Miskin, Satu Keluarga Terpaksa Makan Bangkai Hewan
A
A
A
NGANJUK - Satu keluarga di Dusun Patik, Desa Senopatik, Kecamatan Berbek terpaksa memakan bangkai hewan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Satu keluarga tersebut terdiri dari seorang nenek berusia 80 tahun yang bernama Mbah Ginem dan tiga anaknya.
Penderitaan Mbah Ginem tercermin dari rumah yang dia tinggali. Sebuah gubuk reot yang layak disebut kandang daripada tempat tinggal.
Disana, dia ditemani Sadinah (54) putri sulungnya. Kemudian juga Suparman (40) anak keduanya yang mengalami keterbelakangan mental.
Di salah satu sudut ruangan tergolek juga Suparti (35) putri bungsunya. Gadis dengan usia yang tidak lagi remaja itu menderita kelumpuhan.
Selain bertahun tahun tidak bisa menggerakkan raga, putri bungsunya itu juga menderita gangguan mental.
Secara ekonomi tidak berlebihan bila dikatakan keluarga ini sedang sekarat. Sebab, hanya dengan belas kasihan orang lain, kebutuhan hidup mereka baru bisa terpenuhi.
Untuk mendapatkan makanan, Suparman mencoba membantu Sadinah mencari sesuatu yang bisa dimakan.
Namun kondisi mentalnya yang tidak genap 100% memaksa Suparman kerap memburu bangkai binatang yang terapung di sungai.
Bangkai itu dia bawa pulang dengan sepengetahuan Mbah Ginem, hewan yang terkadang ayam mati dan tidak jarang sudah setengah membusuk itupun didaur ulang. Terpaksa karena sudah tidak ada pilihan, keluarga miskin ini memasak daging bangkai dan menyantapnya bersama sama.
Karena terdorong rasa iba menyaksikan langsung fenomena sosial yang terjadi, Kapolres Nganjuk Ajun Komisaris Besar Polisi Anggoro Sukartono telah mengulurkan bantuan. Anggoro membawa Sadinah, Suparman dan Suparti ke Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya. Aparat Kepolisian Nganjuk juga melakukan pembenahan tempat tinggal yang tidak layak huni tersebut.
Setelah dinyatakan sehat, Sadinah diperbolehkan pulang lebih dulu. Selasa 15 Juli 2014, untuk pertama kalinya Sadinah bertemu ibunya (Mbah Ginem) di rumah yang telah diperbaiki. “Kami telah menyerahkan pengurusan hidup mereka kepada pemerintah, “ ujar Anggoro.
Penderitaan Mbah Ginem tercermin dari rumah yang dia tinggali. Sebuah gubuk reot yang layak disebut kandang daripada tempat tinggal.
Disana, dia ditemani Sadinah (54) putri sulungnya. Kemudian juga Suparman (40) anak keduanya yang mengalami keterbelakangan mental.
Di salah satu sudut ruangan tergolek juga Suparti (35) putri bungsunya. Gadis dengan usia yang tidak lagi remaja itu menderita kelumpuhan.
Selain bertahun tahun tidak bisa menggerakkan raga, putri bungsunya itu juga menderita gangguan mental.
Secara ekonomi tidak berlebihan bila dikatakan keluarga ini sedang sekarat. Sebab, hanya dengan belas kasihan orang lain, kebutuhan hidup mereka baru bisa terpenuhi.
Untuk mendapatkan makanan, Suparman mencoba membantu Sadinah mencari sesuatu yang bisa dimakan.
Namun kondisi mentalnya yang tidak genap 100% memaksa Suparman kerap memburu bangkai binatang yang terapung di sungai.
Bangkai itu dia bawa pulang dengan sepengetahuan Mbah Ginem, hewan yang terkadang ayam mati dan tidak jarang sudah setengah membusuk itupun didaur ulang. Terpaksa karena sudah tidak ada pilihan, keluarga miskin ini memasak daging bangkai dan menyantapnya bersama sama.
Karena terdorong rasa iba menyaksikan langsung fenomena sosial yang terjadi, Kapolres Nganjuk Ajun Komisaris Besar Polisi Anggoro Sukartono telah mengulurkan bantuan. Anggoro membawa Sadinah, Suparman dan Suparti ke Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya. Aparat Kepolisian Nganjuk juga melakukan pembenahan tempat tinggal yang tidak layak huni tersebut.
Setelah dinyatakan sehat, Sadinah diperbolehkan pulang lebih dulu. Selasa 15 Juli 2014, untuk pertama kalinya Sadinah bertemu ibunya (Mbah Ginem) di rumah yang telah diperbaiki. “Kami telah menyerahkan pengurusan hidup mereka kepada pemerintah, “ ujar Anggoro.
(sms)