Lettu (CPN) Agung Budiarjo
A
A
A
Sindonews.com - Mendung bergelayut di langit Komplek pekuburan khusus Kodam VII Wirabuana, sekira 18 kilometer dari pusat Kota Makassar.
Sepoi angin bertiup perlahan, melampai daun-daun di pepohonan. Suasana tercekat di saat waktu menunjukkan tengah hari baru saja lewat.
Sejauh mata memandang, tampak berjajar rapi tonggak kayu pendek yang ditanam di atas kubur sebagai penanda gugurnya para kesatria Nusantara. Ada 20-an kolom dalam empat lajur kuburan. Sekira seperempat bagian dari 20-an kolom itu sudah bertambah jadi lima lajur. Beberapa makam baru terletak di situ.
Puluhan pelayat, baik kerabat, rekan sejawat, tetangga, dan sanak-saudara, ikut mengantar kepergian Lettu (CPN) Agung Budiarjo. Almarhum meninggal dunia pada 9 November lalu dalam penugasan pengamanan perbatasan Kalimantan Utara (Kaltara) karena kecelakaan helikopter.
Jasadnya diberangkatkan dari rumah duka di komplek BTN Mutiara Permai Blok A1, Sungguminasa, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Tak jauh dari rumah itu, jenazahnya kemudian disalatkan di Masjid Darul Istiqomah, Jl Yusuf Bauty, Manggarupi, Kelurahan Paccinongang, Kecamatan Somba Opu, Gowa.
Nampak, para prajurit TNI yang gagah dan tegap dengan penuh wibawa menjunjung tinggi peti mati rekan sejawatnya. Berikutnya, peti itu disorong ke dalam mobil Kereta Merta yang melaju sepanjang jalan dengan bunyi sirene.
“Dilahirkan di Ujung Pandang, 10 Juli 1987. Putra dari bapak Syahrir M dan ibu Bungaidah serta meninggalkan seorang istri Rezky Amelia,” ucap Perwira Seksi Personel, Lettu (Inf) Nisan, saat membacakan riwayatnya atas nama Komandan Kodim 1408 PS.
Pangkat terakhir almarhum, Letnan Satu Corps Penerbang TNI AD. Dia perwira yang dianugerahi tanda jasa Dharma Nusa. Jabatan yang disandangnya di kesatuan sebagai perwira penerbang Si-Ud 1 Flight A Heli Serbu Ground 12 Serbu di Pusat PENERBAD (Penerbangan Angkatan Darat). Pendidikan militer terakhir yang ditempuhnya ialah Diklapa PENERBAD.
“Riwayat penugasan di Papua (2009), Aceh (2010), pengamanan perbatasan Kupang (2011), pengamanan perbatasan Kalimantan Barat (2012), dan pengamanan perbatasan Kalimantan Utara (2013),” ujar Nisan menutup bacaannya.
Setelah Lettu (Inf) Nisan menutup bacaannya, Inspektur Upacara – Kolonel (CPN) Agus Siswanto – lekas mengambil tempat. Puluhan prajurit dengan sikap siaga berbaris dalam pasukan menghadap liang lahat. Mendiang dikuburkan dengan upacara militer nan khidmat.
Terdengar bunyi tembakan salvo membelah angin ke angkasa. Suara terompet menyayat hati. Sepotong nada kunci dari Il Silenzio, lagu klasik instrumental ciptaan Nini Rosso, dimainkan dengan penuh perasaan. Il Silenzio berarti keheningan. Duka-cita terasa begitu melangut.
“Kami inspektur upacara, atas nama negara dan Tentara Nasional Indonesia, dengan ini mempersembahkan kepada persada Ibu Pertiwi: jiwa-raga dan jasa-jasa almarhum. Semoga jalan dharma bakti yang ditempuhnya dapat menjadi suri tauladan bagi kita semua dan arwahnya mendapat tempat yang semestinya di alam baka,” kata Agus membacakan bait bertajuk ‘Apel Persada’.
Disebutkan, upacara kebesaran ini dilaksanakan sebagai penghormatan dan penghargaan pemerintah atas jasa dan pengorbanan almarhum kepada negara dan bangsa yang dilaksanakan sepanjang hidupnya.
