Candi Tikus, Antara Mitos dan Realita

Jum'at, 05 September 2014 - 05:00 WIB
Candi Tikus, Antara Mitos dan Realita
Candi Tikus, Antara Mitos dan Realita
A A A
Candi Tikus yang terletak di Dukuh Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, bagi sebagian penduduk sekitar dipercayai memiliki unsur magis dan dapat memberikan kesejahteraan.

Cerita ini bermula dari seorang petani di Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Mojokerto yang gelisah karena serbuan tikus sawah. Hasil tani yang biasanya cukup untuk menghidupi seluruh anggota keluarga, kini nyaris tak tersisa.

Tak tahan menghadapi serbuan tikus, dia memohon pada Sang Pencipta. Lalu suatu malam, Si Petani mendapat wangsit agar mengambil air di kawasan Candi Tikus lalu menyiramkan air itu ke empat sudut sawah.

Sebuah keajaiban terjadi, tikus-tikus yang biasanya kerap beraksi di malam hari hilang begitu saja. Tanah sawah juga mendadak jadi subur. Si Petani tak kuasa menahan kegembiraannya dan bercerita pada warga desa.

Namun lain lagi yang dialami oleh saudagar kaya mendengar kabar tentang khasiat air Candi Tikus. Dengan rakus, sang saudagar mencari jalan pintas untuk menambah kekayaannya. Suatu malam, dia mencuri batu candi dan meletakkannya di sudut-sudut sawah. Lagi-lagi sebuah kejaiban terjadi. Tapi kali ini, tikus-tikus malah datang dan menghabisi padi di sawah.

Fenomena ini membuat warga desa sadar, bahwa mereka tak bisa berharap lebih. "Kami hanya bisa memanfaatkan air di Candi Tikus, tapi bukan batu-batu candi," kata mereka. Dan mitos ini, ternyata masih dipercaya hingga kini. Bahkan Raden Timbal saudara kandung Raden Patah diyakini pernah melakukan tapa di candi ini.

Di sisi lain, ada mitos lain yang berkembang kebalikannya. Pada tahun 1914, candi ini ditemukan oleh Bupati Mojokerto RAA Kromojoyo Adinegoro. Sebelumnya, dia mendengar keluh kesah warga Desa Temon yang kalang kabut karena serbuan hama tikus di sawah mereka. Tanpa pikir panjang, Kromojoyo memerintahkan aparat desa agar memobilisasi massa dan menyatakan perang pada tikus. Anehnya, saat terjadi pengejaran, tikus-tikus itu selalu lari dan masuk dalam lubang sebuah gundukan besar.

Karena ingin membersihkan tikus sampai habis, Kromojoyo meminta agar gundukan itu dibongkar. Ternyata, di dalam gundukan terdapat sebuah candi. Sehingga Kromojoyo memberi nama Candi Tikus.

Menurut Mpu Prapanca dalam kitab Nagarakertagama, candi yang diperkirakan dibangun pada abad ke XIII atau abad ke-XIV ini merupakan tempat untuk mandi raja dan upacara-upacara tertentu yang dilaksanakan di kolam-kolamnya.

Dalam kitab tersebut pada pupuh 27 dan 29 menyebutkan adanya tempat pemandian (petirtaan) raja yang dikunjungi Hayam Wuruk dan keterangan yang menyebutkan adanya upacara-upacara tertentu yang dirayakan di kolam-kolam.

Di sisi lain, menara-menara (bangunan miniatur yang mengelilingi bangunan induk) merupakan bagian terpenting dari gubahan arsitektur abad ke XIII-XIV. Secara tidak langsung bangunan candi itu dapat diyakini didirikan pada abad ke XIII-XIV. Premis ini semakin memperuncing kebenaran bahwa yang dimaksud dalam kitab Nagarakartagama mengenai petirtaan yang dikunjungi oleh Hayam Wuruk dan kolam-kolam yang dijadikan sebagai tempat untuk mengadakan prosesi upacara-upacara tertentu, salah satunya adalah Candi Tikus.

Sedangkan menurut AJ Bernert Kempers dalam bukunya Ancient Indonesia Art susunan miniatur menara Candi Tikus, memiliki hubungan dengan konsep religi. Menurutnya bentuk dari situs Candi merupakan replika Gunung Mahameru/Semeru .

