Negeri Atas Angin, Menabur Pupur Setiap Malam
A
A
A
JAWA TIMUR - PERTUNJUKAN dimulai dengan munculnya penulis Wina Bojonegoro yang duduk bersimpuh selayaknya sinden.
Wina seolah menjadi pengantar dimulainya pementasan berjudul “Negeri Atas Angin” (NAA) tersebut yang sengaja dihadirkan oleh tiga penggiat kesenian yakni Komunitas Susastra Nusantara (KSN) Surabaya, Sae Sanget Community (SSC) Probolinggo dan arsisketur Indonesia di Surabaya.
Dalam penerangan yang sengaja dibuat temaram, pertunjukan langsung disambut kehadiran Deny Try Ariani yang merupakan anggota KSN lulusan STKW Wilwatikta Surabaya. Daa keluar membawa lampu ting bersumbu minyak tanah dan mencoba menerjemahkan NAA yang juga menjadi judul buku kumpulan Wina.
Usai pembacan cerpen dari Deny Tri Ariani, acara dilanjutkan penampilan anggota KSN yang lain yakni Alveng Subrata yang membacakan cerpen berjudul Mimpi tentang Dongmoon salah satu cerpen dalam buku NAA.
Memasuki pentas inti maka penampilan apik disuguhkan oleh SSC yang ditampilkan Arie Flaco. SSC sendiri merupakan sekelompok anak muda pecinta seni di Probolinggo. “Kesetiaan mereka pada dunia pementasan didasari rasa cinta mereka pada musik, teater dan dunia literasi. Saya sudah banyak saya bekerja sama dengan mereka untuk beberapa acara sastra yang digelar KSN,” katanya Senin (30/6).
Tidak cukup penampilan dua komunitas berbeda aliran ini, dalam pertunjukan utama itu, juga muncul tokoh utama Darsini seperti dalam cerpen NAA yang sesungguhnya. Darsini adalah seorang sindir atau tayub.
Di pentas, cerita Darsini mengalir bersama tokoh lain seperti Widji (pemain kendang), Serimpi (sindir muda pengganti Darsini) dan Karsono van Kalitidu. "Namaku Darsini, sindir Negeri Atas Angin yang siap lembur menabur pupur di setiap malam tanpa libur,” demikian cuplikan kalimat Darsini yang diperankan Shenobi Mikael.
Selain menari, menggelar sastra, Shenobi juga tampil apik ketika menyanyikan lagu Yen Ing Tawang Ono Lintang dengan versi baru yang lebih ngepop dan ngejazz. Bahkan lagu tersebut memang sengaja di aransemen sendiri oleh Arie untuk pementasan NAA yang berlangsung di Heerlijk Gelato Cafe, Perpustakaan BI Jl Taman Mayangkara 6.
Sementara itu, Wina yang juga penulis buku NAA mengatakan pertunjukan puncak oleh SSC itu merupakan terjemahan dari cerpen-cerpem yang ada dalam buku NAA, dimana kebanyakan ceritanya mengisahkan tentang kehidupan seorang sindir atau tayub di wilayah terpencil Kabupaten Bojonegoro.
“Kisah ini menceritakan betapa rumitnya menjalani kehidupan sebagai seorang sindir yang menderita sakit, hidup menumpang dan harus menjadi piala bagi para lelaki sementara ia harus membayar ‘hutang’ hidupnya,” ujarnya.
Lebih lanjut Wina menuturkan sindir atau tayub sendiri adalah tari pergaulan khas rakyat Indonesia, yang saat ini sudah nyaris punah. “Pementasan teatrikal sindir akan mengingatkan kembali kepada kita bahwa kebudayaan tanah Jawa begitu kaya dan penuh warna. Jika saat ini kebudayaan asing menyerbu Nusantara, rasanya tidak ada salahnya kita ‘nguri-uri’ kebudayaan agar tak hilang jati diri bangsa ini,” tandasnya.
Wina seolah menjadi pengantar dimulainya pementasan berjudul “Negeri Atas Angin” (NAA) tersebut yang sengaja dihadirkan oleh tiga penggiat kesenian yakni Komunitas Susastra Nusantara (KSN) Surabaya, Sae Sanget Community (SSC) Probolinggo dan arsisketur Indonesia di Surabaya.
Dalam penerangan yang sengaja dibuat temaram, pertunjukan langsung disambut kehadiran Deny Try Ariani yang merupakan anggota KSN lulusan STKW Wilwatikta Surabaya. Daa keluar membawa lampu ting bersumbu minyak tanah dan mencoba menerjemahkan NAA yang juga menjadi judul buku kumpulan Wina.
Usai pembacan cerpen dari Deny Tri Ariani, acara dilanjutkan penampilan anggota KSN yang lain yakni Alveng Subrata yang membacakan cerpen berjudul Mimpi tentang Dongmoon salah satu cerpen dalam buku NAA.
Memasuki pentas inti maka penampilan apik disuguhkan oleh SSC yang ditampilkan Arie Flaco. SSC sendiri merupakan sekelompok anak muda pecinta seni di Probolinggo. “Kesetiaan mereka pada dunia pementasan didasari rasa cinta mereka pada musik, teater dan dunia literasi. Saya sudah banyak saya bekerja sama dengan mereka untuk beberapa acara sastra yang digelar KSN,” katanya Senin (30/6).
Tidak cukup penampilan dua komunitas berbeda aliran ini, dalam pertunjukan utama itu, juga muncul tokoh utama Darsini seperti dalam cerpen NAA yang sesungguhnya. Darsini adalah seorang sindir atau tayub.
Di pentas, cerita Darsini mengalir bersama tokoh lain seperti Widji (pemain kendang), Serimpi (sindir muda pengganti Darsini) dan Karsono van Kalitidu. "Namaku Darsini, sindir Negeri Atas Angin yang siap lembur menabur pupur di setiap malam tanpa libur,” demikian cuplikan kalimat Darsini yang diperankan Shenobi Mikael.
Selain menari, menggelar sastra, Shenobi juga tampil apik ketika menyanyikan lagu Yen Ing Tawang Ono Lintang dengan versi baru yang lebih ngepop dan ngejazz. Bahkan lagu tersebut memang sengaja di aransemen sendiri oleh Arie untuk pementasan NAA yang berlangsung di Heerlijk Gelato Cafe, Perpustakaan BI Jl Taman Mayangkara 6.
Sementara itu, Wina yang juga penulis buku NAA mengatakan pertunjukan puncak oleh SSC itu merupakan terjemahan dari cerpen-cerpem yang ada dalam buku NAA, dimana kebanyakan ceritanya mengisahkan tentang kehidupan seorang sindir atau tayub di wilayah terpencil Kabupaten Bojonegoro.
“Kisah ini menceritakan betapa rumitnya menjalani kehidupan sebagai seorang sindir yang menderita sakit, hidup menumpang dan harus menjadi piala bagi para lelaki sementara ia harus membayar ‘hutang’ hidupnya,” ujarnya.
Lebih lanjut Wina menuturkan sindir atau tayub sendiri adalah tari pergaulan khas rakyat Indonesia, yang saat ini sudah nyaris punah. “Pementasan teatrikal sindir akan mengingatkan kembali kepada kita bahwa kebudayaan tanah Jawa begitu kaya dan penuh warna. Jika saat ini kebudayaan asing menyerbu Nusantara, rasanya tidak ada salahnya kita ‘nguri-uri’ kebudayaan agar tak hilang jati diri bangsa ini,” tandasnya.
(ilo)