Kericuhan warnai pembahasan revitalisasi Teluk Benoa
A
A
A
Sindonews.com - Pembahasan rencana revitaliasi Teluk Benoa, Badung di Kantor Bappeda Bali berlangsung ricuh antara pihak yang mendukung berhadapan dengan kelompok penentang reklamasi.
Awalnya, paparan pembicara dari Deputi Kemenko Perekonomian dan Tim Ahli dari IPB berlangsung lancar. Suasana berubah menegang setelah salah seorang yang menolak reklamasi menyampaikan pandangannya.
“Kami warga Teluk Benoa mempertanyakan dalam pembahasan diskusi publik soal revitalisasi. Kok kami tidak pernah dilibatkan,“ kata Kadek Duarsa Humas Gerakan Masyarakat Tolak Reklamasi, Senin (14/4/2014).
Duarsa yang juga Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan Tanjung Benoa meminta penjelasan Profesor Dietrich Pingin, guru besar IPB tentang manfaat secara sosial dan budaya dari revitalisasi Teluk Benoa.
“Kami ingin penjelasan yang tepat dan terbuka dimana kesejahteraan itu kami dapatkan,“ timpalnya dalam diskusi yang dipandu Sekda Provinsi Bali Cok Pemayun.
Dia juga meminta Lanang Sudira peserta diskusi lainnya agar tidak mengklaim mengatasnamakan masyarakat Tanjung Benoa mendukung reklamasi.
Apalagi, dalam rapat Paruman Banjar telah disepakati oleh para klian banjar dan tokoh masyarakat lainnya, untuk menolak reklamasi Teluk Benoa.
Hal itu memancing emosi tokoh masyarakat Tanjung Benoa lainnya Ketut Sukada yang mendukung reklamasi.
Sukada balik menuding kesepakatan itu direkayasa dan bukan mencerminkan aspirasi warga. Bahkan, sembari bersuara keras balik mempertanyakan legitimasi posisi Duarsa dan menuding orang yang tidak paham masalah.
“Kamu anak kemarin sore baru pulang ke kampung, tau masalah apa,“ ujarnya sengit. Suasana memanas dan gaduh karena keduanya terus melontarkan kecaman satu sama lainnya.
Akhirnya Sekda Cok Pemayun meminta peserta tenang dan berfikir dengan kepala dingin, jangan membuat kegaduhan.
“Ini hari baik (bulan purbana) malu kita sebagai orang Bali bisanya ribut, kita disini mencari masukan untuk perbaikan bukan membuat keributan“ katanya mengingatkan.
Sementara itu, dalam paparannya guru besar IPB Prof Dietrich Pingin mengungkapkan, Pulau Pudut menghadapi persoalan pendangkalan sebagai akibat abrasi.
Untuk itu pilihan rasionalnya adalah melakukan revitalisasi kawasan itu namun dengan persyaratan ketat.
Revitalisasi dilakukan dengan syarat mengkombinasikan aspek teknis, lingkungan, sosial budaya dan ekonomi.
“Prioritasnya harus memperhatikan aspek lingkungan dan sosial budaya,“ imbuhnya. Baru kemudian memperhitungkan aspek teknis dan ekonominya“ papar dia.
Dikatakan, pendangkalan di kawasan itu bisa direvitalisasi sehingga bisa lebih baik lagi dan memberi manfaat masyarakat agar bisa lebih berkembang.
Dari studi dilakukan, kawasan yang bisa dilakukan revitalisasi sebanyak 700 hektare baik untuk pembuatan alur maupun penyangga untuk mencegah masuknya sampah.
Kata dia, dari 700 hektare itu tidak bisa dimanfaatkan semuanya, harus ada kawasan yang dibiarkan untuk ruang terbuka hijau dan alur dalam yang maksimal 40%. Sisanya, atau sekira 60% baru untuk dimanfaatkan.
Awalnya, paparan pembicara dari Deputi Kemenko Perekonomian dan Tim Ahli dari IPB berlangsung lancar. Suasana berubah menegang setelah salah seorang yang menolak reklamasi menyampaikan pandangannya.
“Kami warga Teluk Benoa mempertanyakan dalam pembahasan diskusi publik soal revitalisasi. Kok kami tidak pernah dilibatkan,“ kata Kadek Duarsa Humas Gerakan Masyarakat Tolak Reklamasi, Senin (14/4/2014).
Duarsa yang juga Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan Tanjung Benoa meminta penjelasan Profesor Dietrich Pingin, guru besar IPB tentang manfaat secara sosial dan budaya dari revitalisasi Teluk Benoa.
“Kami ingin penjelasan yang tepat dan terbuka dimana kesejahteraan itu kami dapatkan,“ timpalnya dalam diskusi yang dipandu Sekda Provinsi Bali Cok Pemayun.
Dia juga meminta Lanang Sudira peserta diskusi lainnya agar tidak mengklaim mengatasnamakan masyarakat Tanjung Benoa mendukung reklamasi.
Apalagi, dalam rapat Paruman Banjar telah disepakati oleh para klian banjar dan tokoh masyarakat lainnya, untuk menolak reklamasi Teluk Benoa.
Hal itu memancing emosi tokoh masyarakat Tanjung Benoa lainnya Ketut Sukada yang mendukung reklamasi.
Sukada balik menuding kesepakatan itu direkayasa dan bukan mencerminkan aspirasi warga. Bahkan, sembari bersuara keras balik mempertanyakan legitimasi posisi Duarsa dan menuding orang yang tidak paham masalah.
“Kamu anak kemarin sore baru pulang ke kampung, tau masalah apa,“ ujarnya sengit. Suasana memanas dan gaduh karena keduanya terus melontarkan kecaman satu sama lainnya.
Akhirnya Sekda Cok Pemayun meminta peserta tenang dan berfikir dengan kepala dingin, jangan membuat kegaduhan.
“Ini hari baik (bulan purbana) malu kita sebagai orang Bali bisanya ribut, kita disini mencari masukan untuk perbaikan bukan membuat keributan“ katanya mengingatkan.
Sementara itu, dalam paparannya guru besar IPB Prof Dietrich Pingin mengungkapkan, Pulau Pudut menghadapi persoalan pendangkalan sebagai akibat abrasi.
Untuk itu pilihan rasionalnya adalah melakukan revitalisasi kawasan itu namun dengan persyaratan ketat.
Revitalisasi dilakukan dengan syarat mengkombinasikan aspek teknis, lingkungan, sosial budaya dan ekonomi.
“Prioritasnya harus memperhatikan aspek lingkungan dan sosial budaya,“ imbuhnya. Baru kemudian memperhitungkan aspek teknis dan ekonominya“ papar dia.
Dikatakan, pendangkalan di kawasan itu bisa direvitalisasi sehingga bisa lebih baik lagi dan memberi manfaat masyarakat agar bisa lebih berkembang.
Dari studi dilakukan, kawasan yang bisa dilakukan revitalisasi sebanyak 700 hektare baik untuk pembuatan alur maupun penyangga untuk mencegah masuknya sampah.
Kata dia, dari 700 hektare itu tidak bisa dimanfaatkan semuanya, harus ada kawasan yang dibiarkan untuk ruang terbuka hijau dan alur dalam yang maksimal 40%. Sisanya, atau sekira 60% baru untuk dimanfaatkan.
(sms)