Mengenang peristiwa 68 tahun lalu di Gedung Sate
A
A
A
ENAM puluh delapan tahun lalu, tepatnya pada 3 Desember 1945, terjadi tragedi memilukan di Gedung Sate. Tujuh nyawa melayang saat berusaha mempertahankan Gedung Sate, dari serbuan tentara Gurkha yang di belakangnya ada tentara Inggris dan Belanda.
Hal itu diungkapkan Yanto (45), petugas Keamanan Dalam (Kamdal) sekaligus tour guide Gedung Sate. Saat itu, Indonesia masih dalam suasana euforia setelah mendeklarasikan kemerdekaannya.
Tapi Belanda tampaknya masih belum menerima kenyataan harus diusir dari Indonesia. Mereka lalu menghimpun kekuatan bersama Inggris untuk merebut sejumlah asetnya, salah satunya Gedung Sate.
"Pertempuran terjadi selama dua jam," kata Yanto, kepada wartawan, Selasa (3/12/2013).
Dalam dua jam itu, sejumlah nyawa tumbang. Di kubu Gedung Sate, sebanyak tujuh pekerja meregang nyawa, karena berusaha mempertahankan Gedung Sate dari serangan lawan. Gedung Sate pun bisa dipertahankan.
"Tujuh orang itu meninggal. Lima jasadnya ditemukan dan dimakamkan di beberapa tempat berbeda. Dua jasad lainnya tidak ditemukan sampai sekarang," jelasnya.
Lima orang itu masing-masing Muchtaruddin, Suhodo, Susilo, dan seorang lagi tidak diketahui namanya. Sedangkan dua orang yang jasadnya tidak ditemukan diyakini adalah Rana dan Rengat.
Karena jasadnya tidak pernah ditemukan sampai sekarang, pihak keluarga bingung jika harus berziarah. Tapi keluarga dua jenazah itu biasanya melakukan ritual tersendiri dengan mengunjungi prasasti di Gedung Sate dan menabur bunga.
Prasasti berbentuk batu itu, awalnya terletak di halaman belakang Gedung Sate. Prasasti itu dibuat pada 31 Agustus 1952 sebagai bentuk penghormatan atas jasa ketujuh orang itu.
Tapi pada 3 Desember 1970, prasasti itu dipindahkan ke halaman depan Gedung Sate atas perintah Menteri Pekerjaan Umum saat itu. Posisinya persis berada sejajar dengan pintu masuk, sedangkan di sekelilingnya dipercantik dengan taman dan air mancur.
Pengunjung yang ingin melihat prasasti itu bisa mengunjungi dengan mudah. Selain menghormati jasa ketujuh orang itu, wawasan pengunjung atas sejarah Gedung Sate juga bisa bertambah.
Hal itu diungkapkan Yanto (45), petugas Keamanan Dalam (Kamdal) sekaligus tour guide Gedung Sate. Saat itu, Indonesia masih dalam suasana euforia setelah mendeklarasikan kemerdekaannya.
Tapi Belanda tampaknya masih belum menerima kenyataan harus diusir dari Indonesia. Mereka lalu menghimpun kekuatan bersama Inggris untuk merebut sejumlah asetnya, salah satunya Gedung Sate.
"Pertempuran terjadi selama dua jam," kata Yanto, kepada wartawan, Selasa (3/12/2013).
Dalam dua jam itu, sejumlah nyawa tumbang. Di kubu Gedung Sate, sebanyak tujuh pekerja meregang nyawa, karena berusaha mempertahankan Gedung Sate dari serangan lawan. Gedung Sate pun bisa dipertahankan.
"Tujuh orang itu meninggal. Lima jasadnya ditemukan dan dimakamkan di beberapa tempat berbeda. Dua jasad lainnya tidak ditemukan sampai sekarang," jelasnya.
Lima orang itu masing-masing Muchtaruddin, Suhodo, Susilo, dan seorang lagi tidak diketahui namanya. Sedangkan dua orang yang jasadnya tidak ditemukan diyakini adalah Rana dan Rengat.
Karena jasadnya tidak pernah ditemukan sampai sekarang, pihak keluarga bingung jika harus berziarah. Tapi keluarga dua jenazah itu biasanya melakukan ritual tersendiri dengan mengunjungi prasasti di Gedung Sate dan menabur bunga.
Prasasti berbentuk batu itu, awalnya terletak di halaman belakang Gedung Sate. Prasasti itu dibuat pada 31 Agustus 1952 sebagai bentuk penghormatan atas jasa ketujuh orang itu.
Tapi pada 3 Desember 1970, prasasti itu dipindahkan ke halaman depan Gedung Sate atas perintah Menteri Pekerjaan Umum saat itu. Posisinya persis berada sejajar dengan pintu masuk, sedangkan di sekelilingnya dipercantik dengan taman dan air mancur.
Pengunjung yang ingin melihat prasasti itu bisa mengunjungi dengan mudah. Selain menghormati jasa ketujuh orang itu, wawasan pengunjung atas sejarah Gedung Sate juga bisa bertambah.
(san)