Warga Tetap Tolak Penutupan Dolly
A
A
A
SURABAYA - Kendati Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya memberi iming-iming pekerjaan dan modal kerja, para Pekerja Seks Komersial (PSK), mucikari, dan warga di lokalisasi Dolly tetap menolak penutupan lokalisasi tersebut. Sebab, janji-janji dari pemkot tersebut belum tentu akan membawa kehidupan yang lebih baik.
Untuk kesekian kalinya, puluhan PSK, mucikari dan warga di lokalisasi Dolly yang tergabung dalam Front Pekerja Lokalisasi (FPL), Senin, (26/5/2014) menggelar aksi unjuk rasa di Jalan Jarak. Mereka membentangkan sejumlah spanduk yang berisi penolakan terhadap lokalisasi yang konon terbesar se-Asia Tenggara. Aksi tersebut mengakibatkan arus lalu lintas di jalan yang menghubungkan antara Jalan Mayjend Sungkono dan Jalan Diponegoro menjadi tersendat. Aksi menutup jalan ini tidak berlangsung lama, sehingga tidak sampai menimbulkan kemacetan yang panjang.
Ketua Umum FPL Suyitno dengan tegas menyatakan menolak penutupan Dolly. Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Surabaya sempat berencana menyalurkan para warga yang sepakat penutupan Dolly ke sebanyak 80 perusahaan. Namun, sampai saat ini, buruh pabrik masih mudah di-PHK. Selain itu, menjadi buruh pabrik juga tidak ada jaminan sosial. Bahkan, upah menjadi buruh juga masih jauh dari layak.
"Jika Wisnu (Wakil Wali Kota Surabaya Wisnu Sakti Buana) menyatakan warga sepakat penutupan Dolly, itu keliru dan salah besar. Tidak ada satu pun warga sepakat penutupan, kami semua menolak. Saya minta pernyataan Wisnu itu diklarifikasi," terangnya.
Suyitno menambahkan, jika pemkot ngotot menutup lokalisasi sebelum mampu menyejahterakan rakyat, pihaknya siap melakukan perlawanan. Jika nanti pemkot tetap melaksanakan penutupan dengan cara-cara kekerasan, pihaknya tak segan-segan melaporkan tindakan tersebut ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) maupun lembaga internasional lainnya.
"Kompensasi dari pemerintah itu bohong. Jika Dolly ditutup, maka semua tempat yang juga jadi praktik prostitusi juga harus ditutup, seperti diskotek, panti pijat, dan juga rumah karaoke remang-remang," tegasnya.
Untuk kesekian kalinya, puluhan PSK, mucikari dan warga di lokalisasi Dolly yang tergabung dalam Front Pekerja Lokalisasi (FPL), Senin, (26/5/2014) menggelar aksi unjuk rasa di Jalan Jarak. Mereka membentangkan sejumlah spanduk yang berisi penolakan terhadap lokalisasi yang konon terbesar se-Asia Tenggara. Aksi tersebut mengakibatkan arus lalu lintas di jalan yang menghubungkan antara Jalan Mayjend Sungkono dan Jalan Diponegoro menjadi tersendat. Aksi menutup jalan ini tidak berlangsung lama, sehingga tidak sampai menimbulkan kemacetan yang panjang.
Ketua Umum FPL Suyitno dengan tegas menyatakan menolak penutupan Dolly. Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Surabaya sempat berencana menyalurkan para warga yang sepakat penutupan Dolly ke sebanyak 80 perusahaan. Namun, sampai saat ini, buruh pabrik masih mudah di-PHK. Selain itu, menjadi buruh pabrik juga tidak ada jaminan sosial. Bahkan, upah menjadi buruh juga masih jauh dari layak.
"Jika Wisnu (Wakil Wali Kota Surabaya Wisnu Sakti Buana) menyatakan warga sepakat penutupan Dolly, itu keliru dan salah besar. Tidak ada satu pun warga sepakat penutupan, kami semua menolak. Saya minta pernyataan Wisnu itu diklarifikasi," terangnya.
Suyitno menambahkan, jika pemkot ngotot menutup lokalisasi sebelum mampu menyejahterakan rakyat, pihaknya siap melakukan perlawanan. Jika nanti pemkot tetap melaksanakan penutupan dengan cara-cara kekerasan, pihaknya tak segan-segan melaporkan tindakan tersebut ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) maupun lembaga internasional lainnya.
"Kompensasi dari pemerintah itu bohong. Jika Dolly ditutup, maka semua tempat yang juga jadi praktik prostitusi juga harus ditutup, seperti diskotek, panti pijat, dan juga rumah karaoke remang-remang," tegasnya.
(zik)