Dolly Ditutup, PSK Pindah ke Panti Pijat

Jum'at, 30 Mei 2014 - 13:56 WIB
Dolly Ditutup, PSK Pindah ke Panti Pijat
Dolly Ditutup, PSK Pindah ke Panti Pijat
A A A
SURABAYA - Kebijakan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya menutup lokalisasi Dolly pada 19 Juni mendatang diyakini tidak akan mampu menekan penyebaran virus HIV/AIDS. Justru penutupan lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara itu mengakibatkan virus mematikan itu menyebar.

Penyebaran tersebut lantaran para pekerja seks komersial (PSK) tidak lagi berpraktik di lokalisasi, melainkan di panti pijat, rumah karaoke, diskotek, spa, dan sejumlah tempat-tempat hiburan lainnnya. Parahnya lagi, dengan tidak adanya lokalisasi, tidak akan ada lagi pemeriksaan rutin yang dilakukan Dinas Kesehatan (Dinkes) Surabaya. Biasanya, dalam tiga bulan sekali, dinkes memeriksa para PSK di lokalisasi Dolly. PSK sendiri diwajibkan untuk bersedia diperiksa.

"Jika Dolly ditutup, saya kira, Risma (Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini telah menciptakan Kota Surabaya sebagai kota lokalisasi. Ini karena PSK akan berpraktik di mana-mana di seluruh tempat di Surabaya. Entah itu panti pijat, diskotek, dan lain sebagainya," ujar Direktur Program Our Right To Be Independent (Orbit), LSM yang menangani penyebaran virus HIV/AIDS, Rudy Wedhasmara, Jumat (30/5/2014)

Rudy menjelaskan, ada dua kategori PSK. Pertama, PSK langsung di mana PSK jenis ini berpraktik di lokalisasi. Kedua, PSK tidak langsung. PSK jenis ini berpraktik di panti pijat, diskotek dan tempat-tempat hiburan.

Nah, saat ini sudah mulai ada kecenderungan perpindahan PSK dari lokalisasi ke panti-panti pijat. Ini ditunjukkan dengan makin menjamurnya panti pijat di seluruh penjuru Surabaya. Sebut saja di daerah Bratang dan juga Mayjend Sungkono, tepatnya di Darmo Park. Bahkan, di Jalan Dharmawangsa yang notabene berdekatan dengan kampus Universitas Airlangga (Airlangga) juga terdapat panti pijat.

Dari sisi ekonomi, kata dia, dengan menjamurnya rumah hiburan dan panti pijat, tentu akan berdampak pada peningkatan pendapatan daerah melalui pajak. "Risma itu menutup lokalisasi asal menutup saja, tanpa mempertimbangkan dampak sosialnya," terangnya.

Penutupan Dolly ini, lanjut dia, sudah mulai memunculkan persoalan sosial. Contohnya di Taman Bungkul. Pada tahun 1990-an, taman yang mendapat penghargaan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu sebagai tempat yang angker. Kemudian tahun 2000-an berubah menjadi tempat untuk berziarah. Memasuki tahun 2010-an, taman ini berubah menjadi tempat berkumpulnya para komunitas gay, lesbian, dan kelompok masyarakat lainnya. Taman yang ada di jantung kota Surabaya ini juga menjadi tempat transaksi PSK.

"Kalau sudah menyebar seperti ini, tentu kontrolnya akan sulit. Kami mau masuk ke panti-panti pijat, tentu pengelolanya jarang yang bersedia karena akan dianggap menyediakan PSK. Padahal sebenarnya mereka memang menyediakan jasa PSK. Jadi, Risma ini tidak melindungi warga Surabaya dari penyakit HIV/AIDS," paparnya.

Sebelumnya, Risma menegaskan tidak akan mundur sejengkal pun dengan adanya berbagai aksi penolakan penutupan Dolly. Menurutnya, penolakan sesuatu yang wajar. Kata Risma, ketika menutup lokalisasi Sememi dan Dupak Bangunsari, sejumlah PSK, mucikari, dan warga setempat juga menentang. Tapi akhirnya, penutupan bisa berlangsung lancar.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4928 seconds (0.1#10.140)