Pertahankan bendera mirip simbol separatis, sikap disintegrasi
A
A
A
Sindonews.com - Tidak ada yang berbahaya dari warna dalam bendera yang dipertahankan rakyat Aceh. Namun, sikap rakyat Aceh tetap mengibarkan dan mengarak bendera mirip lambang separatis itu menunjukan sikap disintegrasi bangsa.
"Jika ditanya, apakah bahaya atau tidak dengan warna bendera itu? Tidak ada, tapi dilihat dari integrasi bangsa itu sudah disintegrasi, sudah tidak murni bagian dari sistem NKRI," tandas Wakil Ketua Komisi I DPR RI Tubagus Hasanuddin (TBH), Selasa (17/12/2013).
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini juga mempertanyakan adanya Wali Negara yang memiliki kedudukan di atas Gubernur. Menurutnya, dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di atas Gubernur tetap saja Presiden.
"Di mana ada provinsi memakai wali negara?"ujarnya dengan nada bertanya.
Pemerintah pusat mengakui dan mengizinkan daerah memiliki lambang daerah. Di provinsi seluruh NKRI semua memiliki bendera daerahnya masing-masing. Namun semua sebatas sebagai lambang daerah dan penggunaannya diatur dengan tata tertib.
"Tapi Aceh? Apakah mau diperlakukan sama dengan daerah lainnya? Mereka tidak mau," tukas TBH.
Persoalan Aceh ini, menurutnya harus segera diselesaikan agar tidak berlarut-larut. Perbedaan pendapat antara pemerintah pusat dengan daerah hendaknya harus diselesaikan dengan cara duduk bersama untuk mencari solusi.
Seperti diketahui, kemarin, rakyat Aceh mengukuhkan Wali Nanggroe Aceh ke-9 Malik Mahmud. Dia merupakan mantan petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Malik dipilih melalui sidang paripurna istimewa Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
Saat pengukuhan, rakyat Aceh mengarak dan mengibarkan bendera Aceh yang simbolnya mirip GAM. Akibatnya terjadi gesekan antara aparat kemanana dengan rakyat Aceh.
Kedudukan Wali Nanggroe Aceh (Wali Negara) sendiri di atas Gubernur. Dia bertindak sebagai penasihat Gubernur dan Legislatif. Dalam sejarah Aceh, Wali Nanggroe itu sebagai pengganti Sultan.
Chik Ditiro merupakan Wali Nanggroe Aceh pertama. Dia diangkat sebagai Wali Nanggroe saat berusia 11 tahun, saat itu Aceh membutuhkan pemimpin untuk melawan Belanda. Sehingga saat itu, segala tanggung jawab pemerintahan dijalankan oleh Wali Nanggroe, tanpa menggeser posisi Sultan atau Raja.
"Jika ditanya, apakah bahaya atau tidak dengan warna bendera itu? Tidak ada, tapi dilihat dari integrasi bangsa itu sudah disintegrasi, sudah tidak murni bagian dari sistem NKRI," tandas Wakil Ketua Komisi I DPR RI Tubagus Hasanuddin (TBH), Selasa (17/12/2013).
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini juga mempertanyakan adanya Wali Negara yang memiliki kedudukan di atas Gubernur. Menurutnya, dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di atas Gubernur tetap saja Presiden.
"Di mana ada provinsi memakai wali negara?"ujarnya dengan nada bertanya.
Pemerintah pusat mengakui dan mengizinkan daerah memiliki lambang daerah. Di provinsi seluruh NKRI semua memiliki bendera daerahnya masing-masing. Namun semua sebatas sebagai lambang daerah dan penggunaannya diatur dengan tata tertib.
"Tapi Aceh? Apakah mau diperlakukan sama dengan daerah lainnya? Mereka tidak mau," tukas TBH.
Persoalan Aceh ini, menurutnya harus segera diselesaikan agar tidak berlarut-larut. Perbedaan pendapat antara pemerintah pusat dengan daerah hendaknya harus diselesaikan dengan cara duduk bersama untuk mencari solusi.
Seperti diketahui, kemarin, rakyat Aceh mengukuhkan Wali Nanggroe Aceh ke-9 Malik Mahmud. Dia merupakan mantan petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Malik dipilih melalui sidang paripurna istimewa Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
Saat pengukuhan, rakyat Aceh mengarak dan mengibarkan bendera Aceh yang simbolnya mirip GAM. Akibatnya terjadi gesekan antara aparat kemanana dengan rakyat Aceh.
Kedudukan Wali Nanggroe Aceh (Wali Negara) sendiri di atas Gubernur. Dia bertindak sebagai penasihat Gubernur dan Legislatif. Dalam sejarah Aceh, Wali Nanggroe itu sebagai pengganti Sultan.
Chik Ditiro merupakan Wali Nanggroe Aceh pertama. Dia diangkat sebagai Wali Nanggroe saat berusia 11 tahun, saat itu Aceh membutuhkan pemimpin untuk melawan Belanda. Sehingga saat itu, segala tanggung jawab pemerintahan dijalankan oleh Wali Nanggroe, tanpa menggeser posisi Sultan atau Raja.
(lns)