Hari Tuli, Pemerintah Harus Perhatikan 3 Hal Ini
A
A
A
BANDUNG - Berbagai keinginan diungkapkan oleh penyandang tuna rungu di Hari Tuli Internasional yang jatuh setiap 29 September. Mereka ingin meraih kesetaraan dengan warga lainnya, terutama di bidang pendidikan, dunia kerja, dan aksesibilitas.
Untuk bidang pendidikan, para tuna rungu yang belajar di sekolah luar biasa (SLB) merasa kesulitan dengan pelajaran yang disampaikan para guru. Pasalnya, para guru masih menggunakan bahasa isyarat SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia) sebagai bahasa isyarat resmi yang diakui oleh pemerintah.
Akibatnya siswa siswa mengalani kesulitan dalam menangkap pelajaran yang disampaikan. Sehingga proses belajar mengajar menjadi kurang efektif, karena adanya hambatan komunikasi.
"Dengan menggunakan bahasa SIBI, membuat para siswa tuna rungu menjadi tidak nyaman. Karena mereka enggak paham. Mereka menjadi malas dan memilih tidak masuk sekolah," ujar Ketua Gerkatin Jabar Billy Birlan Purnama, yang dibantu salah satu volunter untuk menerjemahkan bahasa isyaratnya, Senin (29/9/2014).
Padahal, penyandang tuna rungu, kata Billy, saat ini memiliki Bisindo (Bahasa Isyarat Indonesia) yang merupakan bahasa Ibu bagi penyandang tuna rungu di Indonesia. Bahasa ini secara alami sudah berkembang di kalangan tuna rungu, di Indonesia, dan sudah digunakan turun temurun selama bertahun-tahun.
Namun sayangnya, hingga kini keberadaan Bisindo belum diakui oleh pemerintah. Sehingga Bisindo tidak digunakan di sekolah-sekolah luar biasa, karena pemerintah hanya mengakui SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia) sebagai satu-satunya bahasa isyarat yang resmi.
"Para penyandang tuna rungu sendiri sebenarnya dilibatkan dalam perumusan bahasa isyarat. Namun seolah terbagi menjadi dua. Sehingga para guru yang mengajar tetap menggunakan bahasa isyarat SIBI sebagai bahasa resmi yang dibuat oleh pemerintah," kata Billy.
Selain aspek pendidikan, para penyandang tuna rungu juga masih sulit untuk mendapatkan akses pekerjaan. Banyak perusahaan yang menolak saat mengetahui calon pegawainya memiliki keterbatasan.
"Perusahaan hanya nau menerima pegawai yang normal. Penyandang tuna rungu yang melamar ke perusahaan biasanya ditolak," ucap Billy.
Padahal, lanjut Billy, mereka memiliki potensi untuk bisa bekerja di perusahaan-perusahaan, maupun instansi pemerintahan. Terlebih lagi, sesuai dengan UU No 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, disebutkan bahwa dari 100 orang yang bekerja diperusahaan, ada satu orang dari kalangan disabilitas.
"Perusahaan- perusahaan tidak menjalankan itu. Padahal banyak bidang pekerjaan yang bisa dilakukam seperti akuntan, desain, input data, dan lain," katanya.
Terkait aksesibilitas, para penyandang tuna rungu juga masih kesulitan saat berada di fasilitas-fasilitas umum, seperti rumah sakit, apotik, stadion, bandara, kantor pos. Dia mencontohkan misalnya saat penyandang tuna rungu berada di bank.
Untuk melakukan trasaksi dengan teller, biasanya nasabah akan dipanggil dengan menggunakan mesin suara. Namun karena tidak mampu mendengar, para penyandang tuna rungu cukup mengalani kesulitan.
"Makanya kami dari kalangan tuna rungu ingin ada akses tulisan dalam bentuk teks (running text) yang di pasang di fasilitas-fasilitas umum tersebut," ungkapnya.
Di Hari Tuli Internasional ini, Billy berharap, terutama kepada pemerintah, untuk lebih memperhatikan para penyandang disabilitas seperti tuna rungu. Dia mencontohkan seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, menjadi negara yang ramah dengan kalangan disabilitas.
