Risma klaim punya strategi hadapi penolakan penutupan Dolly
A
A
A
Sindonews.com - Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini tidak mempermasalahkan adanya aksi penolakan yang digelar oleh Forum Pekerja Lokalisasi (FPL).
Orang nomor satu di Surabaya ini mengklaim telah memiliki strategi khusus untuk mengatasi segala bentuk penolakan penutupan lokalisasi yang konon terbesar se-Asia Tenggara tersebut.
Sayangnya, Risma, panggilan Tri Rismaharini, enggan menjelaskan strategi dan taktik seperit apa yang dimaksud.
“Tidak apa-apa mereka menolak. Lagipua saya menutup (Dolly) ini berdasarkan perda (peraturan daerah) dan juga Undang-undang (UU Perdagangan Orang),” kata Risma usai memberi sambutan pada kepala SMP se-Surabaya dalam persiapan Ujian Nasional (UN) di Graha Sawunggaling, Balai Kota Surabaya, Kamis (1/5/2014).
Risma menjelaskan, penutupan lokalisasi ini bukan hanya atas dasar perda dan UU semata, tapi juga ingin menyelamatkan masa depan anak-anak yang ada disana.
Anak-anak di Dolly, kata dia, harus diberi wawasan yang lebih luas. Bahwa lingkungan dimana mereka tinggal, tidak hanya berupa praktik-praktik prostitusi.
“Saya yakin, kalau kita tulus dan ikhlas, Tuhan akan membantu. Karena ini (Dolly) akan mempengaruhi masa depan anak-anak. Anak-anak (di Dolly) harus punya kesempatan seperti anak-anak yang lain,” jelasnya.
Terkait dengan tudingan tidak adanya pelibatan warga dalam proses penutupan Dolly, Risma menyatakan, yang menjadi sasaran penutupan adalah rumah-rumah yang selama ini menjadi tempat praktik prostitusi (wisma). Sehingga, yang dilibatkan adalah para penghuni wisma, baik itu PSK maupun mucikari.
Tapi, pihaknya tetap membuka kesempatan pada warga setempat untuk ikut dalam pelatihan ketrampilan yang diadakan pemkot. “Saya tetap optimistis (19 Juni 2014) itu bisa ditutup,” pungkasnya.
Orang nomor satu di Surabaya ini mengklaim telah memiliki strategi khusus untuk mengatasi segala bentuk penolakan penutupan lokalisasi yang konon terbesar se-Asia Tenggara tersebut.
Sayangnya, Risma, panggilan Tri Rismaharini, enggan menjelaskan strategi dan taktik seperit apa yang dimaksud.
“Tidak apa-apa mereka menolak. Lagipua saya menutup (Dolly) ini berdasarkan perda (peraturan daerah) dan juga Undang-undang (UU Perdagangan Orang),” kata Risma usai memberi sambutan pada kepala SMP se-Surabaya dalam persiapan Ujian Nasional (UN) di Graha Sawunggaling, Balai Kota Surabaya, Kamis (1/5/2014).
Risma menjelaskan, penutupan lokalisasi ini bukan hanya atas dasar perda dan UU semata, tapi juga ingin menyelamatkan masa depan anak-anak yang ada disana.
Anak-anak di Dolly, kata dia, harus diberi wawasan yang lebih luas. Bahwa lingkungan dimana mereka tinggal, tidak hanya berupa praktik-praktik prostitusi.
“Saya yakin, kalau kita tulus dan ikhlas, Tuhan akan membantu. Karena ini (Dolly) akan mempengaruhi masa depan anak-anak. Anak-anak (di Dolly) harus punya kesempatan seperti anak-anak yang lain,” jelasnya.
Terkait dengan tudingan tidak adanya pelibatan warga dalam proses penutupan Dolly, Risma menyatakan, yang menjadi sasaran penutupan adalah rumah-rumah yang selama ini menjadi tempat praktik prostitusi (wisma). Sehingga, yang dilibatkan adalah para penghuni wisma, baik itu PSK maupun mucikari.
Tapi, pihaknya tetap membuka kesempatan pada warga setempat untuk ikut dalam pelatihan ketrampilan yang diadakan pemkot. “Saya tetap optimistis (19 Juni 2014) itu bisa ditutup,” pungkasnya.
(sms)