Lanjutkan reklamasi pantai Bali = perang baratayudha
A
A
A
Sindonews.com - Kalangan akademisi meminta Gubernur Bali Made Mangku Pastika jangan ngotot melanjutkan rencana reklamasi Pantai Teluk Tanjung Benoa, Kabupaten Badung. Karena, selain rencana tersebut mendapat banyak penolakan, juga dinilai melanggar aturan yang lebih tinggi.
Penasehat Forum Peduli Bali Dwipa (FPBD) Prof. Gusti Bagus Wijaya Kusuma dari Universitas Udayana mengatakan, pihaknya tidak ada maksud menolak atau menerima wacana reklamasi di Bali.
"Kami hanya ingin memberi masukan kepada semua pihak, terutama dari sisi hukum yang dinilai cacat," ujarnya dalam seminar di Wantilan DPRD Bali, Kamis (1/8/2013).
Wacana rekamasi yang menuai kontroversi dan penolakan di masyarakat, hendaknya dijadikan bahan pertimbangan gubernur. Terlebih, reklamasi juga melangkahi dua aturan yang lebih tinggi. Dua aturan terbaru sebagai landasan hukumnya itu pertama Peraturan Presiden (Perpres) No.45 tahun 2011 tentang Peta Rencana Perkotaan Sarbagita.
Dalam Perpres tertanggal 27 Juli 2011, itu tidak ada ada peta menyangkut reklamasi Teluk Benoa ini. "Yang ada justru hanya jalan tol di atas perairan Nusa Dua–Benoa, serta reklamasi Pulau Serangan dan Pulau Pudut," bebernya.
Jadi, tambahnya, tidak ada alasan bagi Gubernur Made, untuk ngotot melanjutkan rencana reklamasi Teluk Benoa.
Diketahui, desakan agar Gubernur mencabut SK Nomor 2138/ 02-C/ HK/ 2012 tentang Pemberian Izin dan Hak Pemanfaatan dan Pengembangan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa kepada PT TWBI terus menguat.
"Desakan tidak perlu ditentang lagi, apalagi harus ngotot untuk melanjutkan reklamasi,” katanya mengingatkan.
Di mata Prof Dr Ibrahim, dosen Guru Besar Ilmu Administrasi Negara Fakultas Hukum yang hadir dalam seminar, jika reklamasi tetap dilanjutkan, maka akan terjadi lagi Perang Baratayudha di Bali.
Pasalnya, adanya reklamasi besar-besaran seluas 838 hektar itu bakal berdampak merusak lingkungan di sekitarnya, dan kini melahirkan kontroversi di masyarakat.
"SK Gubernur itu cacat hukum, namun masalahnya tentu pihak yang mendapat izin akan melakukan gugutan material dan immaterial yang tidak sedikit jika SK dibatalkan," jelas Ibrahim.
Penasehat Forum Peduli Bali Dwipa (FPBD) Prof. Gusti Bagus Wijaya Kusuma dari Universitas Udayana mengatakan, pihaknya tidak ada maksud menolak atau menerima wacana reklamasi di Bali.
"Kami hanya ingin memberi masukan kepada semua pihak, terutama dari sisi hukum yang dinilai cacat," ujarnya dalam seminar di Wantilan DPRD Bali, Kamis (1/8/2013).
Wacana rekamasi yang menuai kontroversi dan penolakan di masyarakat, hendaknya dijadikan bahan pertimbangan gubernur. Terlebih, reklamasi juga melangkahi dua aturan yang lebih tinggi. Dua aturan terbaru sebagai landasan hukumnya itu pertama Peraturan Presiden (Perpres) No.45 tahun 2011 tentang Peta Rencana Perkotaan Sarbagita.
Dalam Perpres tertanggal 27 Juli 2011, itu tidak ada ada peta menyangkut reklamasi Teluk Benoa ini. "Yang ada justru hanya jalan tol di atas perairan Nusa Dua–Benoa, serta reklamasi Pulau Serangan dan Pulau Pudut," bebernya.
Jadi, tambahnya, tidak ada alasan bagi Gubernur Made, untuk ngotot melanjutkan rencana reklamasi Teluk Benoa.
Diketahui, desakan agar Gubernur mencabut SK Nomor 2138/ 02-C/ HK/ 2012 tentang Pemberian Izin dan Hak Pemanfaatan dan Pengembangan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa kepada PT TWBI terus menguat.
"Desakan tidak perlu ditentang lagi, apalagi harus ngotot untuk melanjutkan reklamasi,” katanya mengingatkan.
Di mata Prof Dr Ibrahim, dosen Guru Besar Ilmu Administrasi Negara Fakultas Hukum yang hadir dalam seminar, jika reklamasi tetap dilanjutkan, maka akan terjadi lagi Perang Baratayudha di Bali.
Pasalnya, adanya reklamasi besar-besaran seluas 838 hektar itu bakal berdampak merusak lingkungan di sekitarnya, dan kini melahirkan kontroversi di masyarakat.
"SK Gubernur itu cacat hukum, namun masalahnya tentu pihak yang mendapat izin akan melakukan gugutan material dan immaterial yang tidak sedikit jika SK dibatalkan," jelas Ibrahim.
(san)