Dewan nilai penutupan Dolly terlalu dipaksakan

Selasa, 06 Mei 2014 - 13:11 WIB
Dewan nilai penutupan...
Dewan nilai penutupan Dolly terlalu dipaksakan
A A A
Sindonews.com - Sikap Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya yang tetap ingin menutup lokalisasi Dolly memantik reaksi dari sejumlah anggota DPRD Surabaya. Para wakil rakyat ini menilai, penutupan lokalisasi yang konon terbesar se-Asia Tenggara itu terlalu dipaksakan.

Ketua Komisi D DPRD Surabaya Baktiono dengan tegas menyatakan, pemkot tidak serius dalam melakukan penutupan. Janji bahwa lokalisasi yang sudah ditutup akan dijadikan sentra industri ataupun sentra perdagangan juga tidak pernah terwujud. Baik itu di Sememi, maupun di Tambakasri.

Kedua eks lokalisasi itu hingga kini belum terlihat ada perubahan signifikan pasca penutupan. Bahkan yang terjadi, wisma-wisma yang sudah ditutup menjelma menjadi rumah-rumah karaoke.

“Dari dulu wali kota (Tri Rismaharini) sudah bilang akan, akan, akan (dibangun sentra perdagangan). Tapi hingga sekarang tidak ada wujudnya,” katanya, Selasa (6/5/2014).

Politikus PDI-P ini menilai, jika wali kota tetap berencana saja, tanpa ditindaklajuti aksi nyata, maka akan tetap ada perlawanan dari warga. Khususnya soal lokalisasi Dolly. Seharusnya, wali kota harus mencontoh wali kota sebelumnya, yakni Bambang Dwi Hartono.

Bambang, oleh Baktiono, ketika menggusur Pedagang Kaki Lima (PKL) sudah disiapkan sentra PKL terlebih dulu. Ketika menggusur warga stren kali, juga sudah disiapkan rumah susun. Kalaupun ada perlawanan, jumlahnya sangat kecil.

“Ini (penutupan Dolly) hanya karena selera pribadi wali kota. Di Dolly itu banyak warga Surabaya. Kalau PSK-nya banyak orang luar Surabaya. Memulangkan mereka mudah, tinggal diberi saja uang saku,” jelasnya.

Baktiono menjelaskan, di Dolly banyak warga menggantungkan kehidupan dari aktivtias lokalisasi ini. Bisa dengan membuka warung, menjadi juru parkir, menjadi tukang cuci, dan beberapa jenis pekerjaan yang lain.

Justru yang dikhawatirkan, penutupan lokalisasi ini mengakibatkan penyebaran PSK menjadi tidak terkontrol. Bisa saja, meski Dolly sudah ditutup, tapi wisma-wisma yang ada tetap membuka praktik seperti biasa.

Celakanya, pemkot tidak mampu melakukan kontrol dan pengawasan kesehatan dari para penghuni. Ini disebabkan Dolly sudah dianggap bukan lokalisasi. “Kalau mau serius menutup Dolly, wujudkan dulu janjinya, mau menjadikan Dolly sebagai sentra perdagangan,” pintanya.

Sementara itu, Ketua Komisi A DPRD Surabaya Tri Didik Adiono meminta, pemkot lebih mempertimbangkan dampak atas penutupan ini. Jika Dolly ditutup, para PSK maupun mucikari, bisa saja membuka praktik di tempat lain.

“Secara kepartaian, kami masih belum mengambil sikap, apakah menolak penutupan atau tidak. Kami masih akan koordinasikan lebih lanjut dengan pengurus. Tapi yang pasti, kami akan memikirkan pada dampak yang ditimbulkan dari penutupan itu,” ujar pria yang menjabat sebagai Wakil Ketua DPC PDI-P Kota Surabaya ini.

Wakil rakyat lainnya, Blegur Prijanggono mengatakan, penutupan lokalisasi akan memunculkan rumah hiburan ilegal. Sehingga, penyebaran virus HIV/AIDS akan tidak terkontrol dengan baik. Sebab, para PSK yang sebelumnya beroperasi di Dolly, akan berpraktik di panti pijat, rumah karaoke, salon, spa, dan tempat-tempat lainnya.

“Kami minta pada pemkot untuk menyiapkan sarana dan prasarananya dulu sebelum ditutup. Sarana dan prasaran ini bagi warga yang menggantungkan pendapatan dari Dolly. Jangan ditutup begitu saja tanpa ada pemikiran dampak kedepannya seperti apa,” terangnya.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9446 seconds (0.1#10.140)