Jumlah TKI Informal Asal Indramayu Capai 17 Ribu Jiwa
A
A
A
INDRAMAYU - Tenaga Kerja Indonesia (TKI) informal asal Kabupaten Indramayu di luar negeri masih tinggi jumlahnya. Berdasarkan data Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Indramayu, TKI informal berjumlah 17.508 jiwa pada tahun 2013.
Sementara TKI formal pada tahun yang sama hanya berjumlah 341 jiwa. Adapun pada awal tahun ini hingga 16 Oktober 2014, TKI informal berjumlah 14.387 jiwa, dan TKI formal berjumlah 1.498 jiwa.
Kepala Dinsosnakertrans Kabupaten Indramayu, Daddy Haryadi mengatakan, penanaman modal dalam negeri dan luar negeri di Kabupaten Indramayu masih terbatas. Hal itu memicu tingginya minat masyarakat Kabupaten Indramayu untuk bekerja di luar negeri sebagai TKI.
"Investasi masih sangat terbatas. Padahal, bupati sudah menerapkan pintu perizinan satu atap, serta penjaminan soal keamanan investasi," katanya, Sabtu (18/10/2014).
Dia menambahkan, pihaknya saat ini berupaya meningkatkan proporsi TKI formal melalui penambahan pengajaran keahlian di Balai Latihan Kerja.
Bila sebelumnya hanya diajarkan soal mengelas, otomotif, menjahit, dan komputer, nantinya akan ditambahkan pengajaran keahlian tata boga dan bahasa.
Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia Kabupaten Indramayu, Juwarih mengatakan, sarana prasarana BLK pada dasarnya masih minim. Seharusnya di setiap kecamatan terdapat BLK. Namun pada kenyataannya, hanya ada satu BLK milik Pemda.
"Saat ini kesempatan melalui BLK minim. Belum tersebar merata. Lantaran selama ini yang ada adalah BLK milik pemda, hanya yang terpilih saja yang bisa memasukinya," kata dia.
Selain itu, dia mengatakan, akses informasi peluang TKI formal pun masih minim dicari oleh pemerintah pusat. Saat ini, menurutnya, pemerintah pusat baru sebatas mengakses Taiwan dan Jepang saja sebagai pasar pengiriman TKI formal. Padahal, menurutnya, masih banyak negara yang bisa menerima TKI formal di luar negara tersebut.
"Minimnya akses informasi juga berdampak terhadap akses bagi para calon TKI yang hendak mencari pekerjaan di luar negeri," tuturnya.
Juwarih menambahkan, akses pendidikan calon TKI saat ini umumnya masih minim. Banyak yang masih lulusan paling tingginya adalah SMP. Padahal, untuk bisa bersaing sebagai TKI formal, pendidikan setidaknya harus sarjana.
Kurangnya akses pendidikan diperparah dengan budaya yang berlaku. Menurutnya, banyak keluarga yang justru menekankan kepada anaknya untuk segera mencari kerja ketimbang melanjutkan sekolah. Hal itu dipandangnya lebih cepat menghasilkan uang.
"Apalagi umumnya TKI adalah perempuan. Oleh keluarganya, seringkali ditekankan untuk langsung kerja.Tetapi, pada kenyataannya, banyak dari suami yang ternyata penghasilannya minim. Dari sana, sering kita mendengar alasan perempuan jadi TKI untuk membantu keluarga," ujarnya.
Dengan kondisi-kondisi yang ada tersebut, dia menekankan pemerataan BLK di setiap kecamatan. Dia berpendapat, setidaknya akses para calon TKI untuk meningkatkan keahliannya bisa terbuka.
Sementara TKI formal pada tahun yang sama hanya berjumlah 341 jiwa. Adapun pada awal tahun ini hingga 16 Oktober 2014, TKI informal berjumlah 14.387 jiwa, dan TKI formal berjumlah 1.498 jiwa.
Kepala Dinsosnakertrans Kabupaten Indramayu, Daddy Haryadi mengatakan, penanaman modal dalam negeri dan luar negeri di Kabupaten Indramayu masih terbatas. Hal itu memicu tingginya minat masyarakat Kabupaten Indramayu untuk bekerja di luar negeri sebagai TKI.
"Investasi masih sangat terbatas. Padahal, bupati sudah menerapkan pintu perizinan satu atap, serta penjaminan soal keamanan investasi," katanya, Sabtu (18/10/2014).
Dia menambahkan, pihaknya saat ini berupaya meningkatkan proporsi TKI formal melalui penambahan pengajaran keahlian di Balai Latihan Kerja.
Bila sebelumnya hanya diajarkan soal mengelas, otomotif, menjahit, dan komputer, nantinya akan ditambahkan pengajaran keahlian tata boga dan bahasa.
Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia Kabupaten Indramayu, Juwarih mengatakan, sarana prasarana BLK pada dasarnya masih minim. Seharusnya di setiap kecamatan terdapat BLK. Namun pada kenyataannya, hanya ada satu BLK milik Pemda.
"Saat ini kesempatan melalui BLK minim. Belum tersebar merata. Lantaran selama ini yang ada adalah BLK milik pemda, hanya yang terpilih saja yang bisa memasukinya," kata dia.
Selain itu, dia mengatakan, akses informasi peluang TKI formal pun masih minim dicari oleh pemerintah pusat. Saat ini, menurutnya, pemerintah pusat baru sebatas mengakses Taiwan dan Jepang saja sebagai pasar pengiriman TKI formal. Padahal, menurutnya, masih banyak negara yang bisa menerima TKI formal di luar negara tersebut.
"Minimnya akses informasi juga berdampak terhadap akses bagi para calon TKI yang hendak mencari pekerjaan di luar negeri," tuturnya.
Juwarih menambahkan, akses pendidikan calon TKI saat ini umumnya masih minim. Banyak yang masih lulusan paling tingginya adalah SMP. Padahal, untuk bisa bersaing sebagai TKI formal, pendidikan setidaknya harus sarjana.
Kurangnya akses pendidikan diperparah dengan budaya yang berlaku. Menurutnya, banyak keluarga yang justru menekankan kepada anaknya untuk segera mencari kerja ketimbang melanjutkan sekolah. Hal itu dipandangnya lebih cepat menghasilkan uang.
"Apalagi umumnya TKI adalah perempuan. Oleh keluarganya, seringkali ditekankan untuk langsung kerja.Tetapi, pada kenyataannya, banyak dari suami yang ternyata penghasilannya minim. Dari sana, sering kita mendengar alasan perempuan jadi TKI untuk membantu keluarga," ujarnya.
Dengan kondisi-kondisi yang ada tersebut, dia menekankan pemerataan BLK di setiap kecamatan. Dia berpendapat, setidaknya akses para calon TKI untuk meningkatkan keahliannya bisa terbuka.
(sms)