"Kita berharap bangsa Indonesia pun seperti itu, menjadi negara yang ramah bagi seluruh warganya. Karena kami punya hak yang sama dengan warga lainnya," tandasnya.
Untuk bidang pendidikan, para tuna rungu yang belajar di sekolah luar biasa (SLB) merasa kesulitan dengan pelajaran yang disampaikan para guru. Pasalnya, para guru masih menggunakan bahasa isyarat SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia) sebagai bahasa isyarat resmi yang diakui oleh pemerintah.
Akibatnya siswa siswa mengalani kesulitan dalam menangkap pelajaran yang disampaikan. Sehingga proses belajar mengajar menjadi kurang efektif, karena adanya hambatan komunikasi.
"Dengan menggunakan bahasa SIBI, membuat para siswa tuna rungu menjadi tidak nyaman. Karena mereka enggak paham. Mereka menjadi malas dan memilih tidak masuk sekolah," ujar Ketua Gerkatin Jabar Billy Birlan Purnama, yang dibantu salah satu volunter untuk menerjemahkan bahasa isyaratnya, Senin (29/9/2014).
Padahal, penyandang tuna rungu, kata Billy, saat ini memiliki Bisindo (Bahasa Isyarat Indonesia) yang merupakan bahasa Ibu bagi penyandang tuna rungu di Indonesia. Bahasa ini secara alami sudah berkembang di kalangan tuna rungu, di Indonesia, dan sudah digunakan turun temurun selama bertahun-tahun.
Namun sayangnya, hingga kini keberadaan Bisindo belum diakui oleh pemerintah. Sehingga Bisindo tidak digunakan di sekolah-sekolah luar biasa, karena pemerintah hanya mengakui SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia) sebagai satu-satunya bahasa isyarat yang resmi.
"Para penyandang tuna rungu sendiri sebenarnya dilibatkan dalam perumusan bahasa isyarat. Namun seolah terbagi menjadi dua. Sehingga para guru yang mengajar tetap menggunakan bahasa isyarat SIBI sebagai bahasa resmi yang dibuat oleh pemerintah," kata Billy.
Selain aspek pendidikan, para penyandang tuna rungu juga masih sulit untuk mendapatkan akses pekerjaan. Banyak perusahaan yang menolak saat mengetahui calon pegawainya memiliki keterbatasan.
"Perusahaan hanya nau menerima pegawai yang normal. Penyandang tuna rungu yang melamar ke perusahaan biasanya ditolak," ucap Billy.
Padahal, lanjut Billy, mereka memiliki potensi untuk bisa bekerja di perusahaan-perusahaan, maupun instansi pemerintahan. Terlebih lagi, sesuai dengan UU No 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, disebutkan bahwa dari 100 orang yang bekerja diperusahaan, ada satu orang dari kalangan disabilitas.
"Perusahaan- perusahaan tidak menjalankan itu. Padahal banyak bidang pekerjaan yang bisa dilakukam seperti akuntan, desain, input data, dan lain," katanya.
Terkait aksesibilitas, para penyandang tuna rungu juga masih kesulitan saat berada di fasilitas-fasilitas umum, seperti rumah sakit, apotik, stadion, bandara, kantor pos. Dia mencontohkan misalnya saat penyandang tuna rungu berada di bank.
Untuk melakukan trasaksi dengan teller, biasanya nasabah akan dipanggil dengan menggunakan mesin suara. Namun karena tidak mampu mendengar, para penyandang tuna rungu cukup mengalani kesulitan.
"Makanya kami dari kalangan tuna rungu ingin ada akses tulisan dalam bentuk teks (running text) yang di pasang di fasilitas-fasilitas umum tersebut," ungkapnya.
Di Hari Tuli Internasional ini, Billy berharap, terutama kepada pemerintah, untuk lebih memperhatikan para penyandang disabilitas seperti tuna rungu. Dia mencontohkan seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, menjadi negara yang ramah dengan kalangan disabilitas.
"Kita berharap bangsa Indonesia pun seperti itu, menjadi negara yang ramah bagi seluruh warganya. Karena kami punya hak yang sama dengan warga lainnya," tandasnya.
(san)