Bedah buku Tan Malaka dibubarkan massa

Jum'at, 07 Februari 2014 - 20:40 WIB
Bedah buku Tan Malaka dibubarkan massa
Bedah buku Tan Malaka dibubarkan massa
A A A
Sindonews.com - Bedah buku "Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia" jilid 4, di Perpustakaan & Kolabtiv C20, Jalan Dr. Cipto 20, Surabaya, tepatnya di jalan kecil seberang bekas Konjen Amerika, dibubarkan massa ormas tertentu di Surabaya.

"Rencananya diskusi akan diadakan sekira pukul 18.30-21.00 WIB. Aku ke sana sekira pukul 18.00 WIB. Tetapi ada tulisan dalam selembar kertas dari panitia yang mengatakan diskusi dibatalkan," ujar Sulaeman, salah seorang peserta diskusi, saat dihubungi Sindonews, Jumat (7/1/2014).

Binggung dengan apa yang terjadi, kemudian dia menghubungi panitia pelaksanayang bernama Yulia. Saat dihubungi, Yulia mengakui jika diskusi sengaja dibatalkan demi keselamatan pembicara, sekaligus penulis buku "Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia" Harry A. Poeze, Ph.D.

"Memang katanya dibatalkan, karena tidak kondusif. Sebabnya mereka ditekan oleh pihak tertentu. Padahal, mereka sudah mendapatkan izin dari kepolisian," ungkapnya.

Di lokasi bedah buku, lampu sudah dimatikan. Sedang diluar perpustakaan, pagar sudah tertutup. Tidak lama berselang, sekira pukul 18.03 WIB, datang segerombolan massa ormas tertentu dengan menumpangi tiga unit mobil.

"Tiba-tiba datang tiga mobil, truk, carry, dan sedan, berasal dari rombongan ormas tertentu. Mereka ingin memastikan diskusi itu berlangsung atau tidak. Tetapi saat mendapati pagar terkunci, mereka menunggu di depan pagar dan menggelar tikar," terangnya.

Hingga kini, sekelompok massa masih berada di lokasi. Kegiatan diskusi dan bedah buku Tan Malaka mengancam dunia Islam, karena musuh umat Islam itu menurut mereka adalah komunis. Sedangkan Tan Malaka merupakan tokoh komunis dan pernah menjabat sebagai Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dalam buku ini, diceritakan Tan Malaka (1894-1949) pada tahun 1942 kembali ke Indonesia menggunakan nama samaran sesudah 20 tahun mengembara. Pada masa Hindia Belanda, dia bekerja untuk Komintern (organisasi komunis revolusioner internasional) dan sesudah 1927 memimpin Partai Repoeblik Indonesia (Pari) yang ilegal dan antikolonial.

Dia tidak diberi peranan dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sementara itu, Tan Malaka berkenalan dengan pemimpin-pemimpin Republik Indonesia: Soekarno, Hatta, dan Sjahrir.

Tetapi segera pula mereka tidak sejalan. Tan Malaka menghendaki sikap tak mau berdamai dengan Belanda yang ingin memulihkan kembali kekuasaan kolonialnya. Dia memilih jalan perjuangan dan bukan jalan diplomasi, lalu mendirikan Persatoean Perdjoeangan (PP) yang kemudian menjadi alternatif terhadap pemerintah moderat.

Dalam konfrontasi di parlemen, dia kalah dan beberapa minggu kemudian Tan Malaka dan sejumlah pengikutnya ditangkap dan ditahan tanpa proses sama sekali, dari Maret 1946 sampai September 1948.

Jilid empat ini meliputi periode dramatis setelah pembebasan Tan Malaka sampai dia menghilang pada Februari 1948. Dia mulai dengan menghimpun pendukungnya yang telah bercerai-berai dan pada November 1948 mendirikan partai baru yang bernama Partai Murba.

Akan tetapi, pembentukan partai terganggu oleh serangan Belanda kedua pada Desember 1948. Saat itu Tan Malaka bermarkas di Kediri, di bawah perlindungan batalyon TNI yang dipimpin Sabarudin.

Sabarudin memiliki reputasi buruk sebagai seorang panglima perang yang bengis dan kejam. Di Kediri, Tan Malaka mempersiapkan tentara dan rakyat melakukan perang gerilya terhadap Belanda dengan tujuan Indonesia sebagai negara sosialis.

Sesudah ikut bergerilya ke Gunung Wilis, dalam pamflet yang ditulisnya tiap hari, dia menyerang Soekarno dan Hatta yang telah ditahan Belanda dan menuduh TNI di daerah yang bersikap putus asa. Bahkan, dia memproklamirkan dirinya sebagai Presiden Indonesia. Serentak TNI beraksi.

Markas besar Tan Malaka dan Sabarudin ditumpas. Setelah suatu rangkaian peristiwa yang luar biasa, Tan Malaka dieksekusi oleh satuan lokal TNI di desa Selopanggung, pada 21 Februari 1949. Kematiannya dirahasiakan.

Sesudah 58 tahun barulah terungkap lokasi, tanggal, dan pelakunya, yaitu dalam edisi asli buku ini yang berbahasa Belanda (2007). Kematian Tan Malaka tidak mengakhiri gagasan radikalnya. Sampai akhir 1949 para pendukungnya terlibat dalam aksi-aksi gerilya melawan Belanda, TNI, dan pimpinan Republik.

Namun dukungan rakyat ternyata tidak memadai sehingga kekalahannya tidak dapat dihindari. Buku ini secara mendetail menggambarkan hal ikhwal perlawanan radikal ini. Bab terakhir mendokumentasikan pencarian lokasi kuburan Tan Malaka, penggalian jenazahnya pada tahun 2009, serta hasil autopsi.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7033 seconds (0.1#10.140)