Karaeng Sigeri dan Panglima Perangnya
A
A
A
LEBIH BAIK mati berkalang tanah, dari pada hidup dalam cengkraman penjajah. Itu ungkapan La Pawawoi Karaeng Sigeri bersama putranya yang gugur dalam pertempuran melawan Belanda.
Peristiwa heroik seorang ayah dan anaknya dalam melawan penjajah Belanda harus berakhir dengan segala pengorbanan yang tidak ternilai.
La Pawawoi Karaeng Sigeri yang merupakan Raja Bone ke-31, selaku tokoh sentralnya ditangkap Belanda dan diasingkan ke Bandung pada 14 Desember 1905. Dia meninggal di Jakarta dan di makamkan di Taman Pahlawan Kalibata.
Sedangkan anaknya, Abdul Hamid Baso Pagilingi Petta PonggawaE yang juga Panglima Perang Kerajaan Bone gugur sebagai pahlawan Tanah Ugi di Lereng Gunung Bulu Awo, perbatasan Siwa dengan tanah Toraja pada 18 November 1905, setelah dadahnya tertembus peluru saat bertempur dengan gagah berani dalam mengusir penjajah Belanda.
Peristiwa itu dikenal dengan sebutan Rumpa'na Bone, saat rakyat Bone secara bahu membahu bersama raja dan putra mahkota menghadapi serangan militer besar-besaran Belanda di tahun 1905.
Istilah Rumpa'na Bone adalah pernyataan La Pawawoi Karaeng Sigeri ketika menyaksikan secara langsung Petta Ponggawae (putranya) yang merupakan Panglima Perang Kerajaan Bone gugur diterjang peluru tentara Belanda.
Kematian putra mahkota membuat tanah Bone manangis, bagai mana tidak, seorang putra mahkota yang dikenal gagah berani dan penyemangat perjuangan rakyat Bone saat itu terbujur kaku. Darah yang keluar dari dadahnya mengalir membasahi bumi pertiwi .
Menyaksikan putranya yang gugur, dengan linangan air mata, La Pawawoi Karaeng Sigeri mengucapkan kalimat Bugis yang kental “ Rumpa'ni Bone” yang dapat diartikan 'runtuhnya benteng Pertahanan Bone.
Dengan gugurnya Petta Ponggawae, maka Lapawawoi Karaeng Sigeri beranggapan bahwa benteng pertahanan Kerajaan Bone telah bobol atau dengan sitilah "Rumpa'ni Bone".
Pada masa itu, meski Belanda menyerang dengan persenjataan lengkap dengan tentara terlatih, tidak membuat gentar La Pawawoi Karaeng Sigeri bersama putra mahkota dan rakyat Bone.
Dengan jiwa kesatria yang membara, Bone menghadapi serangan Belanda di berbagai tempat.
Apalagi perlawaan Raja Bone saat itu mendapat persetujuan dukungan dari anggota Ade’ Pitu (Adat Tujuh) yaitu legislasi Kerajaan Bone serta seluruh pimpinan Laskar Kerajaan Bone.
Pertama kali tentara Belanda mendarat di Pantai Timur Kerajaan Bone setelah kapal mereka melewati Laut Teluk Bone (Pantai ujung Pallette-Pantai BajoE- Pantai Ujung Pattiro).
Saat orang pertama prajurit Belanda menginjakkan kaki mereka di Bone, La Pawawoi Karaeng Sigeri langsung menyerukan pada rakyat dan pasukannya untuk berperang melawan kompeni Belanda.
Belanda di bawah pimpinan panglima operasinya Kolonel Van der Wedden, dengan perlatan tempur yang cangih saat itu terus melakukan serangan sporadis ke kubu-kubu pertahanan Laskar Kerajaan Bone.
Meski mendapat perlawanan sengit dari rakyat dan tentara Kerajaan Bone, akan tetapi lantaran persenjataan tentara Belanda yang lengkap akhirnya Belanda berhasil memukul mundur Laskar Kerajaan Bone.
