasnya hilang kemudian lingkungan wilayahnya hilang. Ketika lingkungan wilayahnya hilang negara juga hilang identitasnya,” paparnya.
Untuk itu, lanjut Dedi, perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan harus menjadi tempat untuk membangun identitas kebudayaan. Meskipun saat ini terjadi degradasi pada lembaga-lembaga pendidikan formal dimana lembaga pendidikan formal lebih menge lola pendidikan yang sifatnya terapan.
Dengan sistem pendidikan yang bersifat terapan, maka perguruan tinggi lebih menitikberatkan pada aspek-aspek yang bersifat mekanik. Terlebih, aspek mekanik ini memiliki sifat berubah-ubah seiring dengan kebutuhan mekanisasi manusia. “Ini di karenakan dasar sebagai mahluk kebudayaannya itu tidak dilakukan secara baik. Sehingga pendidikan itu harus diletakan kembali kepada kerangka kebudayaan. Kerangka kebudayaan itu adalah kerangka lingkungan dan kerangka personal. Dan disitulah nanti karakter manusia dibentuk,” jelas Dedi.
Sementara itu, Sejarawan Unpad Nina Herlina Lubis mengakui, selama ini, perguruan tinggi belum bersinergi dengan pemerintah dalam membangun identitas budaya. Hal ini terjadi karena perguruan tinggi hanya fokus pada dunia akademik. “Perguruan tingi masih asik sendiri dan lupa bahwa kita dibutuhkan oleh pasar,” katanya.
Ke depan, perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan harus menyinergikan penelitian-penelitian yang dilakukannya dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. Dengan begitu, nilai-nilai kebudayaan yang sudah dibangun tidak pudar. “Perlunya revitalisasi. Ditambah sekarangkan ada Dewan Kebudayaan Sunda. Nah itu juga menjadi salah satu tugas kita bersama,” ucapnya.
Dian Rosadi
“Sebagian orang Sunda mengalami imperioritas. Seolah-olah dia cukup minder dengan apa yang dimiliki orang lain. Hilangnya areal pertanian, hilangnya areal ekonomi, hilangnya komunitas masyarakat yang terdidik ini, akibat hilangnya kepercayaan diri masyarakat terhadap nilai-nilai budaya,” ungkap Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi saat menyampaikan Pidato Kebudayaan dalam rangka Dies Natalis ke-56 Fakultas Ilmu Budaya Unpad di Aula PSBJ, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran, Jatinangor, kemarin.
Menurut Dedi, jika masyarakat melakukan penghayatan terhadap nilai identitas kebudayaan, maka akan tumbuh kepercayaan diri yang besar. Kepercayaan diri yang besar ini akan berimbas pada kebudayaan sebagai pola perilaku hidup manusia. “Identitas kebudayaan kan dimulai dari diri manusianya. Jika tidak melekat pada diri manusianya, maka kemudian komunitasnya akan hilang. Setelah komunitasnya hilang kemudian lingkungan wilayahnya hilang. Ketika lingkungan wilayahnya hilang negara juga hilang identitasnya,” paparnya.
Untuk itu, lanjut Dedi, perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan harus menjadi tempat untuk membangun identitas kebudayaan. Meskipun saat ini terjadi degradasi pada lembaga-lembaga pendidikan formal dimana lembaga pendidikan formal lebih menge lola pendidikan yang sifatnya terapan.
Dengan sistem pendidikan yang bersifat terapan, maka perguruan tinggi lebih menitikberatkan pada aspek-aspek yang bersifat mekanik. Terlebih, aspek mekanik ini memiliki sifat berubah-ubah seiring dengan kebutuhan mekanisasi manusia. “Ini di karenakan dasar sebagai mahluk kebudayaannya itu tidak dilakukan secara baik. Sehingga pendidikan itu harus diletakan kembali kepada kerangka kebudayaan. Kerangka kebudayaan itu adalah kerangka lingkungan dan kerangka personal. Dan disitulah nanti karakter manusia dibentuk,” jelas Dedi.
Sementara itu, Sejarawan Unpad Nina Herlina Lubis mengakui, selama ini, perguruan tinggi belum bersinergi dengan pemerintah dalam membangun identitas budaya. Hal ini terjadi karena perguruan tinggi hanya fokus pada dunia akademik. “Perguruan tingi masih asik sendiri dan lupa bahwa kita dibutuhkan oleh pasar,” katanya.
Ke depan, perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan harus menyinergikan penelitian-penelitian yang dilakukannya dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. Dengan begitu, nilai-nilai kebudayaan yang sudah dibangun tidak pudar. “Perlunya revitalisasi. Ditambah sekarangkan ada Dewan Kebudayaan Sunda. Nah itu juga menjadi salah satu tugas kita bersama,” ucapnya.
Dian Rosadi
(ftr)