Aptisi Dorong PTS Terapkan Anti Rokok di Kampus
A
A
A
BANDUNG - Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta (Aptisi) mendorong kampus-kampus swasta untuk menerapkan anti rokok di lingkungan kampusnya.
Ketua Aptisi, Edy Suandi Hamid, mengatakan pihaknya mendorong perguruan-perguruan tinggi swasta untuk tegas dalam persoalan rokok di kampusnya.
Menurutnya, rokok bukan hanya permasalahan kesehatan, tetapi juga persoalan sosial yang bisa merusak mental mahasiswa.
"Orang yang mengonsumsi rokok umumnya berada pada golongan usia produktif, yakni 15-54 tahun. Ini tentunya akan mengurangi produktivitas kerja mereka karena mereka berada dalam rentang usia angkatan kerja," ungkapnya pada, di sela acara Rapat Pengurus Pusat Pleno (RPPP) ke 6 Aptisi, di Hotel Savoy Homan, Sabtu 25 Oktober 2014.
Edy menuturkan, kampus diharapkan bisa melakukan sosialisasi dan edukasi kepada warga kampusnya agar anti rokok di lingkungan perguruang tinggi. Pasalnya, rokok menjadi pintu masuk seseorang untuk mencoba narkoba.
"Tidak hanya sosialisasi dan edukasi, kalau perlu kampus-kampus swasta bisa membuat pergerakan anti rokok di perguruan tinggi, dan bahkan memiliki pusat rehabilitasi dan konsultasi soal rokok, " paparnya.
Edy mengatakan, di Indonesia masih banyak perguruan tinggi yang tidak peduli akan bahaya rokok, baik secara kesehatan maupun sosial.
Hal ini terbukti dari sedikitnya kampus yang menerapkan aturan tegas dalam menindak mahasiswanya yang merokok di lingkungan kampus.
"Dari 3.400 perguruan tinggi swasta di Indonesia, baru 1%nya saja yang sudah tegas dengan aturan merokok di lingkungan kampus. Sisanya masih secara bertahap, dengan melakukan pelarangan merokok di beberapa titik di lingkungan kampus," kata Edy.
Persoalan rokok bagi mahasiswa, kata Edy, tidak hanya persoalan produktivitas kerja yang disebabkan oleh kesehatan saja, melainkan juga persoalan sosial dan mental dari mahasiswa itu sendiri.
Dimana saat mahasiswa mencoba merokok, maka dia akan menjadi pecandu rokok. "Mental kecanduannya ini yang nantinya akan merugikan bangsa. Mahasiswa sebagai warga intelek, akan rusak otak dan pemikiirannya secara berkala oleh pengaruh rokok. Dan mahasiswa yang pecandu rokok akan menjadi lebih sulit untuk jadi mahasiswa unggulan," jelasnya.
Aktivis Jaringan Pengendalian Rokok di Indonesia, Sudibyo Markus menyebutkan, Indonesia adalah negara demokrasi keempat terbesar yang konsumsi rokoknya tinggi.
"Sebanyak 360 miliar batang rokok per tahun dikonsumsi oleh 240 juta penduduk Indonesia. Dan 73,8 % warga miskin di Indonesia adalah perokok.Bisa dibayangkan, mereka semua menghabiskan dana berapa miliar hanya untuk konsumsi rokok saja," jelasnya.
Menurutnya, masalah rokok tidak hanya menjadi pilihan seseorang mengenai kesehatannya saja, tetapi juga didorong oleh faktor regulasi yang tidak benar atas pengendalian konsumsi rokok itu sendiri.
"Indonesia tidak memiliki kebijakan politik dalam pengendalian produk tembakau. Maka tidak heran pula, Indonesia juga menjadi satu-satunya negara di Asean yang tidak meratifikasi soal rokok di kancah internasional," jelas Sudibyo.
Tak hanya itu, persoalan betapa bahayanya nikotin dalam kandungan rokok pun tidak disadari.
Merokok, tambah Sudibyo, menjadi sebuah simbol kemodernan dan gaya hidup masa kini, sehingga tidak heran jika rokok dianggap sebagai cultural heritage.
"Hal ini pun diperparah dengan kekuatan lobi industri tembakau yang menerobos legislatif, eksecutif, hingga lembaga yudikatif baik pada tingkat pusat hingga daerah. Belum lagi minimnyaa perhatian pemerintah dalam gerakan pengendalian konsumsi tembakau. Sehingga tak heran jika kampus, menjadi objek sasaran empuk bagii pengguna rokok. " timpalnya.
Dia menuturkan, tahun 1970 sebanyak 30 miliar batang rokok diproduksi setiap tahunnya. Kini, 2013, sebanyak 360 miliar batang rokok dikonsumsi.
Peningkatan dalam 4 dekade ini menjadi bukti bahwa pemerintah tidak memberikan perhatian yang serius terhadap konsumsi rokok.
"Saat ini negara tidak hadir dalam melindungi masyarakat dari bahaya rokok. Hal ini terbukti dari Indonesia memiliki kelemahan kebijakan publik terhadap liberal marketing, yang dengan bebas memperlihatkan iklan rokok, menjualnya dalam eceran, dan bebas dikonsumsi dalam rentang usia mana saja," beber Sudibyo.
