Ini jawaban Awang Faroek soal SP3 Kejagung
A
A
A
Sindonews.com - Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim) Awang Faroek Ishak menegaskan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Kejaksaan Agung terkait dugaan divestasi saham PT Kaltim Prima Coal (KPC) sebesar 51 persen sudah benar.
Sebab, dugaan korupsi yang ditudingkan kepadanya tidak cukup bukti. Penjualan saham PT KPC itu dilakukan telah sesuai prosedur yang berlaku.
Dia menilai warga Sangatta yang mengajukan gugatan praperadilan terhadap SP3 Kejagung itu tidak memahami secara keseluruhan masalah. Awang menyatakan ada fakta yang dicampuradukkan oleh si penggugat.
“Ada yang mencampuradukkan antara masa saya sebelum menjabat Bupati Kutai Timur, kemudian menjabat bupati lagi. Kan ada dua kali saya menjabat bupati, tahun 2000 sampai 2003. Kemudian di 2003 saya mundur dan digantikan Mahyudin (wakil bupati) sampai 2005. Kemudian tahun 2005 sampai 2008 saya menjabat lagi, ini yang dicampuradukkan,” kata Awang Faroek, usai menghadiri rapat ketahanan pangan di Kantor Gubernur Kaltim, Kamis (25/7/2013).
Awang menjelaskan, awalnya saat periode pertama ia menjabat Bupati Kutai Timur, bersama Suwarna, Gubernur Kaltim kala itu, memperjuangkan divestasi saham PT Kaltim Prima Coal (KPC) sebesar 51 persen.
Usaha itu kemudian kandas karena PT Bumi Resources bersama perusahaan lain membeli 100 persen saham.
“Saat saya sudah mundur untuk mengikuti Pilkada Kaltim, terjadilah perjanjian jual beli saham PT KPC antara Pemkab Kutim dengan Bumi Resources sebesar 18,6 persen. Kemudian saham itu dijual kembali sebesar 13,6 persen ke Bumi Resources dan Kutai Timur mendapatkan Golden Share sebesar 5 persen,” katanya.
Untuk mengelola saham tersebut, Bupati Kutai Timur waktu itu yang dijabat Mahyudin kemudian membentuk PT Kutai Timur Energi tanpa didukung Peraturan Daerah.
Artinya berdasarkan undang-undang perseroan terbatas, perusahaan ini adalah perusahaan swasta dengan Pemkab Kutai Timur memegang 99 persen saham.
“Jadi saat pembentukan PT Kutai Timur Energi itu yang menjabat (Bupati Kutai Timur) bukan saya,” tambahnya.
Pada 2005, Awang Faroek kembali maju di Pilkada Kabupaten Kutai Timur dan kembali menjabat bupati. Saat itu, kata Awang, ia menghadapi kenyataan jika lima persen saham PT KPC yang dikelola PT Kutai Timur Energi tidak memperoleh keuntungan yang cukup.
“Sehingga timbullah keinginan dari DPRD Kutai Timur untuk menjual saham itu. Terbukti dengan suratnya kepada Dirut PT Kutai Timur Energi yang ditembuskan kepada bupati,” ujar Awang.
Bupati Kutai Timur kemudian menindaklanjuti tembusan Surat DPRD dengan membuat surat kepada DPRD Kutai Timur. Surat tersebut direspon oleh DPRD Kutai Timur dengan membuat Keputusan No. 10 Tahun 2006 tanggal 18 Agustus 2006 tentang Persetujuan Penjualan Saham 5 persen KPC milik PT Kutai Timur Energi.
“Faktanya jangan dibalik-balik, seolah-olah itu dari saya. Saya hanya meneruskan,” katanya.
Awang meyakini, secara prosedural apa yang dilakukan waktu itu untuk menjual saham PT KPC sudah benar. Berdasarkan laporan Bupati Kutai Timur saat ini, tambahnya, dana penjualan saham itu masih utuh.
“Dari laporan keuangan yang diaudit oleh Ernst and Young, total aset dan dana milik Pemerintah Kabupaten Kutai Timur pada PT. Kutai Timur Energi yang semula bernilai US$63 juta atau Rp576 miliar pada 31 Desember 2009 telah berkembang menjadi Rp792 Milyar,” kata Awang.
Ia menyatakan, jika persoalan ini merupakan ranah hukum perseroan terbatas dan hukum keperdataan yang tidak ada kaitannya dengan hukum pidana.
“Sangkaan korupsinya terlalu sumir,” pungkasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Andi Mappasiling warga Gang Mujur Jaya IX Nomor 107, RT 27, Kelurahan Sangatta Utara, Kecamatan Sangatta Utara, Kabupaten Kutai Timur mempraperadilankan Kejagung yang telah mengeluarkan SP3 atas kasus divestasi saham KPC dengan tersangka Awang Faroek Ishak.
