Soekarwo Pastikan Dolly Ditutup Sesuai Jadwal
A
A
A
SURABAYA – Gubernur Jawa Timur Soekarwo memastikan penutupan lokalisasi Dolly tetap berjalan sesuai rencana. Banyaknya penolakan dari masyarakat dan elemen massa pro lokalisasi Dolly diyakini tidak akan menganggu rencana yang disiapkan Pemkot Surabaya.
“Tetap akan berjalan sesuai jadwal. Kami mendorong agar tanggal 19 Juni 2014 penutupan tetap dilakukan. Saya yakin, Bu Risma (Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya) pasti punya solusi untuk mengatasi penolakan warga itu,” ungkap Soekarwo seusai upacara Hari Kebangkitan Nasional di Gedung Negara Grahadi, Selasa (20/5/2014).
Dia juga optimistis, sikap berbeda dari Wakil Walikota Surabaya Wisnu Sakti Buana tidak akan berpengaruh terhadap rencana besar itu.
Bagi Soekarwo, perbedaan sikap Wisnu dengan Tri Rismaharini atas Dolly hanyalah problem komunikasi saja.
“Dalam demokrasi, tidak setuju kan bukan berarti menolak. Karena itu, perlu ada dialog untuk meneguhkan musyawarah,” timpalnya.
Soekarwo menyatakan, persoalan Dolly adalah persoalan kemanusiaan. Karena itu, dia menilai bahwa alasan Wisnu untuk meninjau ulang rencana penutupan lokalisasi Dolly adalah sesuatu yang masuk akal.
“Nah, pandangan inilah yang harus disamakan terkait rencana penutupan Dolly ini. Kuncinya adalah memperkuat dialog,”tuturnya.
Soekarwo juga berharap ada komunikasi lebih dalam dengan masyarakat Dolly. Sebab saat ini masyarakat mulai menutup diri. Mereka bahkan enggan menyerahkan data tentang jumlah penghuni maupun mucikari di sana.
Padahal, data tersebut kini tengah dibutuhkan Pemprov Jatim berkaitan dengan kucuran dana hibah.
Sesuai rencana, Pemprov Jatim akan memberikan kompensasi kepada mucikari sebesar Rp5,050 juta per orang, serta untuk pekerja seks komersial (PSK) sebesar Rp3 juta per orang.
Ini untuk mengetahui, berapa dana yang harus disiapkan Pemprov Jatim untuk membantu penutupan lokalisasi itu.
Untuk diketahui, dalam proses penutupan lokalisasi Dolly, Pemprov Jatim bertugas memberi support dana.
Sementara, Pemkot Surabaya adalah eksekutornya. Mereka berwenang penuh atas konsep dan pelaksanaannya. Sementara itu, sejumlah organisasi massa terus menentang rencana Pemkot Surabaya.
Mereka menganggap, penutupan Dolly justru akan berdampak negatif bagi masyarakat secara umum.
Selain efek sosial masyarakat sekitar lokalisasi, pentupan Dolly juga bisa memicu munculnya praktik prostitusi baru.
“Fakta saat ini adalah banyak tempat karaoke muncul di Surabaya. Bukan tidak mungkin, praktik prostitusi berpindah ke sini. Karena itu, akan percuma bila tempat karaoke tetap dibiarkan,” tegas Wakil Pimpinan Laskar Merah Putih, Osama CW.
“Tetap akan berjalan sesuai jadwal. Kami mendorong agar tanggal 19 Juni 2014 penutupan tetap dilakukan. Saya yakin, Bu Risma (Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya) pasti punya solusi untuk mengatasi penolakan warga itu,” ungkap Soekarwo seusai upacara Hari Kebangkitan Nasional di Gedung Negara Grahadi, Selasa (20/5/2014).
Dia juga optimistis, sikap berbeda dari Wakil Walikota Surabaya Wisnu Sakti Buana tidak akan berpengaruh terhadap rencana besar itu.
Bagi Soekarwo, perbedaan sikap Wisnu dengan Tri Rismaharini atas Dolly hanyalah problem komunikasi saja.
“Dalam demokrasi, tidak setuju kan bukan berarti menolak. Karena itu, perlu ada dialog untuk meneguhkan musyawarah,” timpalnya.
Soekarwo menyatakan, persoalan Dolly adalah persoalan kemanusiaan. Karena itu, dia menilai bahwa alasan Wisnu untuk meninjau ulang rencana penutupan lokalisasi Dolly adalah sesuatu yang masuk akal.
“Nah, pandangan inilah yang harus disamakan terkait rencana penutupan Dolly ini. Kuncinya adalah memperkuat dialog,”tuturnya.
Soekarwo juga berharap ada komunikasi lebih dalam dengan masyarakat Dolly. Sebab saat ini masyarakat mulai menutup diri. Mereka bahkan enggan menyerahkan data tentang jumlah penghuni maupun mucikari di sana.
Padahal, data tersebut kini tengah dibutuhkan Pemprov Jatim berkaitan dengan kucuran dana hibah.
Sesuai rencana, Pemprov Jatim akan memberikan kompensasi kepada mucikari sebesar Rp5,050 juta per orang, serta untuk pekerja seks komersial (PSK) sebesar Rp3 juta per orang.
Ini untuk mengetahui, berapa dana yang harus disiapkan Pemprov Jatim untuk membantu penutupan lokalisasi itu.
Untuk diketahui, dalam proses penutupan lokalisasi Dolly, Pemprov Jatim bertugas memberi support dana.
Sementara, Pemkot Surabaya adalah eksekutornya. Mereka berwenang penuh atas konsep dan pelaksanaannya. Sementara itu, sejumlah organisasi massa terus menentang rencana Pemkot Surabaya.
Mereka menganggap, penutupan Dolly justru akan berdampak negatif bagi masyarakat secara umum.
Selain efek sosial masyarakat sekitar lokalisasi, pentupan Dolly juga bisa memicu munculnya praktik prostitusi baru.
“Fakta saat ini adalah banyak tempat karaoke muncul di Surabaya. Bukan tidak mungkin, praktik prostitusi berpindah ke sini. Karena itu, akan percuma bila tempat karaoke tetap dibiarkan,” tegas Wakil Pimpinan Laskar Merah Putih, Osama CW.
(sms)