Ketua Aptisi, Edy Suandi Hamid, mengatakan pihaknya mendorong perguruan-perguruan tinggi swasta untuk tegas dalam persoalan rokok di kampusnya.
Menurutnya, rokok bukan hanya permasalahan kesehatan, tetapi juga persoalan sosial yang bisa merusak mental mahasiswa.
"Orang yang mengonsumsi rokok umumnya berada pada golongan usia produktif, yakni 15-54 tahun. Ini tentunya akan mengurangi produktivitas kerja mereka karena mereka berada dalam rentang usia angkatan kerja," ungkapnya pada, di sela acara Rapat Pengurus Pusat Pleno (RPPP) ke 6 Aptisi, di Hotel Savoy Homan, Sabtu 25 Oktober 2014.
Edy menuturkan, kampus diharapkan bisa melakukan sosialisasi dan edukasi kepada warga kampusnya agar anti rokok di lingkungan perguruang tinggi. Pasalnya, rokok menjadi pintu masuk seseorang untuk mencoba narkoba.
"Tidak hanya sosialisasi dan edukasi, kalau perlu kampus-kampus swasta bisa membuat pergerakan anti rokok di perguruan tinggi, dan bahkan memiliki pusat rehabilitasi dan konsultasi soal rokok, " paparnya.
Edy mengatakan, di Indonesia masih banyak perguruan tinggi yang tidak peduli akan bahaya rokok, baik secara kesehatan maupun sosial.
Hal ini terbukti dari sedikitnya kampus yang menerapkan aturan tegas dalam menindak mahasiswanya yang merokok di lingkungan kampus.
"Dari 3.400 perguruan tinggi swasta di Indonesia, baru 1%nya saja yang sudah tegas dengan aturan merokok di lingkungan kampus. Sisanya masih secara bertahap, dengan melakukan pelarangan merokok di beberapa titik di lingkungan kampus," kata Edy.
Persoalan rokok bagi mahasiswa, kata Edy, tidak hanya persoalan produktivitas kerja yang disebabkan oleh kesehatan saja, melainkan juga persoalan sosial dan mental dari mahasiswa itu sendiri.
Dimana saat mahasiswa mencoba merokok, maka dia akan menjadi pecandu rokok. "Mental kecanduannya ini yang nantinya akan merugikan bangsa. Mahasiswa sebagai warga intelek, akan rusak otak dan pemikiirannya secara berkala oleh pengaruh rokok. Dan mahasiswa yang pecandu rokok akan menjadi lebih sulit untuk jadi mahasiswa unggulan," jelasnya.
Aktivis Jaringan Pengendalian Rokok di Indonesia, Sudibyo Markus menyebutkan, Indonesia adalah negara demokrasi keempat terbesar yang konsumsi rokoknya tinggi.
"Sebanyak 360 miliar batang rokok per tahun dikonsumsi oleh 240 juta penduduk Indonesia. Dan 73,8 % warga miskin di Indonesia adalah perokok.Bisa dibayangkan, mereka semua menghabiskan dana berapa miliar hanya untuk konsumsi rokok saja," jelasnya.
Menurutnya, masalah rokok tidak hanya menjadi pilihan seseorang mengenai kesehatannya saja, tetapi juga didorong oleh faktor regulasi yang tidak benar atas pengendalian konsumsi rokok itu sendiri.
"Indonesia tidak memiliki kebijakan politik dalam pengendalian produk tembakau. Maka tidak heran pula, Indonesia juga menjadi satu-satunya negara di Asean yang tidak meratifikasi soal rokok di kancah internasional," jelas Sudibyo.
Tak hanya itu, persoalan betapa bahayanya nikotin dalam kandungan rokok pun tidak disadari.
Merokok, tambah Sudibyo, menjadi sebuah simbol kemodernan dan gaya hidup masa kini, sehingga tidak heran jika rokok dianggap sebagai cultural heritage.
"Hal ini pun diperparah dengan kekuatan lobi industri tembakau yang menerobos legislatif, eksecutif, hingga lembaga yudikatif baik pada tingkat pusat hingga daerah. Belum lagi minimnyaa perhatian pemerintah dalam gerakan pengendalian konsumsi tembakau. Sehingga tak heran jika kampus, menjadi objek sasaran empuk bagii pengguna rokok. " timpalnya.
Dia menuturkan, tahun 1970 sebanyak 30 miliar batang rokok diproduksi setiap tahunnya. Kini, 2013, sebanyak 360 miliar batang rokok dikonsumsi.
Peningkatan dalam 4 dekade ini menjadi bukti bahwa pemerintah tidak memberikan perhatian yang serius terhadap konsumsi rokok.
"Saat ini negara tidak hadir dalam melindungi masyarakat dari bahaya rokok. Hal ini terbukti dari Indonesia memiliki kelemahan kebijakan publik terhadap liberal marketing, yang dengan bebas memperlihatkan iklan rokok, menjualnya dalam eceran, dan bebas dikonsumsi dalam rentang usia mana saja," beber Sudibyo.
(sms)