MUI hargai perbedaan Toriqot Nahsabandiyah Kholidiyah
A
A
A
Sindonews.com - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur menilai, pelaksanaan salat Idul Adha yang berbeda dari umat Muslim lainnya, masih dalam taraf berbedaan yang bisa di tolerir.
"Pelaksanaan yang salat Ied yang dilakukan oleh jamaah Toriqot Nahsabandiyah Kholidiyah Al Aliyah masih dalam kerangka bisa ditolerir," ujar Sekretaris MUI Jatim M Yunus, kepada wartawan, Rabu (16/10/2013).
Ditambahkan dia, pihaknya akan melakukan komukasi dengan tarekat tersebut untuk mengetahui secara teknis bagaimana penentuannya hingga bisa berbeda.
Dia menjelaskan, dalam penentuan awal Ramadan, Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha, berlaku dua metode, yakni Rukyatul Hilal (Melihat bulan) dan Hisab (metode perhitungan).
Meski demikian, dengan menggunakan metode tersebut tak jarang ormas Muhammadiyah dan Nahdhotul Ulama (NU) sering berbeda dalam penentuan awal Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri.
"Masyarakat Indonesia sudah dewasa dalam menyikapi perbedaan. Sehingga, dengan perbedaan itu, tidak akan memicu perpecahan. Kami akan komunikasi dengan tarekat tersebut. Untuk persoalan ini masih dalam tahap yang bisa ditolelir," terangnya.
Ditambahkan dia, ormas-ormas Islam punya komitmen dalam penentuan hari raya. Perbedaan yang tidak bisa ditolelir adalah dalam tahapan akidah. Jika sudah masuk wilayah ini, harus ada garis tegas untuk perbedaan tersebut.
Yunus juga mengaku tidak mengetahui metode apa yang digunakan oleh jamaah Toriqot Nahsabandiyah Kholidiyah Al Aliyah. Jika ada yang mengatakan mereka menggunakan penanggalan Jawa, MUI akan menyelidikki secara teknis.
"Kalau menggunakan penanggalan Jawa, saya tidak tahu. Sebab sejauh ini yang digunakan oleh umat Islam adalah metode rukyah dan hisab," tukasnya.
"Pelaksanaan yang salat Ied yang dilakukan oleh jamaah Toriqot Nahsabandiyah Kholidiyah Al Aliyah masih dalam kerangka bisa ditolerir," ujar Sekretaris MUI Jatim M Yunus, kepada wartawan, Rabu (16/10/2013).
Ditambahkan dia, pihaknya akan melakukan komukasi dengan tarekat tersebut untuk mengetahui secara teknis bagaimana penentuannya hingga bisa berbeda.
Dia menjelaskan, dalam penentuan awal Ramadan, Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha, berlaku dua metode, yakni Rukyatul Hilal (Melihat bulan) dan Hisab (metode perhitungan).
Meski demikian, dengan menggunakan metode tersebut tak jarang ormas Muhammadiyah dan Nahdhotul Ulama (NU) sering berbeda dalam penentuan awal Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri.
"Masyarakat Indonesia sudah dewasa dalam menyikapi perbedaan. Sehingga, dengan perbedaan itu, tidak akan memicu perpecahan. Kami akan komunikasi dengan tarekat tersebut. Untuk persoalan ini masih dalam tahap yang bisa ditolelir," terangnya.
Ditambahkan dia, ormas-ormas Islam punya komitmen dalam penentuan hari raya. Perbedaan yang tidak bisa ditolelir adalah dalam tahapan akidah. Jika sudah masuk wilayah ini, harus ada garis tegas untuk perbedaan tersebut.
Yunus juga mengaku tidak mengetahui metode apa yang digunakan oleh jamaah Toriqot Nahsabandiyah Kholidiyah Al Aliyah. Jika ada yang mengatakan mereka menggunakan penanggalan Jawa, MUI akan menyelidikki secara teknis.
"Kalau menggunakan penanggalan Jawa, saya tidak tahu. Sebab sejauh ini yang digunakan oleh umat Islam adalah metode rukyah dan hisab," tukasnya.
(san)