Festival Endhog-endhogan, arak ribuan telur
A
A
A
Sindonews.com - Pemerintah Kabupaten Banyuwangi merayakan peringatan Maulid Nabi Muhammad cara unik, yakni dengan mengadakan Festival Endhog-endhogan.
Acara itu dihelat di halaman Kantor Pemkab Banyuwangi, Minggu 3 Februari 2013 itu nampak semarak. Sedikitnya 1.300 perserta yang merupakan murid sekolah dasar dari 24 kecamatan di Banyuwangi memeriahkan acara ini.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Annas melepas ribuan peserta yang melakukan parade dengan busana dan aksesori bernuansa telur.
Tak ayal, ribuan masyarakat Banyuwangi tumplek blek di sepanjang jalan protokol menyaksikan festival tahunan tersebut.
Festival Endhog-endhogan selama ini dirayakan secara sederhana di lingkungan warga itu kali ini ditampilkan berbeda. Ribuan telur ditata dan dikemas menarik berupa miniatur masjid, Ka'abah hingga Al Qur'an yang kemudian peserta diparadekan dalam bentuk festival.
Selain itu ada parade mobil hias yang berisi replika gajah dan burung ababil raksasa. Dalam replika ini tidak sekadar menyuguhkan bentuk gajah atau burung, tetapi juga memfragmenkan sejarah Islam, khususnya perjuangan Nabi Ibrahim mempertahankan Ka’bah.
Selain itu, miniatur Rumah Using juga turut meramaikan festival ini. Sementara para pelajar juga turut mengisi festival itu juga berdandan dengan kreasinya masing-masing. Mulai dari pakaian Muslim, dandan laiknya Wali Songo, hingga pakaian adat Using. Mereka berjalan sambil melantukan Sholawat Nabi sepanjang jalan.
Festival Endog-endhogan ini merupakan tradisi masyarakat Banyuwangi yang telah dijalankan sejak puluhan tahun lalu. Beberapa literatur menyebutkan tradisi endhog-endhogan Maulid ini diawali 12 tahun setelah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) yang tahun 1926 oleh tokoh agama dari Kecamatan Songgon Banyuwangi.
Mengapa tradisi ini menggunakan endhog?, ini terkait dengan filosofi telur sendiri, di mana dalam telur memiliki tiga lapisan. Yakni, kulit, putih dan kuning yang ketiganya simbolisasi dari nilai-nilai Islam. Kulit bermakna Iman, Putih telur adalah Islam, dan Kuning diartikan Ihsan.
"Ini merupakan kombinasi yang mendalam filosofinya. Ibaratnya isi tanpa kulit akan hancur dan sebaliknya kulit tanpa isi akan kosong," kata Bupati Anas, Senin (4/2/2013).
Tradisi ini bagi umat Islam di Banyuwangi merayakan endhog-endhogan dengan menancapkan telurnya pada jodang atau batang pohon pisang. Sebab pohon pisang juga memiliki makna dan simbol kehidupan yang sangat bagus yakni pohon pisang tak akan mati sebelum berbuah.
Jika ditebas di dalamnya masih ada lapisan yang baru dan akan terus tumbuh. Itulah makna yang luar biasa dari tradisi endog-endhogan.
Festival Endhog-endhogan itu dibuka Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas dengan memainkan tabuhan rebana serta bersholawat badar bersama-sama Forum Pimpinan Daerah (Forpimda) dengan iringan asyrokol yang diikuti masyarakat setempat.
Bupati Anas menyampaikan, peringatan Maulid Nabi tidak sekadar hura-hura tetapi memiliki nilai spiritual yang tinggi.
"Insyallah dengan kita ikut merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW, Banyuwangi akan mendapat syafa'at dan rahmat-Nya. Banyuwangi menjadi lebih baik, dijauhkan segala fitnah, buruk sangka antara rakyat dan pemimpinnya," kata Anas.
Selain itu festival tersebut juga merupakan upaya Pemkab untuk mereaktualisasi kebudayaan lokal yang menjadi sinergi dan kekuatan baru.
Bila event-event sebelumnya banyak menyuguhkan budaya yang tumbuh pra datangnya Islam, seperti Gandrung Sewu, Festival Kuwung, maka di Festival Endhog-endhogan ini giliran budaya Muslim yang dimunculkan.
