Polisi Jangan Takut Selidiki Tragedi Open House JK
A
A
A
JAKARTA - Polisi harus berani menyelidiki jatuhnya korban dalam open house di rumah Jusuf Kalla (JK), Selasa lalu.
"Jangan karena JK itu wakil presiden terpilih lalu polisi takut," ujar Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane kepada KORAN SINDO, Jumat (1/8/2014).
Neta mengatakan, kecerobohan yang memakan korban jiwa harus diproses secara hukum. Jika kasus ini dihentikan, sama saja Polrestabes Makassar dan JK sebagai wakil presiden terpilih membiarkan pelanggaran hukum dan kezaliman terjadi di negeri ini. JK harus konsisten dengan janjinya saat kampanye bahwa penegakan hukum harus diutamakan.
"Jadi Polrestabes Makassar tidak boleh menghentikan kasus ini. Untuk itu JK harus mendorong kasus ini diselesaikan secara hukum, biar rasa keadilan masyarakat tidak tercederai," kata Neta.
Dia menilai, penghentian penyelidikan dalam kasus tewasnya seorang anak di kediaman adalah langkah yang keliru. Dia mengatakan, penyelidikan haruslah dilakukan karena hilangnya nyawa seseorang.
"Sangat keliru. Harus diselidiki siapa panitia penyelenggara acara tersebut dan siapa yang paling bertanggung jawab. Tewasnya korban yang terinjak-injak juga perlu didalami apakah ada unsur kesengajaan atau tidak," paparnya.
Neta mengatakan, saat Presiden Terpilih Joko Widodo (Jokowi) melakukan pengumpulan massa di Graha Saba, Solo, jumlah masyarakat yang ingin bersalaman dan bersilaturahmi dengan Jokowi juga sangat banyak. "Tapi, panitia dan tuan rumah bisa mengaturnya dengan tertib dan tidak ada korban. Sementara kenapa di rumah JK tidak tertib dan jatuh korban? Hal ini menunjukkan panitia di rumah JK ceroboh," ujarnya.
Terkait dengan keikhlasan keluarga korban, Neta menilai hal tersebut mungkin nantinya dapat meringankan hukuman. Namun, itu menjadi wewenang pengadilan. "Bagaimana vonisnya itu pengadilan, tapi pengusutan harus tetap dilakukan," tegasnya.
Pengamat Hukum Pidana Universitas Trisakti Yenti Garnasih mengatakan, penghentian penyelidikan tidaklah sesederhana itu. Menurut dia, jika dihentikan dengan alasan-alasan tersebut maka tidak akan memberikan sebuah pembelajaran. "Tidak semudah itu. Harus dicari siapa yang harus bertanggung jawab. Jangan meremehkan nyawa seseorang," ujarnya.
Dia mengatakan, harus ada tindakan dari aparat kepolisian untuk mengungkap hilangnya nyawa saat open house di rumah mantan orang nomor satu Partai Golkar tersebut. Dia melihat adanya kelalaian dari pihak keamanan yang saat itu berada di tempat kejadian. "Orang demo saja dijaga. Ini kan di tempat wakil presiden terpilih, tentunya sudah ada pengamanan tersendiri," ujarnya.
Setidaknya, harus ada hukuman bagi pihak keamanan. Baik hukuman disiplin atupun administrasi. "Komandannya siapa saat itu. Mengapa massa yang sudah begitu banyak tidak diantisipasi. Ini protap keamanannya bagaimana? Tata cara pengamanannya juga harus diselidiki," tegasnya.
Sebelumnya, JK tidak ingin menyalahkan pihak pengamanan. Menurutnya, pengamanan yang dilakukan pihak kepolisian sudah maksimal. Hanya saja, kejadian tersebut adalah musibah, dan tidak bisa dihindari.
Seperti diketahui, korban meninggal dunia akibat insiden open house di kediaman Jusuf Kalla bertambah menjadi dua orang. Korban kedua bernama Harni Daeng Intang (49). Sementara, korban pertama adalah bocah murid kelas 6 SD bernama Hadika (12).
Harni meninggal dunia pada Jumat (1/8/2014)) sekitar pukul 02.45 WITA, di ruangan ICU Rumah Sakit Stella Maris, Jalan Penghibur, Kecamatan Ujung Pandang. Sebelum meninggal, korban dirawat intensif selama empat hari, terhitung sejak pascakejadian, Selasa (29/7/2014).
