Air Siraman Panjang Jimat diyakini membawa berkah
A
A
A
MENDEKATI puncak peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, puluhan perangkat makan yang akan digunakan dalam Pelal Panjang Jimat di Keraton Kasepuhan, mulai dibersihkan. Melalui ritual pencucian yang disebut Siraman Panjang Jimat, warga masih mempercayai air bekas cucian mengandung berkah.
Dari serangkaian tradisi dalam seremoni tersebut, air bekas cucian piring (panjang) tetap menjadi magnet yang mengumpulkan masyarakat dari berbagai daerah untuk berbondong-bondong mendatangi Keraton Kasepuhan Cirebon. Seraya membawa peralatan tadah seadanya, mereka sabar menanti selesainya prosesi pencucian.
Ada sekitar 40 buah piring yang dicuci. Selain itu, ada pula guci, maupun botol kaca, yang kesemuanya merupakan benda pusaka peninggalan Sunan Gunung Jati.
Proses dimulai dengan iring-iringan kaum dan abdi dalem yang membawa benda-benda pusaka dari tempatnya disimpan di gudang pusaka, di bagian belakang Bangsal Keraton Kasepuhan. Selama dalam penyimpanan, semua benda pusaka tersebut terbungkus kain putih.
Di Bangsal Pungkuran Keputren, semua benda pusaka diletakkan di atas meja. Terdapat sebuah bak kayu berisi air di tengah ruangan. Keluarga dan kerabat keraton sendiri duduk mengelilinginya.
Satu per satu benda pusaka itu dicuci dan didoakan bersama. Begitu seluruh rangkaian prosesi yang sakral itu selesai, pintu belakang keputren dibuka. Saat itulah, puluhan warga yang sebelumnya menunggu di depan pintu, langsung menyerbu bak air bekas cucian.
Menggunakan peralatan tadah seperti kantong plastik, botol bekas, hingga ember, mereka berebut mengambil air bekas cucian yang dianggap mengandung berkah. Tak sedikit di antaranya yang langsung membasuhkan air ke wajah, hingga menyiramkannya ke tubuh mereka.
“Airnya mengandung berkah, mau saya bawa pulang untuk anak-anak di rumah. Semoga keluarga saya dilindungi oleh Allah SWT,” kata Nurohman (45), salah satu warga yang turut berebut mengambil air bekas cucian menggunakan botol bekas air mineral, Rabu (8/1/2014).
Dia sendiri mengaku mendengar keberkahan air tersebut dari mulut ke mulut. Meski begitu, dia mempercayai adanya kekuatan tertentu dari Tuhan melalui air tersebut.
Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat menjelaskan, air dalam prosesi siraman panjang memang mengandung makna penting, terutama dalam ajaran Islam. Hampir semua makhluk hidup, kata dia, berunsur air.
“Dalam Islam, media air itu penting di mana 80 persen tubuh makhluk hidup berupa cairan. Selain itu, Nabi Muhammad SAW selalu mendoakan orang sakit dengan media air, itu sebabnya di Mekah ada air zamzam,” terang dia.
Sebuah penelitian, tambah dia, juga menyatakan air yang dicampurkan dalam kata-kata yang baik, strukturnya akan berubah menjadi baik pula. Pada setiap piring yang dicuci dalam prosesi itu pun, terdapat kaligrafi yang tercetak di permukaannya.
Kaligrafi tersebut berisi kalimat-kalimat baik, seperti halnya syahadat maupun salawat. Sehingga dengan begitu, diyakini kalimat baik tersebut berimbas pula pada air yang digunakan untuk membasuh piring dan benda pusaka lainnya itu.
“Makanya warga meyakini air basuhan benda pusaka itu mengandung berkah. Apalagi kemudian, tadi juga kan kita berdoa bersama dan diharapkan ada keberkahan,” tutur dia.
Selain siraman panjang, hari itu juga dilakukan kegiatan membuka bekasem ikan atau ikan laut yang telah diawetkan sebulan sebelumnya dalam guci. Bekasem merupakan proses pengawetan tradisional yang dilaksanakan kalangan ibu Masjid Agung Sang Cipta Rasa, di mana mereka yang mengolahnya sudah masuk masa menopause.
Dalam hal ini, ikanlah yang diawetkan selama satu bulan dengan memanfaatkan sejumlah bahan lain. Ikan yang diawetkan berupa kakap dan tenggiri yang terlebih dulu dibersihkan. Kemudian ikan tersebut diberi rempah-rempah di antaranya gula, garam, dan nasi putih.