Gugatan praperadilan resmi didaftarkan ke Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan register nomor 34/pid.pra/2013/PN.Jaksel sejak tanggal 2 Juli 2013.
Sebab, dugaan korupsi yang ditudingkan kepadanya tidak cukup bukti. Penjualan saham PT KPC itu dilakukan telah sesuai prosedur yang berlaku.
Dia menilai warga Sangatta yang mengajukan gugatan praperadilan terhadap SP3 Kejagung itu tidak memahami secara keseluruhan masalah. Awang menyatakan ada fakta yang dicampuradukkan oleh si penggugat.
“Ada yang mencampuradukkan antara masa saya sebelum menjabat Bupati Kutai Timur, kemudian menjabat bupati lagi. Kan ada dua kali saya menjabat bupati, tahun 2000 sampai 2003. Kemudian di 2003 saya mundur dan digantikan Mahyudin (wakil bupati) sampai 2005. Kemudian tahun 2005 sampai 2008 saya menjabat lagi, ini yang dicampuradukkan,” kata Awang Faroek, usai menghadiri rapat ketahanan pangan di Kantor Gubernur Kaltim, Kamis (25/7/2013).
Awang menjelaskan, awalnya saat periode pertama ia menjabat Bupati Kutai Timur, bersama Suwarna, Gubernur Kaltim kala itu, memperjuangkan divestasi saham PT Kaltim Prima Coal (KPC) sebesar 51 persen.
Usaha itu kemudian kandas karena PT Bumi Resources bersama perusahaan lain membeli 100 persen saham.
“Saat saya sudah mundur untuk mengikuti Pilkada Kaltim, terjadilah perjanjian jual beli saham PT KPC antara Pemkab Kutim dengan Bumi Resources sebesar 18,6 persen. Kemudian saham itu dijual kembali sebesar 13,6 persen ke Bumi Resources dan Kutai Timur mendapatkan Golden Share sebesar 5 persen,” katanya.
Untuk mengelola saham tersebut, Bupati Kutai Timur waktu itu yang dijabat Mahyudin kemudian membentuk PT Kutai Timur Energi tanpa didukung Peraturan Daerah.
Artinya berdasarkan undang-undang perseroan terbatas, perusahaan ini adalah perusahaan swasta dengan Pemkab Kutai Timur memegang 99 persen saham.
“Jadi saat pembentukan PT Kutai Timur Energi itu yang menjabat (Bupati Kutai Timur) bukan saya,” tambahnya.
Pada 2005, Awang Faroek kembali maju di Pilkada Kabupaten Kutai Timur dan kembali menjabat bupati. Saat itu, kata Awang, ia menghadapi kenyataan jika lima persen saham PT KPC yang dikelola PT Kutai Timur Energi tidak memperoleh keuntungan yang cukup.
“Sehingga timbullah keinginan dari DPRD Kutai Timur untuk menjual saham itu. Terbukti dengan suratnya kepada Dirut PT Kutai Timur Energi yang ditembuskan kepada bupati,” ujar Awang.
Bupati Kutai Timur kemudian menindaklanjuti tembusan Surat DPRD dengan membuat surat kepada DPRD Kutai Timur. Surat tersebut direspon oleh DPRD Kutai Timur dengan membuat Keputusan No. 10 Tahun 2006 tanggal 18 Agustus 2006 tentang Persetujuan Penjualan Saham 5 persen KPC milik PT Kutai Timur Energi.
“Faktanya jangan dibalik-balik, seolah-olah itu dari saya. Saya hanya meneruskan,” katanya.
Awang meyakini, secara prosedural apa yang dilakukan waktu itu untuk menjual saham PT KPC sudah benar. Berdasarkan laporan Bupati Kutai Timur saat ini, tambahnya, dana penjualan saham itu masih utuh.
“Dari laporan keuangan yang diaudit oleh Ernst and Young, total aset dan dana milik Pemerintah Kabupaten Kutai Timur pada PT. Kutai Timur Energi yang semula bernilai US$63 juta atau Rp576 miliar pada 31 Desember 2009 telah berkembang menjadi Rp792 Milyar,” kata Awang.
Ia menyatakan, jika persoalan ini merupakan ranah hukum perseroan terbatas dan hukum keperdataan yang tidak ada kaitannya dengan hukum pidana.
“Sangkaan korupsinya terlalu sumir,” pungkasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Andi Mappasiling warga Gang Mujur Jaya IX Nomor 107, RT 27, Kelurahan Sangatta Utara, Kecamatan Sangatta Utara, Kabupaten Kutai Timur mempraperadilankan Kejagung yang telah mengeluarkan SP3 atas kasus divestasi saham KPC dengan tersangka Awang Faroek Ishak.
Gugatan praperadilan resmi didaftarkan ke Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan register nomor 34/pid.pra/2013/PN.Jaksel sejak tanggal 2 Juli 2013.
(lns)