“Cobaan ini sungguh mengejutkan dan menyedihkan perasaan kita semua, tetapi sebagai orang yang beriman kita yakin bahwa kehendak Tuhan itu pasti yang terbaik. Oleh karena itu sebagai umat beragama yang percaya kepada Tuhan tentu kita harus menerimanya dengan tulus dan ikhlas,” tutur Agus.
Dikatakan, walaupun demikian – sebagai manusia biasa – kepergian almarhum yang tercinta tentunya tidak luput dari rasa duka yang mendalam.
“Oleh sebab itu pada kesempatan ini, kepada keluarga almarhum, saya selaku Inspektur Upacara dan atas nama seluruh teman sejawat almarhum menyatakan bela sungkawa yang sedalam-dalamnya dengan memanjatkan doa: semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan ketabahan dan kesabaran serta bimbingan dan perlindungan kepada seluruh keluarga yang ditinggalkan,” sambung Agus.
Dia melanjutkan, kepergian almarhum berarti semua telah kehilangan seorang putra bangsa yang baik yang selalu memegang teguh setiap prinsip-prinsip perjuangan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan negara.
“Kami menyadari bahwa almarhum sebagai seorang manusia biasa selama hidupnya tentu tidak luput dari khilaf dan kesalahan, untuk itu saya memohon hadirin sekalian kiranya dapat melapangkan dada untuk memaafkan segala kesalahan almarhum semasa hidupnya. Kepada keluarga almarhum sekali lagi saya menyatakan bela sungkawa yang sedalam-dalamnya atas kepergian almarhum yang kita cintai,” tukas Agus.
Terakhir, Kolonel (CPN) Agus Siswanto mengajak segenap pelayat yang hadir untuk berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa. “Semoga segala kesalahan dan kekhilafan almarhum diampuni dan mendapat tempat yang layak di sisi-Nya,” pintanya begitu syahdu.
Doa itu ditutup. Menyusul kemudian sebuah taklimat. Taklimat itu disuarakan oleh wakil dari pihak keluarga.
“Kami atas nama keluarga mengucapkan terima kasih atas partisipasi dari semua dinas dan dari segenap handai taulan yang saat ini berada di pemakaman ini. Sekali lagi kami atas nama keluarga mengucapkan terima kasih dan mohon dimaafkan atas segala kesalahan yang diperbuat oleh almarhum baik disengaja maupun tidak disengaja. Semoga arwah almarhum diterima di sisi-Nya,” tutur seorang perempuan berjilbab dan berbusana hitam.
Liang lahat pun ditimbun. Secara tangkas beberapa prajurit mengambil sekop, menyodok tanah merah. Mengisi sekop dengan tanah yang disodok, lantas mengayunkannya sampai jadi urukan rata tanah. Selanjutnya, karangan bunga diletakkan di atas pusara.
Rezky masih menangis terisak di tepi kubur. Di tempat agak jauh, ibu mertuanya, Bungaidah, tak kuasa mendekat. Didampingi saudarinya, si ibu terus tertunduk sedih menekuri tanah. Setelah salah seorang keponakannya menghampiri, dia baru mau diajak berjalan maju menuju ke makam.
“Selamat jalan, Ndi’. Maafkan Daeng ta’ ini yang belum sempat kenal dekat ki’ semasa hidup. Insya Allah mendapat tempat yang layak di sisi-Nya,” gumam Icha (35), sepupu almarhum.
Kuburan itu tepat dinaungi dua batang pohon mangga. Sepasang pohon besar yang lebat, bercabang banyak, dan rindang. Tinggi pohon sekira lima meter. Buah-buahan ranum di atas sana menggantung terjuntai, seperti tinggal dipetik saja. Sepasang pohon kokoh dan ranumnya buah mangga di taman itu memberi udara kesejukan.
Situasi hening belum juga mau berlalu. Sosok sang perwira dalam kenangan mungkin bisa diwakili sebuah senandung lagu tempo dulu, berjudul ‘Sersan Mayorku’, yang reffrain-nya berbunyi seperti ini:
“Alangkah gagahnya, miring topinya
Aku namakan dia juru terbangku si gatot kaca
Alangkah manisnya, sopan santunnya
Aku namakan dia burung garuda yang istimewa”
Sepoi angin bertiup perlahan, melampai daun-daun di pepohonan. Suasana tercekat di saat waktu menunjukkan tengah hari baru saja lewat.
