3 bulan kerja di Oman, TKI pulang babak belur
A
A
A
Sindonews.com - Malang menimpa Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Desa Cilalawi, Kecamatan Sukatani, Kabupaten Purwakarta, Mamah Maya Abdilah (35). Tiga bulan bekerja di Oman, Mamah menjadi korban penyiksaan majikannya.
"Selama berada di sana, saya hampir setiap hari disiksa majikan saya. Mereka menyiksa saya, karena saya tidak bisa berkomunikasi. Maklum, saya baru pertama kali berkerja jadi TKI," ujar Mamah menangis, Sabtu (12/4/2014).
Akibat penyiksaan itu, Mamah mengalami luka di sekujur tubuh. Sejak tiba di Tanah Air, pada 7 April 2014, hingga kini dirinya masih belum bisa melakukan aktivitas sehari-hari. Dia masih sangat syok dengan peristiwa yang dialaminya.
"Saya berangkat awal Januari 2014, melalui Perusahaan Penyalur Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) di Jakarta. Kemudian dikirim ke Negara Oman untuk menjadi Pembantu Rumah Tangga (PRT)," sambungnya.
Saat ditanya yang memberangkatkannya, Mamah mengaku tidak tahu. Dia hanya ingat, perusahaan penyalur tenagakerja itu tidak pernah memberikan pembinaan atau latihan kerja kepadanya.
"Kami dibawa dari Jakarta, kami dibawa ke Surabaya. Kemudian dari Bandara Juanda-Surabaya, kami berangkat ke Negara Oman," tuturnya.
Sesampainya di Timur Tengah, para TKI disalurkan menjadi PRT ke sejumlah keluarga. Namun malang, keluarga yang menerima Mamah memiliki watak kasar. Setiap hari, dia menjadi sasaran kemarahan majikannya.
"Setiap kali disuruh saya selalu dipukul. Tak hanya majikan saya, anak majikan saya juga ikut menyiksa saya. Di sana saya sakit kemudian minta pulang. Majikan saya kemudian mengantarkan saya ke perusahaan menyalurkan saya," terangnya.
Oleh perusahaan tersebut, Mamah malah dikembalikan ke majikannya yang dulu. Sontak saja dia menolak dan mengancam akan kabur. "Mungkin karena kondisi saya sudah lemah, akhirnya saya dipulangkan ke Indonesia," ungkapnya.
Setibanya di Indonesia, Mamah mengaku tidak mau kembali lagi bekerja menjadi TKI. Dia mengaku kapok dan tampak sangat syok. Dia juga sempat mendapat perawatan intensif selama beberapa hari.
"Sampai saat ini saya tak pernah melapor ke pihak-pihak terkait. Terlebih seponsor yang memberangkatkan saya datang dan memberi saya uang agar jangan memperpanjang persoalan ini. Saya juga tidak tahu harus melapor kemana," pungkasnya.
"Selama berada di sana, saya hampir setiap hari disiksa majikan saya. Mereka menyiksa saya, karena saya tidak bisa berkomunikasi. Maklum, saya baru pertama kali berkerja jadi TKI," ujar Mamah menangis, Sabtu (12/4/2014).
Akibat penyiksaan itu, Mamah mengalami luka di sekujur tubuh. Sejak tiba di Tanah Air, pada 7 April 2014, hingga kini dirinya masih belum bisa melakukan aktivitas sehari-hari. Dia masih sangat syok dengan peristiwa yang dialaminya.
"Saya berangkat awal Januari 2014, melalui Perusahaan Penyalur Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) di Jakarta. Kemudian dikirim ke Negara Oman untuk menjadi Pembantu Rumah Tangga (PRT)," sambungnya.
Saat ditanya yang memberangkatkannya, Mamah mengaku tidak tahu. Dia hanya ingat, perusahaan penyalur tenagakerja itu tidak pernah memberikan pembinaan atau latihan kerja kepadanya.
"Kami dibawa dari Jakarta, kami dibawa ke Surabaya. Kemudian dari Bandara Juanda-Surabaya, kami berangkat ke Negara Oman," tuturnya.
Sesampainya di Timur Tengah, para TKI disalurkan menjadi PRT ke sejumlah keluarga. Namun malang, keluarga yang menerima Mamah memiliki watak kasar. Setiap hari, dia menjadi sasaran kemarahan majikannya.
"Setiap kali disuruh saya selalu dipukul. Tak hanya majikan saya, anak majikan saya juga ikut menyiksa saya. Di sana saya sakit kemudian minta pulang. Majikan saya kemudian mengantarkan saya ke perusahaan menyalurkan saya," terangnya.
Oleh perusahaan tersebut, Mamah malah dikembalikan ke majikannya yang dulu. Sontak saja dia menolak dan mengancam akan kabur. "Mungkin karena kondisi saya sudah lemah, akhirnya saya dipulangkan ke Indonesia," ungkapnya.
Setibanya di Indonesia, Mamah mengaku tidak mau kembali lagi bekerja menjadi TKI. Dia mengaku kapok dan tampak sangat syok. Dia juga sempat mendapat perawatan intensif selama beberapa hari.
"Sampai saat ini saya tak pernah melapor ke pihak-pihak terkait. Terlebih seponsor yang memberangkatkan saya datang dan memberi saya uang agar jangan memperpanjang persoalan ini. Saya juga tidak tahu harus melapor kemana," pungkasnya.
(san)