Peneliti UGM imbau peta risiko bencana Manado dibuat
A
A
A
Sindonews.com - Tim peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai potensi longsor dan banjir bandang di sepanjang jalur Manado-Tomohon masih cukup besar.
Berdasarkan hasil pengamatan itu, tim dari UGM merekomendasi agar segera dibuat peta risiko bencana di Manado.
"Identifikasi zona yang rentan longsor dan banjir perlu segera dilakukan sebagai upaya pencegahan terjadinya kerugian yang lebih besar jika bencana yang sama terjadi kembali," ujar Tim Peneliti dari Teknik Geologi UGM Prof Dr Dwikorita Karnawati MSc, saat pemaparan hasil fact finding dan analisis penyebab bencana longsor dan banjir bandang wilayah Manado dan sekitarnya, di Kampus Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Senin (20/1/2014).
Pemberdayaan masyarakat untuk mencegah dan mengurangi risiko bencana juga perlu dilakukan. Idealnya memang dilakukan relokasi. Tapi kalau belum memungkinkan maka sistem pemantauan dan peringatan dini bencana longsor dan banjir perlu dikembangkan.
Dwikorita menuturkan, potensi terjadinya bencana susulan cukup berbahaya karena akan mengancam lokasi daerah Manado bagian tengah sampai barat.
Meski belum mampu disejajarkan dengan bencana banjir bandang Wasior atau Bahorok, ancaman banjir bandang Manado masih tinggi.
"Tingginya potensi bencana selanjutnya disebabkan masih akan tingginya curah hujan di daerah Manado dan sekitarnya. Hasil fact finding kami menunjukkan kejadian longsor dan banjir bandang di Manado secara umum diakibatkan adanya curah hujan yang sangat tinggi. Data BMKG pada 15 Januari 2014 menunjukkan curah hujan di DAS Tondano mencapai 215 mm (Minahasa), sedangkan di DAS Tumpaan mencapai 41 mm/hari," paparnya.
Dwikorita menjelaskan, longsor dan banjir bandang merupakan fenomena alam yang dikontrol oleh kondisi geologi seperti tektonik yang mengakibatkan kemiringan lereng yang curam dengan susunan batuan yang rapuh di jalur struktur serta dipicu hujan yang ekstrem dan getaran gempa bumi.
Dari bencana Manado didapatkan dua areal DAS yang berbeda, yaitu DAS Tondano di Kabupaten Minahasa serta DAS Tumpaan di Kabupaten Tomohon.
"Kedua DAS tersebut memiliki karakteristik yang rentan terhadap gerakan tanah (longsor) dan banjir bandang, terutama akibat kontrol kondisi alam, yaitu kemiringan lereng dan kondisi geologi yang dipicu oleh curah hujan tinggi. Selain kemiringan lereng yang curam, litologi yang lapuk dan struktur geologi yang kompleks kejadian longsor di sana juga dipicu adanya proses tektonik aktif gempa,” paparnya.
Sementara itu, Ketua LPPM UGM Prof Dr Suratman MSc mengatakan, saat ini masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan terhadap munculnya berbagai bencana alam akibat adanya perubahan iklim global.
Tidak hanya bencana tanah longsor dan banjir yang mengancam, fenomena naiknya permukaan air laut di pantai utara Pulau Jawa juga perlu diwaspadai.
“Harus ada riset bersama-sama. Jangan hanya per kasus kita selesaikan bersamaan tapi harus secara nasional," tuturnya.
Berdasarkan hasil pengamatan itu, tim dari UGM merekomendasi agar segera dibuat peta risiko bencana di Manado.
"Identifikasi zona yang rentan longsor dan banjir perlu segera dilakukan sebagai upaya pencegahan terjadinya kerugian yang lebih besar jika bencana yang sama terjadi kembali," ujar Tim Peneliti dari Teknik Geologi UGM Prof Dr Dwikorita Karnawati MSc, saat pemaparan hasil fact finding dan analisis penyebab bencana longsor dan banjir bandang wilayah Manado dan sekitarnya, di Kampus Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Senin (20/1/2014).
Pemberdayaan masyarakat untuk mencegah dan mengurangi risiko bencana juga perlu dilakukan. Idealnya memang dilakukan relokasi. Tapi kalau belum memungkinkan maka sistem pemantauan dan peringatan dini bencana longsor dan banjir perlu dikembangkan.
Dwikorita menuturkan, potensi terjadinya bencana susulan cukup berbahaya karena akan mengancam lokasi daerah Manado bagian tengah sampai barat.
Meski belum mampu disejajarkan dengan bencana banjir bandang Wasior atau Bahorok, ancaman banjir bandang Manado masih tinggi.
"Tingginya potensi bencana selanjutnya disebabkan masih akan tingginya curah hujan di daerah Manado dan sekitarnya. Hasil fact finding kami menunjukkan kejadian longsor dan banjir bandang di Manado secara umum diakibatkan adanya curah hujan yang sangat tinggi. Data BMKG pada 15 Januari 2014 menunjukkan curah hujan di DAS Tondano mencapai 215 mm (Minahasa), sedangkan di DAS Tumpaan mencapai 41 mm/hari," paparnya.
Dwikorita menjelaskan, longsor dan banjir bandang merupakan fenomena alam yang dikontrol oleh kondisi geologi seperti tektonik yang mengakibatkan kemiringan lereng yang curam dengan susunan batuan yang rapuh di jalur struktur serta dipicu hujan yang ekstrem dan getaran gempa bumi.
Dari bencana Manado didapatkan dua areal DAS yang berbeda, yaitu DAS Tondano di Kabupaten Minahasa serta DAS Tumpaan di Kabupaten Tomohon.
"Kedua DAS tersebut memiliki karakteristik yang rentan terhadap gerakan tanah (longsor) dan banjir bandang, terutama akibat kontrol kondisi alam, yaitu kemiringan lereng dan kondisi geologi yang dipicu oleh curah hujan tinggi. Selain kemiringan lereng yang curam, litologi yang lapuk dan struktur geologi yang kompleks kejadian longsor di sana juga dipicu adanya proses tektonik aktif gempa,” paparnya.
Sementara itu, Ketua LPPM UGM Prof Dr Suratman MSc mengatakan, saat ini masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan terhadap munculnya berbagai bencana alam akibat adanya perubahan iklim global.
Tidak hanya bencana tanah longsor dan banjir yang mengancam, fenomena naiknya permukaan air laut di pantai utara Pulau Jawa juga perlu diwaspadai.
“Harus ada riset bersama-sama. Jangan hanya per kasus kita selesaikan bersamaan tapi harus secara nasional," tuturnya.
(lns)