KPA: Polisi sering bermain di ranah konflik agraria
A
A
A
Sindonews.com - Bentrokan antara warga Serikat Tani Polongbangkeng (STP) dengan karyawan PT Perkebunan Nusantara XIV Pabrik Gula Kabupaten Takalar pecah, Senin (2/12) sekira pukul 09.00 Wita.
Akibat kejadian itu, seorang warga, Yunus Daeng Ngempo (35), terpaksa dilarikan ke rumah sakit lantaran mengalami luka di bagian kaki sebelah kiri terkena peluru aparat kepolisian.
Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun, bentrokan tersebut pecah saat karyawan PTPN XIV hendak melakukan penanaman tebu di lahan seluas kurang lebih 2.000 meter persegi yang berada di areal Pabrik Gula Takalar di Dusun Bulubumbung, Desa Timbuseng, Kecamatan Polongbangkeng Utara. Padahal, lahan itu dinyatakan masih berstatus sengketa dengan warga.
Aparat kepolisian, saat itu mendampingi PTPN XIV untuk melakukan penanaman tebu. Bahkan saat terjadi insiden, polisi seolah membekingi PTPN XIV dan berusaha menyerang warga.
Atas peristiwa itu, tudingan keras pun dialamatkan kepada institusi pengayom masyarakat itu. Disinyalir, ada iming-iming uang kepada aparat kepolisian untuk mendukung PTPN XIV.
Tudingan keras itu disuarakan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Menurut Sekjend KPA, Iwan Nurdin, aparat kepolisian telah bertindak brutal dan terkesan tendensius terhadap warga.
"Bingung saya dengan sikap polisi, pemahaman mereka tentang pertanahan sempit. Jelas-jelas ini tanah sengketa, mengapa dia mengambil sikap untuk mendukung PTPN XIV," gusar Iwan saat dihubungi SINDOnews, Selasa (3/12/2013).
Menurut Iwan, polisi seringkali berada di posisi yang salah. Dalam penanganan konflik, polisi sering kali diangap tidak netral, apalagi melindungi rakyat kecil seperti petani.
"Jika PTPN bilang sudang mengantongi kuasa, tidak betul. Itu masih inkrach. Artinya putusan tidak tetap. Polisi harus cermat dengan status itu. Polisi ini sering kali bermain di ranah konflik agraria. Saya melihat ada praktek uang untuk mengawal PTPN menanam tebu sebagai pemicu bentrokan di Takalar," jelasnya.
Iwan memaparkan, berdasarkan datanya, kasus tendensius polisi di kasus serupa juga terjadi di Ogan ilir. Saat itu ada seorang anak, Angga (13), yang tewas ditembak aparat kepolsian Ogan Ilir.
Belum lagi, lanjutnya, pada 11 September 2013 lalu, dimana seorang petani di Indramayu tewas dan tiga puluh lainnya luka-luka karena intimidasi dan kekerasan oleh penyisiran yang dilakukan oleh preman serta aparat.
"Terbukti jika polisi bersalah. Karena ada bukti peluru tajam di setiap insiden-insiden itu. Polisi juga tidak cermat melihat peta konflik, harusnya intel-intel di sana sudah bisa membaca akibat yang ditimbulkan jika PTPN melakukan penanaman tebu. Yang pasti telah terbukti jika aparat tidak mampu bersikap netral dan tidak menggunakan rasa kemanusiaan," kata Iwan.
Akibat kejadian itu, seorang warga, Yunus Daeng Ngempo (35), terpaksa dilarikan ke rumah sakit lantaran mengalami luka di bagian kaki sebelah kiri terkena peluru aparat kepolisian.
Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun, bentrokan tersebut pecah saat karyawan PTPN XIV hendak melakukan penanaman tebu di lahan seluas kurang lebih 2.000 meter persegi yang berada di areal Pabrik Gula Takalar di Dusun Bulubumbung, Desa Timbuseng, Kecamatan Polongbangkeng Utara. Padahal, lahan itu dinyatakan masih berstatus sengketa dengan warga.
Aparat kepolisian, saat itu mendampingi PTPN XIV untuk melakukan penanaman tebu. Bahkan saat terjadi insiden, polisi seolah membekingi PTPN XIV dan berusaha menyerang warga.
Atas peristiwa itu, tudingan keras pun dialamatkan kepada institusi pengayom masyarakat itu. Disinyalir, ada iming-iming uang kepada aparat kepolisian untuk mendukung PTPN XIV.
Tudingan keras itu disuarakan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Menurut Sekjend KPA, Iwan Nurdin, aparat kepolisian telah bertindak brutal dan terkesan tendensius terhadap warga.
"Bingung saya dengan sikap polisi, pemahaman mereka tentang pertanahan sempit. Jelas-jelas ini tanah sengketa, mengapa dia mengambil sikap untuk mendukung PTPN XIV," gusar Iwan saat dihubungi SINDOnews, Selasa (3/12/2013).
Menurut Iwan, polisi seringkali berada di posisi yang salah. Dalam penanganan konflik, polisi sering kali diangap tidak netral, apalagi melindungi rakyat kecil seperti petani.
"Jika PTPN bilang sudang mengantongi kuasa, tidak betul. Itu masih inkrach. Artinya putusan tidak tetap. Polisi harus cermat dengan status itu. Polisi ini sering kali bermain di ranah konflik agraria. Saya melihat ada praktek uang untuk mengawal PTPN menanam tebu sebagai pemicu bentrokan di Takalar," jelasnya.
Iwan memaparkan, berdasarkan datanya, kasus tendensius polisi di kasus serupa juga terjadi di Ogan ilir. Saat itu ada seorang anak, Angga (13), yang tewas ditembak aparat kepolsian Ogan Ilir.
Belum lagi, lanjutnya, pada 11 September 2013 lalu, dimana seorang petani di Indramayu tewas dan tiga puluh lainnya luka-luka karena intimidasi dan kekerasan oleh penyisiran yang dilakukan oleh preman serta aparat.
"Terbukti jika polisi bersalah. Karena ada bukti peluru tajam di setiap insiden-insiden itu. Polisi juga tidak cermat melihat peta konflik, harusnya intel-intel di sana sudah bisa membaca akibat yang ditimbulkan jika PTPN melakukan penanaman tebu. Yang pasti telah terbukti jika aparat tidak mampu bersikap netral dan tidak menggunakan rasa kemanusiaan," kata Iwan.
(rsa)