Hingga pada 30 Juli 1905 tentara Belanda berhasil merebut Saoraja (Istana Raja) di Watampone dan menjadikannya sebagai basis pertahanannya.
Setelah Saoraja direbut Belanda, selama kurang lebih lima bulan (Juli-November 1905 ) La Pawawoi Karaeng Sigeri bersama putranya beberapa kali memindahkan pusat pertahanannya.
Hal ini dilakukan agar segenap Laskar Kerajaan Bone yang terpencar di berbagai tempat terus dapat melakukan kontak dan koordinasi dengannya.
Adapun pusat-pusat pertahanan Laskar Kerajaan Bone pada waktu itu antara lain, di Palakka, Pasempe, Gottang, Lamuru, dan Citta di daerah Soppeng.
Dalam kondisi yang tidak menentu, ditambah seragan serdadu Belanda yang semakin gencar, maka petinggi kerajaan Bone mengubah taktik perangnya dari perlawanan frontal menjadi perang gerilya.
Tetapi kian hari stamina Laskar Kerajaan Bone semakin menurun sementara serdadu Belanda terus menggempur pusat-pusat pertahanannya.Hingga ke Bulu Awo, perbatasan Siwa dan Tana Toraja yang merupakan basis terakhir perlawaan Laksa Bone.
Disitulah putra mahkota yang juga Panglima Perang Kerajaan Bone Petta PonggawaE gugur pada 18 November 1905. Belanda kemudian menangkap La Pawawoi Karaeng Sigeri pada 14 Desember 1905 dan diasingkan ke Bandung.
Setelah beberpa lama di Bandung Belanda memindahkan La Pawawoi Karaeng Sigeri ke Jakarta. Pada tanggal 11 November tahun 1911 La Pawawoi Karaeng Sigeri meninggal dunia dan dimakamkan di MatinroEri Jakarta.
Pada tahun 1976 almarhum dianugrahi gelar sebagai Pahlawan Nasional, dan kerangka jenazahnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Peristiwa heroik seorang ayah dan anaknya dalam melawan penjajah Belanda harus berakhir dengan segala pengorbanan yang tidak ternilai.
La Pawawoi Karaeng Sigeri yang merupakan Raja Bone ke-31, selaku tokoh sentralnya ditangkap Belanda dan diasingkan ke Bandung pada 14 Desember 1905. Dia meninggal di Jakarta dan di makamkan di Taman Pahlawan Kalibata.
Sedangkan anaknya, Abdul Hamid Baso Pagilingi Petta PonggawaE yang juga Panglima Perang Kerajaan Bone gugur sebagai pahlawan Tanah Ugi di Lereng Gunung Bulu Awo, perbatasan Siwa dengan tanah Toraja pada 18 November 1905, setelah dadahnya tertembus peluru saat bertempur dengan gagah berani dalam mengusir penjajah Belanda.
Peristiwa itu dikenal dengan sebutan Rumpa'na Bone, saat rakyat Bone secara bahu membahu bersama raja dan putra mahkota menghadapi serangan militer besar-besaran Belanda di tahun 1905.
Istilah Rumpa'na Bone adalah pernyataan La Pawawoi Karaeng Sigeri ketika menyaksikan secara langsung Petta Ponggawae (putranya) yang merupakan Panglima Perang Kerajaan Bone gugur diterjang peluru tentara Belanda.
Kematian putra mahkota membuat tanah Bone manangis, bagai mana tidak, seorang putra mahkota yang dikenal gagah berani dan penyemangat perjuangan rakyat Bone saat itu terbujur kaku. Darah yang keluar dari dadahnya mengalir membasahi bumi pertiwi .
