Jelang Dolly ditutup, prostitusi terselubung menjamur
A
A
A
Sindonews.com - Pentutupan lokalisasi Dolly yang direncanakan awal tahun 2014 rupanya tidak dibarengi dengan penertiban pelacuran terselubung di Surabaya. Buktinya, prostitusi berkedok panti pijat pun menjamur, belum lagi banyak sejumlah pelacuran di hotel berbintang.
Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Lokalisasi (FMKL) Surabaya Safik Mundzakir mengatakan, upaya Pemkot Surabaya yang menutup lokalisasi Dolly dengan tujuan untuk memberantas pelacuran terkesan dipaksakan.
Pasalnya, justru pelacuran paling banyak berada di luar lokalisasi. Menurutnya, banyak pelacuran terjadi di hotel-hotel hingga sejumlah kawasan berkedok sebagai panti pijat. Namun, di dalamnya menyediakan jasa esek-esek.
"Lantas apa bedanya. Sementara pelacuran di lokalisasi lebih terkontrol mulai kesehatan dari penyebaran penyakit menular. Nah, kalau yang terselubung apa demikian," tegas Safik, Kamis (12/12/2013).
Pelacuran terselubung itu, kata Safik jelas-jelas melanggar peraturan daerah (Perda) 07 Tahun 1999 tentang larangan bangunan atau ruko digunakan untuk perbuatan asusila.
Safik juga menyebut sejumlah tempat yang ditengarai melakukan praktik pelacuran terselubung seperti Kawasan Kedung Doro, Embong Malang, Kali Bokor dan Barata Jaya.
"Sudah menjadi rahasia umum. Di tempat itu ada praktik asusila tapi pemerintah terkesan membiarkan. Nah, malah Dolly yang jelas-jelas lokalisasi dipaksakan untuk tutup. Praktik pelacuran terselubung ini juga terjadi di sejumlah hotel," tegas pria yang tinggal di sekitar Lokalisasi Dolly ini.
Pelacuran di lokalisasi, kata Safik, ada pengawasan dari sejumlah elemen, baik dari bidang Kesehatan dan lain-lain.
"Saya juga tidak sepakat adanya pelacuran. Tapi diakui atau tidak keberadaan Dolly ini juga mengangkat prekonomian setempat. Jika ditutup monggo saja tapi yang perlu dipikirkan adalah pasca penutupan itu. Masyarakat sekitar menjadi sejahtera atau malah terpuruk. Persoalannya sangat kompleks sehingga tidak asal tutup," ujarnya.
"Dan ketika Lokalisasi Dolly ditutup apakan pemkot berani menjamin tidak adanya prostisusi di luar lokalisasi," tambahnya.
Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Lokalisasi (FMKL) Surabaya Safik Mundzakir mengatakan, upaya Pemkot Surabaya yang menutup lokalisasi Dolly dengan tujuan untuk memberantas pelacuran terkesan dipaksakan.
Pasalnya, justru pelacuran paling banyak berada di luar lokalisasi. Menurutnya, banyak pelacuran terjadi di hotel-hotel hingga sejumlah kawasan berkedok sebagai panti pijat. Namun, di dalamnya menyediakan jasa esek-esek.
"Lantas apa bedanya. Sementara pelacuran di lokalisasi lebih terkontrol mulai kesehatan dari penyebaran penyakit menular. Nah, kalau yang terselubung apa demikian," tegas Safik, Kamis (12/12/2013).
Pelacuran terselubung itu, kata Safik jelas-jelas melanggar peraturan daerah (Perda) 07 Tahun 1999 tentang larangan bangunan atau ruko digunakan untuk perbuatan asusila.
Safik juga menyebut sejumlah tempat yang ditengarai melakukan praktik pelacuran terselubung seperti Kawasan Kedung Doro, Embong Malang, Kali Bokor dan Barata Jaya.
"Sudah menjadi rahasia umum. Di tempat itu ada praktik asusila tapi pemerintah terkesan membiarkan. Nah, malah Dolly yang jelas-jelas lokalisasi dipaksakan untuk tutup. Praktik pelacuran terselubung ini juga terjadi di sejumlah hotel," tegas pria yang tinggal di sekitar Lokalisasi Dolly ini.
Pelacuran di lokalisasi, kata Safik, ada pengawasan dari sejumlah elemen, baik dari bidang Kesehatan dan lain-lain.
"Saya juga tidak sepakat adanya pelacuran. Tapi diakui atau tidak keberadaan Dolly ini juga mengangkat prekonomian setempat. Jika ditutup monggo saja tapi yang perlu dipikirkan adalah pasca penutupan itu. Masyarakat sekitar menjadi sejahtera atau malah terpuruk. Persoalannya sangat kompleks sehingga tidak asal tutup," ujarnya.
"Dan ketika Lokalisasi Dolly ditutup apakan pemkot berani menjamin tidak adanya prostisusi di luar lokalisasi," tambahnya.
(lns)