Sejauh mata memandang, tampak berjajar rapi tonggak kayu pendek yang ditanam di atas kubur sebagai penanda gugurnya para kesatria Nusantara. Ada 20-an kolom dalam empat lajur kuburan. Sekira seperempat bagian dari 20-an kolom itu sudah bertambah jadi lima lajur. Beberapa makam baru terletak di situ.
Puluhan pelayat, baik kerabat, rekan sejawat, tetangga, dan sanak-saudara, ikut mengantar kepergian Lettu (CPN) Agung Budiarjo. Almarhum meninggal dunia pada 9 November lalu dalam penugasan pengamanan perbatasan Kalimantan Utara (Kaltara) karena kecelakaan helikopter.
Jasadnya diberangkatkan dari rumah duka di komplek BTN Mutiara Permai Blok A1, Sungguminasa, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Tak jauh dari rumah itu, jenazahnya kemudian disalatkan di Masjid Darul Istiqomah, Jl Yusuf Bauty, Manggarupi, Kelurahan Paccinongang, Kecamatan Somba Opu, Gowa.
Nampak, para prajurit TNI yang gagah dan tegap dengan penuh wibawa menjunjung tinggi peti mati rekan sejawatnya. Berikutnya, peti itu disorong ke dalam mobil Kereta Merta yang melaju sepanjang jalan dengan bunyi sirene.
“Dilahirkan di Ujung Pandang, 10 Juli 1987. Putra dari bapak Syahrir M dan ibu Bungaidah serta meninggalkan seorang istri Rezky Amelia,” ucap Perwira Seksi Personel, Lettu (Inf) Nisan, saat membacakan riwayatnya atas nama Komandan Kodim 1408 PS.
Pangkat terakhir almarhum, Letnan Satu Corps Penerbang TNI AD. Dia perwira yang dianugerahi tanda jasa Dharma Nusa. Jabatan yang disandangnya di kesatuan sebagai perwira penerbang Si-Ud 1 Flight A Heli Serbu Ground 12 Serbu di Pusat PENERBAD (Penerbangan Angkatan Darat). Pendidikan militer terakhir yang ditempuhnya ialah Diklapa PENERBAD.
“Riwayat penugasan di Papua (2009), Aceh (2010), pengamanan perbatasan Kupang (2011), pengamanan perbatasan Kalimantan Barat (2012), dan pengamanan perbatasan Kalimantan Utara (2013),” ujar Nisan menutup bacaannya.
Setelah Lettu (Inf) Nisan menutup bacaannya, Inspektur Upacara – Kolonel (CPN) Agus Siswanto – lekas mengambil tempat. Puluhan prajurit dengan sikap siaga berbaris dalam pasukan menghadap liang lahat. Mendiang dikuburkan dengan upacara militer nan khidmat.
Terdengar bunyi tembakan salvo membelah angin ke angkasa. Suara terompet menyayat hati. Sepotong nada kunci dari Il Silenzio, lagu klasik instrumental ciptaan Nini Rosso, dimainkan dengan penuh perasaan. Il Silenzio berarti keheningan. Duka-cita terasa begitu melangut.
“Kami inspektur upacara, atas nama negara dan Tentara Nasional Indonesia, dengan ini mempersembahkan kepada persada Ibu Pertiwi: jiwa-raga dan jasa-jasa almarhum. Semoga jalan dharma bakti yang ditempuhnya dapat menjadi suri tauladan bagi kita semua dan arwahnya mendapat tempat yang semestinya di alam baka,” kata Agus membacakan bait bertajuk ‘Apel Persada’.
Disebutkan, upacara kebesaran ini dilaksanakan sebagai penghormatan dan penghargaan pemerintah atas jasa dan pengorbanan almarhum kepada negara dan bangsa yang dilaksanakan sepanjang hidupnya.