Menyaksikan putranya yang gugur, dengan linangan air mata, La Pawawoi Karaeng Sigeri mengucapkan kalimat Bugis yang kental “ Rumpa'ni Bone” yang dapat diartikan 'runtuhnya benteng Pertahanan Bone.
Dengan gugurnya Petta Ponggawae, maka Lapawawoi Karaeng Sigeri beranggapan bahwa benteng pertahanan Kerajaan Bone telah bobol atau dengan sitilah "Rumpa'ni Bone".
Pada masa itu, meski Belanda menyerang dengan persenjataan lengkap dengan tentara terlatih, tidak membuat gentar La Pawawoi Karaeng Sigeri bersama putra mahkota dan rakyat Bone.
Dengan jiwa kesatria yang membara, Bone menghadapi serangan Belanda di berbagai tempat.
Apalagi perlawaan Raja Bone saat itu mendapat persetujuan dukungan dari anggota Ade’ Pitu (Adat Tujuh) yaitu legislasi Kerajaan Bone serta seluruh pimpinan Laskar Kerajaan Bone.
Pertama kali tentara Belanda mendarat di Pantai Timur Kerajaan Bone setelah kapal mereka melewati Laut Teluk Bone (Pantai ujung Pallette-Pantai BajoE- Pantai Ujung Pattiro).
Saat orang pertama prajurit Belanda menginjakkan kaki mereka di Bone, La Pawawoi Karaeng Sigeri langsung menyerukan pada rakyat dan pasukannya untuk berperang melawan kompeni Belanda.
Belanda di bawah pimpinan panglima operasinya Kolonel Van der Wedden, dengan perlatan tempur yang cangih saat itu terus melakukan serangan sporadis ke kubu-kubu pertahanan Laskar Kerajaan Bone.
Meski mendapat perlawanan sengit dari rakyat dan tentara Kerajaan Bone, akan tetapi lantaran persenjataan tentara Belanda yang lengkap akhirnya Belanda berhasil memukul mundur Laskar Kerajaan Bone.
Hingga pada 30 Juli 1905 tentara Belanda berhasil merebut Saoraja (Istana Raja) di Watampone dan menjadikannya sebagai basis pertahanannya.
Setelah Saoraja direbut Belanda, selama kurang lebih lima bulan (Juli-November 1905 ) La Pawawoi Karaeng Sigeri bersama putranya beberapa kali memindahkan pusat pertahanannya.
Hal ini dilakukan agar segenap Laskar Kerajaan Bone yang terpencar di berbagai tempat terus dapat melakukan kontak dan koordinasi dengannya.
Adapun pusat-pusat pertahanan Laskar Kerajaan Bone pada waktu itu antara lain, di Palakka, Pasempe, Gottang, Lamuru, dan Citta di daerah Soppeng.
Dalam kondisi yang tidak menentu, ditambah seragan serdadu Belanda yang semakin gencar, maka petinggi kerajaan Bone mengubah taktik perangnya dari perlawanan frontal menjadi perang gerilya.
Tetapi kian hari stamina Laskar Kerajaan Bone semakin menurun sementara serdadu Belanda terus menggempur pusat-pusat pertahanannya.Hingga ke Bulu Awo, perbatasan Siwa dan Tana Toraja yang merupakan basis terakhir perlawaan Laksa Bone.
Disitulah putra mahkota yang juga Panglima Perang Kerajaan Bone Petta PonggawaE gugur pada 18 November 1905. Belanda kemudian menangkap La Pawawoi Karaeng Sigeri pada 14 Desember 1905 dan diasingkan ke Bandung.
Setelah beberpa lama di Bandung Belanda memindahkan La Pawawoi Karaeng Sigeri ke Jakarta. Pada tanggal 11 November tahun 1911 La Pawawoi Karaeng Sigeri meninggal dunia dan dimakamkan di MatinroEri Jakarta.
Pada tahun 1976 almarhum dianugrahi gelar sebagai Pahlawan Nasional, dan kerangka jenazahnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.
(ilo)