TPA Banyuurip tidak kantongi izin
A
A
A
Sindonews.com - Keberadaan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah di Desa Banyuurip, Kecamatan Tegalrejo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah (Jateng), belum mendapat surat ijin resmi lingkungan dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Magelang.
Padahal, sesuai Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup mengamanatkan bahwa setiap usaha dan atau kegiatan yang wajib memiliki Amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan.
Kepala Bappeda Kabupaten Magelang Rohadi Pratoto mengatakan, Pemkab Magelang tidak memberikan ijin kegiatan di TPA Banyuurip karena beberapa alasan. Diantaranya lokasinya berada di dekat pemukiman penduduk.
"Serta kondisi eksisting lahan yang dipergunakan untuk perluasan TPA merupakan tanah tegalan yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari permukiman penduduk," kata Rohadi, di Magelang, Jateng, Selasa (22/1/2013).
Sedangkan berdasarkan SNI 03-3241-1994 tentang tata cara pemilihan lokasi TPA menyebutkan bahwa jarak minimal dengan permukiman adalah 500 m.
"Banyak warga sekitar TPA yang mengeluhkan ketika musim kemarau terdapat gangguan pernafasan dari asap pembakaran di TPA Banyuurip. Dan di awal musim penghujan adanya bau tidak sedap dan banyaknya lalat disekitar TPA," ucapnya.
Selain itu, kondisi tanah di wilayah Banyuurip yang berjenis lempung sebagai daerah tangkapan air untuk daerah-daerah yang berada dibawahnya. Sehingga, dengan adanya TPA Banyuurip ini akan berpengaruh kuat terhadap kualitas air.
Rohadi menguraikan bahwa dari segi Tata Ruang yang telah diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Magelang nomor 5 tahun 2011, Desa Banyu urip Kecamatan Tegalrejo merupakan desa pusat pertumbuhan dengan prioritas pengembangan sektor pertanian, pariwisata dan industri kecil serta sebagai Pusat Pertumbuhan Kecamatan (PPK) Tegalrejo.
"Ada tiga hal poko yang diprioritaskan yakni sebagai pusat penghasil dan pemasaran tanaman sayuran dan bunga, pusat pengembangan sapi potong dan ayam potong, serta pusat penelitian bidang pertanian. Sehingga, di Desa Banyuurip tidak memungkinkan digunakan untuk TPA," lanjutnya.
Guna mengatasi keterbatasan lahan di TPA Banyuurip, pihaknya bersama Bappeda Kota Magelang pada tahun 2012 telah mengadakan pembahasan tentang kerjasama pengelolaan TPA regional di Kabupaten Magelang yang akan dapat menampung sampah.
"Bahkan, tahun 2013 ini Pemerintah Kota Magelang diminta untuk menutup TPA Banyuurip ini," tegasnya.
Sementara Kepala Bappeda Pemerintah Kota Magelang, Joko Soeparno menyampaikan bahwa pihaknya masih mengkaji keberadaan TPA Banyuurip. Namun, saat ini belum dilakukan koordinasi dengan pihak Pemkab Magelang. "Saat ini masih dikaji lagi, tapi belum sampai ke Pemkab," ujarnya.
Untuk mengantisipasi penanggulangan sampah, ia terus melakukan upaya pengurangan volume sampah dengan mengoptimalkan tempat pembuangan sementara (TPS) terpadu yang ada di tiga titik. Diantaranya Wates, Tidar, dan Jurang Ombo.
"Sementara ini kami masih menggunakan TPA Banyuurip dan optimalkan TPS yang ada. Kami memperkirakan TPA Banyuurip bertahan empat sampai lima tahun ke depan," tandasnya.
Padahal, sesuai Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup mengamanatkan bahwa setiap usaha dan atau kegiatan yang wajib memiliki Amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan.
Kepala Bappeda Kabupaten Magelang Rohadi Pratoto mengatakan, Pemkab Magelang tidak memberikan ijin kegiatan di TPA Banyuurip karena beberapa alasan. Diantaranya lokasinya berada di dekat pemukiman penduduk.
"Serta kondisi eksisting lahan yang dipergunakan untuk perluasan TPA merupakan tanah tegalan yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari permukiman penduduk," kata Rohadi, di Magelang, Jateng, Selasa (22/1/2013).
Sedangkan berdasarkan SNI 03-3241-1994 tentang tata cara pemilihan lokasi TPA menyebutkan bahwa jarak minimal dengan permukiman adalah 500 m.
"Banyak warga sekitar TPA yang mengeluhkan ketika musim kemarau terdapat gangguan pernafasan dari asap pembakaran di TPA Banyuurip. Dan di awal musim penghujan adanya bau tidak sedap dan banyaknya lalat disekitar TPA," ucapnya.
Selain itu, kondisi tanah di wilayah Banyuurip yang berjenis lempung sebagai daerah tangkapan air untuk daerah-daerah yang berada dibawahnya. Sehingga, dengan adanya TPA Banyuurip ini akan berpengaruh kuat terhadap kualitas air.
Rohadi menguraikan bahwa dari segi Tata Ruang yang telah diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Magelang nomor 5 tahun 2011, Desa Banyu urip Kecamatan Tegalrejo merupakan desa pusat pertumbuhan dengan prioritas pengembangan sektor pertanian, pariwisata dan industri kecil serta sebagai Pusat Pertumbuhan Kecamatan (PPK) Tegalrejo.
"Ada tiga hal poko yang diprioritaskan yakni sebagai pusat penghasil dan pemasaran tanaman sayuran dan bunga, pusat pengembangan sapi potong dan ayam potong, serta pusat penelitian bidang pertanian. Sehingga, di Desa Banyuurip tidak memungkinkan digunakan untuk TPA," lanjutnya.
Guna mengatasi keterbatasan lahan di TPA Banyuurip, pihaknya bersama Bappeda Kota Magelang pada tahun 2012 telah mengadakan pembahasan tentang kerjasama pengelolaan TPA regional di Kabupaten Magelang yang akan dapat menampung sampah.
"Bahkan, tahun 2013 ini Pemerintah Kota Magelang diminta untuk menutup TPA Banyuurip ini," tegasnya.
Sementara Kepala Bappeda Pemerintah Kota Magelang, Joko Soeparno menyampaikan bahwa pihaknya masih mengkaji keberadaan TPA Banyuurip. Namun, saat ini belum dilakukan koordinasi dengan pihak Pemkab Magelang. "Saat ini masih dikaji lagi, tapi belum sampai ke Pemkab," ujarnya.
Untuk mengantisipasi penanggulangan sampah, ia terus melakukan upaya pengurangan volume sampah dengan mengoptimalkan tempat pembuangan sementara (TPS) terpadu yang ada di tiga titik. Diantaranya Wates, Tidar, dan Jurang Ombo.
"Sementara ini kami masih menggunakan TPA Banyuurip dan optimalkan TPS yang ada. Kami memperkirakan TPA Banyuurip bertahan empat sampai lima tahun ke depan," tandasnya.
(maf)