"Jangan karena JK itu wakil presiden terpilih lalu polisi takut," ujar Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane kepada KORAN SINDO, Jumat (1/8/2014).
Neta mengatakan, kecerobohan yang memakan korban jiwa harus diproses secara hukum. Jika kasus ini dihentikan, sama saja Polrestabes Makassar dan JK sebagai wakil presiden terpilih membiarkan pelanggaran hukum dan kezaliman terjadi di negeri ini. JK harus konsisten dengan janjinya saat kampanye bahwa penegakan hukum harus diutamakan.
"Jadi Polrestabes Makassar tidak boleh menghentikan kasus ini. Untuk itu JK harus mendorong kasus ini diselesaikan secara hukum, biar rasa keadilan masyarakat tidak tercederai," kata Neta.
Dia menilai, penghentian penyelidikan dalam kasus tewasnya seorang anak di kediaman adalah langkah yang keliru. Dia mengatakan, penyelidikan haruslah dilakukan karena hilangnya nyawa seseorang.
"Sangat keliru. Harus diselidiki siapa panitia penyelenggara acara tersebut dan siapa yang paling bertanggung jawab. Tewasnya korban yang terinjak-injak juga perlu didalami apakah ada unsur kesengajaan atau tidak," paparnya.
Neta mengatakan, saat Presiden Terpilih Joko Widodo (Jokowi) melakukan pengumpulan massa di Graha Saba, Solo, jumlah masyarakat yang ingin bersalaman dan bersilaturahmi dengan Jokowi juga sangat banyak. "Tapi, panitia dan tuan rumah bisa mengaturnya dengan tertib dan tidak ada korban. Sementara kenapa di rumah JK tidak tertib dan jatuh korban? Hal ini menunjukkan panitia di rumah JK ceroboh," ujarnya.
Terkait dengan keikhlasan keluarga korban, Neta menilai hal tersebut mungkin nantinya dapat meringankan hukuman. Namun, itu menjadi wewenang pengadilan. "Bagaimana vonisnya itu pengadilan, tapi pengusutan harus tetap dilakukan," tegasnya.
Pengamat Hukum Pidana Universitas Trisakti Yenti Garnasih mengatakan, penghentian penyelidikan tidaklah sesederhana itu. Menurut dia, jika dihentikan dengan alasan-alasan tersebut maka tidak akan memberikan sebuah pembelajaran. "Tidak semudah itu. Harus dicari siapa yang harus bertanggung jawab. Jangan meremehkan nyawa seseorang," ujarnya.
Dia mengatakan, harus ada tindakan dari aparat kepolisian untuk mengungkap hilangnya nyawa saat open house di rumah mantan orang nomor satu Partai Golkar tersebut. Dia melihat adanya kelalaian dari pihak keamanan yang saat itu berada di tempat kejadian. "Orang demo saja dijaga. Ini kan di tempat wakil presiden terpilih, tentunya sudah ada pengamanan tersendiri," ujarnya.
Setidaknya, harus ada hukuman bagi pihak keamanan. Baik hukuman disiplin atupun administrasi. "Komandannya siapa saat itu. Mengapa massa yang sudah begitu banyak tidak diantisipasi. Ini protap keamanannya bagaimana? Tata cara pengamanannya juga harus diselidiki," tegasnya.
Sebelumnya, JK tidak ingin menyalahkan pihak pengamanan. Menurutnya, pengamanan yang dilakukan pihak kepolisian sudah maksimal. Hanya saja, kejadian tersebut adalah musibah, dan tidak bisa dihindari.
Seperti diketahui, korban meninggal dunia akibat insiden open house di kediaman Jusuf Kalla bertambah menjadi dua orang. Korban kedua bernama Harni Daeng Intang (49). Sementara, korban pertama adalah bocah murid kelas 6 SD bernama Hadika (12).
Harni meninggal dunia pada Jumat (1/8/2014)) sekitar pukul 02.45 WITA, di ruangan ICU Rumah Sakit Stella Maris, Jalan Penghibur, Kecamatan Ujung Pandang. Sebelum meninggal, korban dirawat intensif selama empat hari, terhitung sejak pascakejadian, Selasa (29/7/2014).
(zik)