MUI Jatim masih kaji doa berbayar
A
A
A
Sindonews.com - Majelis Ulama Indonesia (MUI) belum mengeluarkan fatwa terkait fenomena doa berbayar. Saat ini MUI masih melakukan kajian.
"MUI belum ada Fatwa terkait doa berbayar itu. Sepertinya kok lebay itu mirip konsultan doa," kata Sekretaris MUI Jawa Timur M Yunus, Selasa (7/1/2014).
Menurutnya, doa berbayar ini adalah fenomena yang berkembang di masyarakat. Maka harus dikaji sehingga nanti dikeluarkan produk hukum dari MUI baik berupa fatwa, tausiyah atau rekomendasi. Untuk mengkajinya perlu melibatkan Komisi Fatwa MUI Pusat.
Yunus berpendapat, doa berbayar sangat tidak elok. Karena doa adalah urusan hamba dengan Alloh SWT. Setiap orang punya kekuatan doa yang berbeda-beda. Dan belum tentu orang yang mendoakan itu jauh lebih baik dari yang didoakan.
"Lah ini kok malah dijadikan ladang bisnis. Padahal, doa anak saleh kepada orang tuanya atau doa orang tua kepada anaknya jauh lebih mustajabah," jelasnya.
Ia juga meminta kepada masyarakat untuk tetap berpedoman kepada apa yang diajarkan dalam AlQuran dan hadist. Mengenai esensi doa memang harus dilakukan secara ikhlas bukan mengharap pamrih.
"Untuk Jawa Timur memang saya belum pernah melihat fenomena seperti ini. Kami akan lakukan kajian," pungkas Yunus.
Sebelumnya, fenomena doa berbayar ini mencuat setelah ada komunitas mengajak para anggotanya untuk menitipkan doa dengan minta sedekah Rp100 ribu plus tambahan Rp102.014, bila ada yang mau titip doa di Mekah.
Atas fenomena tersebut, Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti menegaskan, segala bentuk ibadah dilarang untuk dikomersialkan. Ini menanggapi maraknya fenomena doa berbayar yang tengah marak di masyarakat.
"MUI belum ada Fatwa terkait doa berbayar itu. Sepertinya kok lebay itu mirip konsultan doa," kata Sekretaris MUI Jawa Timur M Yunus, Selasa (7/1/2014).
Menurutnya, doa berbayar ini adalah fenomena yang berkembang di masyarakat. Maka harus dikaji sehingga nanti dikeluarkan produk hukum dari MUI baik berupa fatwa, tausiyah atau rekomendasi. Untuk mengkajinya perlu melibatkan Komisi Fatwa MUI Pusat.
Yunus berpendapat, doa berbayar sangat tidak elok. Karena doa adalah urusan hamba dengan Alloh SWT. Setiap orang punya kekuatan doa yang berbeda-beda. Dan belum tentu orang yang mendoakan itu jauh lebih baik dari yang didoakan.
"Lah ini kok malah dijadikan ladang bisnis. Padahal, doa anak saleh kepada orang tuanya atau doa orang tua kepada anaknya jauh lebih mustajabah," jelasnya.
Ia juga meminta kepada masyarakat untuk tetap berpedoman kepada apa yang diajarkan dalam AlQuran dan hadist. Mengenai esensi doa memang harus dilakukan secara ikhlas bukan mengharap pamrih.
"Untuk Jawa Timur memang saya belum pernah melihat fenomena seperti ini. Kami akan lakukan kajian," pungkas Yunus.
Sebelumnya, fenomena doa berbayar ini mencuat setelah ada komunitas mengajak para anggotanya untuk menitipkan doa dengan minta sedekah Rp100 ribu plus tambahan Rp102.014, bila ada yang mau titip doa di Mekah.
Atas fenomena tersebut, Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti menegaskan, segala bentuk ibadah dilarang untuk dikomersialkan. Ini menanggapi maraknya fenomena doa berbayar yang tengah marak di masyarakat.
(lns)