“Cobaan ini sungguh mengejutkan dan menyedihkan perasaan kita semua, tetapi sebagai orang yang beriman kita yakin bahwa kehendak Tuhan itu pasti yang terbaik. Oleh karena itu sebagai umat beragama yang percaya kepada Tuhan tentu kita harus menerimanya dengan tulus dan ikhlas,” tutur Agus.
Dikatakan, walaupun demikian – sebagai manusia biasa – kepergian almarhum yang tercinta tentunya tidak luput dari rasa duka yang mendalam.
“Oleh sebab itu pada kesempatan ini, kepada keluarga almarhum, saya selaku Inspektur Upacara dan atas nama seluruh teman sejawat almarhum menyatakan bela sungkawa yang sedalam-dalamnya dengan memanjatkan doa: semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan ketabahan dan kesabaran serta bimbingan dan perlindungan kepada seluruh keluarga yang ditinggalkan,” sambung Agus.
Dia melanjutkan, kepergian almarhum berarti semua telah kehilangan seorang putra bangsa yang baik yang selalu memegang teguh setiap prinsip-prinsip perjuangan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan negara.
“Kami menyadari bahwa almarhum sebagai seorang manusia biasa selama hidupnya tentu tidak luput dari khilaf dan kesalahan, untuk itu saya memohon hadirin sekalian kiranya dapat melapangkan dada untuk memaafkan segala kesalahan almarhum semasa hidupnya. Kepada keluarga almarhum sekali lagi saya menyatakan bela sungkawa yang sedalam-dalamnya atas kepergian almarhum yang kita cintai,” tukas Agus.
Terakhir, Kolonel (CPN) Agus Siswanto mengajak segenap pelayat yang hadir untuk berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa. “Semoga segala kesalahan dan kekhilafan almarhum diampuni dan mendapat tempat yang layak di sisi-Nya,” pintanya begitu syahdu.
Doa itu ditutup. Menyusul kemudian sebuah taklimat. Taklimat itu disuarakan oleh wakil dari pihak keluarga.
“Kami atas nama keluarga mengucapkan terima kasih atas partisipasi dari semua dinas dan dari segenap handai taulan yang saat ini berada di pemakaman ini. Sekali lagi kami atas nama keluarga mengucapkan terima kasih dan mohon dimaafkan atas segala kesalahan yang diperbuat oleh almarhum baik disengaja maupun tidak disengaja. Semoga arwah almarhum diterima di sisi-Nya,” tutur seorang perempuan berjilbab dan berbusana hitam.
Liang lahat pun ditimbun. Secara tangkas beberapa prajurit mengambil sekop, menyodok tanah merah. Mengisi sekop dengan tanah yang disodok, lantas mengayunkannya sampai jadi urukan rata tanah. Selanjutnya, karangan bunga diletakkan di atas pusara.
Rezky masih menangis terisak di tepi kubur. Di tempat agak jauh, ibu mertuanya, Bungaidah, tak kuasa mendekat. Didampingi saudarinya, si ibu terus tertunduk sedih menekuri tanah. Setelah salah seorang keponakannya menghampiri, dia baru mau diajak berjalan maju menuju ke makam.
“Selamat jalan, Ndi’. Maafkan Daeng ta’ ini yang belum sempat kenal dekat ki’ semasa hidup. Insya Allah mendapat tempat yang layak di sisi-Nya,” gumam Icha (35), sepupu almarhum.
Kuburan itu tepat dinaungi dua batang pohon mangga. Sepasang pohon besar yang lebat, bercabang banyak, dan rindang. Tinggi pohon sekira lima meter. Buah-buahan ranum di atas sana menggantung terjuntai, seperti tinggal dipetik saja. Sepasang pohon kokoh dan ranumnya buah mangga di taman itu memberi udara kesejukan.
Situasi hening belum juga mau berlalu. Sosok sang perwira dalam kenangan mungkin bisa diwakili sebuah senandung lagu tempo dulu, berjudul ‘Sersan Mayorku’, yang reffrain-nya berbunyi seperti ini:
“Alangkah gagahnya, miring topinya
Aku namakan dia juru terbangku si gatot kaca
Alangkah manisnya, sopan santunnya
Aku namakan dia burung garuda yang istimewa”
(rsa)