Ini dosa Disdik Garut versi G2W
A
A
A
Sindonews.com - Kasus pemotongan dana bantusan siswa miskin di Garut ternyata sudah terendus cukup lama oleh Garut Governance Watch (G2W). Bahkan G2W menuding jumlah penerima BSM juga ikut di markup.
Sekjen Garut Governance Watch (G2W) Agus Rustandi mengatakan, pemotongan dana BSM di Garut telah berlangsung sejak lama. Setiap tahun, kata dia, modusnya tidak berubah, yakni harus menyerahkan sejumlah dana sebagai balas jasa ke oknum pejabat Disdik Kabupaten Garut.
“Selain pemotongan, jumlah siswa miskin di Garut juga diduga fiktif," katanya ketika dihubungi, Jumat (7/6/2013).
Ia membeberkan, siswa yang diajukan untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah pusat itu tidak terdaftar di sekolah penerima bantuan. Modus siswa fiktif itu dilakukan dengan cara mengajukan buku rapor bodong.
Setiap sekolah rata-rata mengajukan siswa fiktif sebanyak lima hingga 10 orang. Kejahatan ini tentu saja merugikan keuangan negara sekitar Rp5 miliar di setiap tahunnya.
"Keuntungannya, ya oknum di Disdik Kabupaten Garut yang menikmati,” tudingnya.
Sementara itu, terkait potongan BSM di Garut, salahseorang guru kelas VI di Garut menceritakan bagaimana besarnya potongan bagi siswa kelas VI. Mereka dipotong hingga mencapai 50 persen.
“Alasannya yakni untuk membiayai kegiatan ujian nasional. Padahal, untuk ujian nasional setiap siswa telah membayar sebesar Rp100 ribu dari bantuan operasional sekolah (BOS). Potongan ini sudah biasa terjadi setiap tahunnya, jadi sudah dianggap kewajiban,” imbuh Enur, salah seorang guru kelas VI.
Akibat kondisi ini, Enur mengaku banyak diantara kebutuhan siswa yang tidak dapat terpenuhi. Padahal berdasarkan aturan bantuan dari pemerintah pusat, dana itu diberikan untuk memenuhi kebutuhan sekolah siswa seperti seragam, baju olah raga, sepatu, tas dan kebutuhan belajar lainnya.
Sekjen Garut Governance Watch (G2W) Agus Rustandi mengatakan, pemotongan dana BSM di Garut telah berlangsung sejak lama. Setiap tahun, kata dia, modusnya tidak berubah, yakni harus menyerahkan sejumlah dana sebagai balas jasa ke oknum pejabat Disdik Kabupaten Garut.
“Selain pemotongan, jumlah siswa miskin di Garut juga diduga fiktif," katanya ketika dihubungi, Jumat (7/6/2013).
Ia membeberkan, siswa yang diajukan untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah pusat itu tidak terdaftar di sekolah penerima bantuan. Modus siswa fiktif itu dilakukan dengan cara mengajukan buku rapor bodong.
Setiap sekolah rata-rata mengajukan siswa fiktif sebanyak lima hingga 10 orang. Kejahatan ini tentu saja merugikan keuangan negara sekitar Rp5 miliar di setiap tahunnya.
"Keuntungannya, ya oknum di Disdik Kabupaten Garut yang menikmati,” tudingnya.
Sementara itu, terkait potongan BSM di Garut, salahseorang guru kelas VI di Garut menceritakan bagaimana besarnya potongan bagi siswa kelas VI. Mereka dipotong hingga mencapai 50 persen.
“Alasannya yakni untuk membiayai kegiatan ujian nasional. Padahal, untuk ujian nasional setiap siswa telah membayar sebesar Rp100 ribu dari bantuan operasional sekolah (BOS). Potongan ini sudah biasa terjadi setiap tahunnya, jadi sudah dianggap kewajiban,” imbuh Enur, salah seorang guru kelas VI.
Akibat kondisi ini, Enur mengaku banyak diantara kebutuhan siswa yang tidak dapat terpenuhi. Padahal berdasarkan aturan bantuan dari pemerintah pusat, dana itu diberikan untuk memenuhi kebutuhan sekolah siswa seperti seragam, baju olah raga, sepatu, tas dan kebutuhan belajar lainnya.
(ysw)