Olahan itu selanjutnya dimasukkan dalam guci dan ditutup rapat dengan abu gosok. Selanjutnya disimpan dalam dua buah guci tua yang diklaim peninggalan salah satu istri Sunan Gunung Jati asal Cina, Ong Tien Nio.
Dari serangkaian tradisi dalam seremoni tersebut, air bekas cucian piring (panjang) tetap menjadi magnet yang mengumpulkan masyarakat dari berbagai daerah untuk berbondong-bondong mendatangi Keraton Kasepuhan Cirebon. Seraya membawa peralatan tadah seadanya, mereka sabar menanti selesainya prosesi pencucian.
Ada sekitar 40 buah piring yang dicuci. Selain itu, ada pula guci, maupun botol kaca, yang kesemuanya merupakan benda pusaka peninggalan Sunan Gunung Jati.
Proses dimulai dengan iring-iringan kaum dan abdi dalem yang membawa benda-benda pusaka dari tempatnya disimpan di gudang pusaka, di bagian belakang Bangsal Keraton Kasepuhan. Selama dalam penyimpanan, semua benda pusaka tersebut terbungkus kain putih.
Di Bangsal Pungkuran Keputren, semua benda pusaka diletakkan di atas meja. Terdapat sebuah bak kayu berisi air di tengah ruangan. Keluarga dan kerabat keraton sendiri duduk mengelilinginya.
Satu per satu benda pusaka itu dicuci dan didoakan bersama. Begitu seluruh rangkaian prosesi yang sakral itu selesai, pintu belakang keputren dibuka. Saat itulah, puluhan warga yang sebelumnya menunggu di depan pintu, langsung menyerbu bak air bekas cucian.
Menggunakan peralatan tadah seperti kantong plastik, botol bekas, hingga ember, mereka berebut mengambil air bekas cucian yang dianggap mengandung berkah. Tak sedikit di antaranya yang langsung membasuhkan air ke wajah, hingga menyiramkannya ke tubuh mereka.
“Airnya mengandung berkah, mau saya bawa pulang untuk anak-anak di rumah. Semoga keluarga saya dilindungi oleh Allah SWT,” kata Nurohman (45), salah satu warga yang turut berebut mengambil air bekas cucian menggunakan botol bekas air mineral, Rabu (8/1/2014).
Dia sendiri mengaku mendengar keberkahan air tersebut dari mulut ke mulut. Meski begitu, dia mempercayai adanya kekuatan tertentu dari Tuhan melalui air tersebut.
Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat menjelaskan, air dalam prosesi siraman panjang memang mengandung makna penting, terutama dalam ajaran Islam. Hampir semua makhluk hidup, kata dia, berunsur air.
“Dalam Islam, media air itu penting di mana 80 persen tubuh makhluk hidup berupa cairan. Selain itu, Nabi Muhammad SAW selalu mendoakan orang sakit dengan media air, itu sebabnya di Mekah ada air zamzam,” terang dia.
Sebuah penelitian, tambah dia, juga menyatakan air yang dicampurkan dalam kata-kata yang baik, strukturnya akan berubah menjadi baik pula. Pada setiap piring yang dicuci dalam prosesi itu pun, terdapat kaligrafi yang tercetak di permukaannya.
Kaligrafi tersebut berisi kalimat-kalimat baik, seperti halnya syahadat maupun salawat. Sehingga dengan begitu, diyakini kalimat baik tersebut berimbas pula pada air yang digunakan untuk membasuh piring dan benda pusaka lainnya itu.
“Makanya warga meyakini air basuhan benda pusaka itu mengandung berkah. Apalagi kemudian, tadi juga kan kita berdoa bersama dan diharapkan ada keberkahan,” tutur dia.
Selain siraman panjang, hari itu juga dilakukan kegiatan membuka bekasem ikan atau ikan laut yang telah diawetkan sebulan sebelumnya dalam guci. Bekasem merupakan proses pengawetan tradisional yang dilaksanakan kalangan ibu Masjid Agung Sang Cipta Rasa, di mana mereka yang mengolahnya sudah masuk masa menopause.
Dalam hal ini, ikanlah yang diawetkan selama satu bulan dengan memanfaatkan sejumlah bahan lain. Ikan yang diawetkan berupa kakap dan tenggiri yang terlebih dulu dibersihkan. Kemudian ikan tersebut diberi rempah-rempah di antaranya gula, garam, dan nasi putih.
Olahan itu selanjutnya dimasukkan dalam guci dan ditutup rapat dengan abu gosok. Selanjutnya disimpan dalam dua buah guci tua yang diklaim peninggalan salah satu istri Sunan Gunung Jati asal Cina, Ong Tien Nio.
(san)