Jadi magnet wisatawan & investor, Bantaeng kini disanjung

Kamis, 06 Februari 2014 - 20:56 WIB
Jadi magnet wisatawan...
Jadi magnet wisatawan & investor, Bantaeng kini disanjung
A A A
RIWAYAT Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan (Sulsel) terkenal cukup panjang. Tercatat, wilayah ini pernah menjadi pusat niaga Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda tahun 14 November 1737 dan dipimpin oleh seorang Residen Gezaghebber, setingkat bupati. Saat itu, Bantaeng dikenal dengan sebutan Bhontain.

Masa Pemerintahan Hindia Belanda di Bantaeng, berakhir tahun 1941. Selama itu, tercatat ada 90 kali pergantian pejabat pemerintahan, dengan residen pertamanya seorang Belanda bernama Camerling. Dia memerintah Bhontain dan daerah Bulukumba.

Lalu pada tahun 1893, keresidenan Bhontain diperluas hingga ke daerah Binamu (Jeneponto). Pemerintah Hindia Belanda kemudian memilih Bantaeng sebagai pusat niaga, lantaran daerah ini memiliki bandar pelabuhan maju yang ada sejak Kerajaan Singosari dan Majapahit.

Bekas peninggalan Hindia Belanda di Bantaeng, dapat dilihat pada gedung yang kini di tempati Kodim 1410, serta Kantor Pemerintahan Negara (KPN) yang dahulunya Kantor Residen Kepala Afdeeling Bonthain. Sedangkan Kantor Polsek Bantaeng saat ini sebelumnya adalah Onder Afdeeling Bonthain.

Pemerintahan Hindia Belanda di Bantaeng runtuh saat Jepang memulai Perang Asia Raya dan mengusir Belanda dari Bantaeng. Pejabat Jepang yang memerintah Bantaeng saat itu adalah Yamashita. Namun, pusat pemerintahan saat pendudukan Jepang saat itu Makassar, dan Bantaeng masuk sebagian wilayahnya.

Sejak sebelum Proklamasi Kemerdekaan hingga terbentuknya Negara Indonesia Timur (NIT) dan Republik Indonesia Serikat (RIS), segenap rakyat Bantaeng dan daerah-daerah lain di Sulsel terus melakukan perlawanan terhadap sisa penjajah.

Pribumi pertama yang memimpin Bantaeng adalah Abdurrachman Daeng Mamangung, yakni periode 1949-1950. Dia lalu digantikan Mohammad Ali tahun 1950. Dilanjutkan Andi Sultan Daeng Radja periode 1950-1951, yang kemudian menjabat Kepala Afdeeling dengan tetap membawahi Onder Afdeeling Bonthain, Bulukumba, dan Selayar di Sulsel.

Pada 1951, Andi Sultan sempat digantikan Abdul Latief Daeng Massiki. Saat itu, dia digantikan karena pergi ke Jakarta mewakili Sulawesi, ketika menyatakan tekad mendukung Pemerintah Republik Indonesia dan menunjuk Dr Sam Ratulangi sebagai Gubernur Sulawesi.

Berdasarkan Undang-undang No.29 tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II di Sulsel, maka status Bonthain sebagai daerah afdeeling berakhir dan menjadi Kabupaten Daerah Tingkat I Bonthain. Pada tahun itu juga, nama Bonthain yang berbau Belanda diubah menjadi Bantaeng.

Sejak perubahan nama itu, berdasarkan data yang ada, sudah tujuh kali pejabat Bantaeng berganti. Dimulai dengan A. Rivai Bulu yang dilantik pada tanggal 1 Februari 1960 oleh Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan hingga tahun 1965. Kemudian Aru Saleh tahun 1965 sampai tahun 1966 dengan jabatan Kepala Daerah sementara.

Kepala daerah yang dipilih secara demokratis pertama adalah Haji Solthan, pada tahun 1966 sampai tahun 1971. Dia terpilih menjabat dua periode dari tahun 1971 sampai tahun 1978 oleh DPRD.

Pejabat selanjutnya adalah Drs. Haji Darwis Wahab yang menjabat sejak tahun 1978 sampai tahun 1982. Sama dengan Haji Solthan, dia juga menjabat dua periode hingga tahun 1982 sampai tahun 1988.

Selanjutnya adalah Drs. H. Malingkai Maknun. Dia menjabat Bupati Kepala Daerah selama satu periode, mulai tahun 1988 sampai tahun 1993. Dilanjutkan oleh Drs. HM. Said Saggaf, pada tahun 1993 sampai tahun 1998.

Memasuki era reformasi, pejabat yang pertama memerintah adalah Drs. H. Asikin Solthan, sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2003. Dia menjabat dua periode, pada tahun 2003 sampai tahun 2008. Hingga keluarnya status daerah otonomi sesuai dengan Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Selanjutnya, pada tanggal 25 Juni 2008, diberlakukan Undang-undang No.32 tahun 2004, di mana pemilihan kepala daerah dilakukan oleh rakyat tanpa terwakili DPRD. Dalam pemilihan yang demokratis kedua kalinya itu, DR. Ir. HM. Nurdin Abdulla terpilih menjadi Bupati Bantaeng, periode 2008 sampai tahun 2013.

Sejarah panjang wilayah Bantaeng yang diikuti dengan silih bergantinya kepala daerah, tidak dibarengi dengan perbaikan kesejahteraan masyarakatnya. Hal ini menimbulkan keprihatinan masyarakat luas.

Sebagai wilayah yang kaya peninggalan sejarah dan subur tanahnya, rakyat Bantaeng tetap hidup dalam kemelaratan dan terbelakang dari peradaban modern. Nama Bantaeng bahkan dahulu terkesan berkonotasi miring, sehingga tidak sedikit warga di Sulsel yang enggan bekunjung ke sana.

Akibat dari keterbelakangan dan kemelaratan itu, banyak rakyat Bantaeng yang terlibat berbagai kasus kriminal. Warga di luar Bantaeng mengecap wilayah ini sebagai sarang "penyamun", tempat berkumpulnya para kriminal. Hal itu diperburuk dengan ditetapkannya daerah itu sebagai kabupaten tertinggal ke-199 oleh pemerintah.

Bersambung ke bagian dua..
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1935 seconds (0.1#10.140)