"Ini menjadi simbol kebhinekaan di Banyuwangi yang akan terus kita jaga dengan format-format kesenian yang baru," katanya.
Acara itu dihelat di halaman Kantor Pemkab Banyuwangi, Minggu 3 Februari 2013 itu nampak semarak. Sedikitnya 1.300 perserta yang merupakan murid sekolah dasar dari 24 kecamatan di Banyuwangi memeriahkan acara ini.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Annas melepas ribuan peserta yang melakukan parade dengan busana dan aksesori bernuansa telur.
Tak ayal, ribuan masyarakat Banyuwangi tumplek blek di sepanjang jalan protokol menyaksikan festival tahunan tersebut.
Festival Endhog-endhogan selama ini dirayakan secara sederhana di lingkungan warga itu kali ini ditampilkan berbeda. Ribuan telur ditata dan dikemas menarik berupa miniatur masjid, Ka'abah hingga Al Qur'an yang kemudian peserta diparadekan dalam bentuk festival.
Selain itu ada parade mobil hias yang berisi replika gajah dan burung ababil raksasa. Dalam replika ini tidak sekadar menyuguhkan bentuk gajah atau burung, tetapi juga memfragmenkan sejarah Islam, khususnya perjuangan Nabi Ibrahim mempertahankan Ka’bah.
Selain itu, miniatur Rumah Using juga turut meramaikan festival ini. Sementara para pelajar juga turut mengisi festival itu juga berdandan dengan kreasinya masing-masing. Mulai dari pakaian Muslim, dandan laiknya Wali Songo, hingga pakaian adat Using. Mereka berjalan sambil melantukan Sholawat Nabi sepanjang jalan.
Festival Endog-endhogan ini merupakan tradisi masyarakat Banyuwangi yang telah dijalankan sejak puluhan tahun lalu. Beberapa literatur menyebutkan tradisi endhog-endhogan Maulid ini diawali 12 tahun setelah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) yang tahun 1926 oleh tokoh agama dari Kecamatan Songgon Banyuwangi.
Mengapa tradisi ini menggunakan endhog?, ini terkait dengan filosofi telur sendiri, di mana dalam telur memiliki tiga lapisan. Yakni, kulit, putih dan kuning yang ketiganya simbolisasi dari nilai-nilai Islam. Kulit bermakna Iman, Putih telur adalah Islam, dan Kuning diartikan Ihsan.
"Ini merupakan kombinasi yang mendalam filosofinya. Ibaratnya isi tanpa kulit akan hancur dan sebaliknya kulit tanpa isi akan kosong," kata Bupati Anas, Senin (4/2/2013).
Tradisi ini bagi umat Islam di Banyuwangi merayakan endhog-endhogan dengan menancapkan telurnya pada jodang atau batang pohon pisang. Sebab pohon pisang juga memiliki makna dan simbol kehidupan yang sangat bagus yakni pohon pisang tak akan mati sebelum berbuah.
Jika ditebas di dalamnya masih ada lapisan yang baru dan akan terus tumbuh. Itulah makna yang luar biasa dari tradisi endog-endhogan.
Festival Endhog-endhogan itu dibuka Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas dengan memainkan tabuhan rebana serta bersholawat badar bersama-sama Forum Pimpinan Daerah (Forpimda) dengan iringan asyrokol yang diikuti masyarakat setempat.
Bupati Anas menyampaikan, peringatan Maulid Nabi tidak sekadar hura-hura tetapi memiliki nilai spiritual yang tinggi.
"Insyallah dengan kita ikut merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW, Banyuwangi akan mendapat syafa'at dan rahmat-Nya. Banyuwangi menjadi lebih baik, dijauhkan segala fitnah, buruk sangka antara rakyat dan pemimpinnya," kata Anas.
Selain itu festival tersebut juga merupakan upaya Pemkab untuk mereaktualisasi kebudayaan lokal yang menjadi sinergi dan kekuatan baru.
Bila event-event sebelumnya banyak menyuguhkan budaya yang tumbuh pra datangnya Islam, seperti Gandrung Sewu, Festival Kuwung, maka di Festival Endhog-endhogan ini giliran budaya Muslim yang dimunculkan.
"Ini menjadi simbol kebhinekaan di Banyuwangi yang akan terus kita jaga dengan format-format kesenian yang baru," katanya.
(rsa)