Di mana gunung tertinggi ini dianggap sebagai tempat yang sakral bersemayamnya para dewa. Sehingga kemungkinan besar candi ini merupakan situs pentirtaan yang sangat disucikan bagi umat Hindu dan Buddha kala itu.

Di samping itu model bangunan Candi Tikus yang makin ke atas makin mengecil dan pada bangunan induk seakan-akan terdapat puncak utama yang dikelilingi oleh delapan puncak yang lebih kecil, menurut Bernert, model tersebut ada kemiripan tersendiri dengan bentuk utuh Gunung Mahameru.

Secara mitologi, Gunung Meru selalu dihubungkan dengan air kehidupan yang dipercaya mempunyai kekuatan magis dalam memberi kekuatan pada semua makhluk hidup. Kepercayaan ini lahir dari konsep Hindu-Buddha yang meyakini gunung tersebut sebagai pusat kehidupan, yang kemudian termanefestasikan dalam bentuk bangunan candi, pemahaman itu hingga dewasa ini masih dikultuskan oleh sebagian masyarakat.

Lain halnya dengan pendapat yang dikemukankan oleh NJ Krom lewat buku "sakti"-nya yang berjudul Inleiding tot de Hindoe Javaansche Kunst II (Pengantar Kesenian Hindu Jawa). Dengan memperhatikan bahan dan gaya seni dari saluran air, pakar sejarah kesenian Jawa kuno berkebangsaan Belanda itu berasumsi bahwa ada dua tahap pembangunan candi Tikus.

Tahap pertama, saluran airnya terbuat dari bata merah dan memperlihatkan bentuknya yang kaku. Sedangkan tahap kedua saluran airnya terbuat dari batu andesit dan memperlihatkan bentuknya yang lebih dinamis serta dibuat pada masa keemasan Majapahit.

Ini berarti pula bahwa menurut Krom, Candi Tikus telah berdiri sebelum kerajaan Majapahit mencapai puncak keemasannya, yaitu pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 - 1380).

Menurut catatan hasil penelitian yang telah dilakukan H Maclaine Pont pada 1926, setidaknya terdapat 18 buah waduk besar yang diduga kuat dibangun pada masa Majapahit (letaknya kini tersebar di seluruh Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur).

Dari 18 buah waduk besar itu 4 buah diantaranya terletak di daerah Trowulan. Yaitu di Desa Baureno, Kumitir, Domas dan Temon. Waduk-waduk besar ini berfungsi sebagai tempat penampungan air pertama untuk selanjutnya dialirkan ke tempat-tempat lain.

Dari ke-empat waduk besar yang terletak di daerah Trowulan, Waduk Baureno diduga merupakan sumber dari air yang masuk ke Candi Tikus. Untuk selanjutnya air dari candi Tikus ini didistribusikan ka arah kota. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh alm Didiek Samsu WT selama tahun 1986/1987, diketahui bahwa debit air rata-rata dari pancuran-pancuran air di Candi Tikus adalah 17.604.915 cm/detik.

"Berdasarkan perhitungan ini, dapat diperkirakan bahwa Candi Tikus pada masa itu memiliki peranan yang cukup penting dalam sistem jaringan air di daerah Trowulan," tulis arkeolog ini dalam skripsinya.

Alm Didiek menyatakan bahwa air Candi Tikus juga bisa dijadikan patokan musim kemarau dan musim penghujan. Pada musim kemarau, debit air rata-rata setiap pancuran pancuran lebih kurang 400 cm/detik. Sedangkan jika lantai dasar Candi Tikus mulai tergenang dan pancuran air memancarkan air lebih jauh, dapat diartikan bahwa musim hujan telah menjelang.

Ini berarti pula bahwa pada musim hujan debit air di Candi Tikus akan naik, sehingga bisa jadi patokan untuk membuka atau menutup pintu air di waduk atau bendungan.

Sejak zaman prasejarah, air memang memiliki peranan penting dalam kehidupan spiritual manusia. Air dipercaya memiliki daya magis utnuk membersihkan, mensucikan dan menyuburkan.

Tak heran, bila kemudian air yang keluar dari Candi Tikus juga dipercaya memiliki kekuatan magis untuk memenuhi harapan rakyat agar hasil pertanian mereka berlipat ganda dan terhindar dari kesulitan-kesulitan yang merugikan.

Sumber
:
sejarah-puri-pemecutan.blogspot.com
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3675 seconds (0.1#10.140)