Bencana masih mengancam Yogyakarta
A
A
A
Sindonews.com – Warga Yogyakarta tampaknya harus waspada terhadap kemungkinan terjadinya bencana alam yang jarang terjadi, seperti gempa bumi dan tsunami.
“Selain banjir lahar dingin Merapi, banjir genangan juga masih menjadi persoalan di DIY, terutama di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman,” ujar Kepala Pusat Studi Bencana (PSB) UGM Dr Djati Mardiatno SSi MSi di Universitas Gajahmada, Rabu (9/1/2013).
Djati menuturkan, tak hanya banjir, curah hujan yang masih tinggi di awal tahun ini juga bisa memicu longsor, terutama pada tebing-tebing sungai. Warga yang berlokasi di pinggiran sungai diimbau meningkatkan kewaspadaan.
Menurutnya, kesiapsiagaan terhadap bencana penting dilakukan agar jika bencana tersebut terjadi, akan mengurangi jumlah korban jiwa.
“Seperti peristiwa gempa Yogyakarta tahun 2006 lalu, banyak yang kaget kenapa bisa terjadi. Padahal banyak prediksi gempa tidak terjadi di tahun atau pada siklus itu. Untuk itulah, kesiapsiagaan diperlukan,” imbuhnya.
Djati juga menyinggung tentang masterplan pengurangan risiko bencana tsunami yang tengah dibuat oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Menurutnya, pembuatan masterplan tsunami yang menelan anggaran hingga puluhan triliun tersebut sebaiknya tidak dilakukan terburu-buru.
“Pembuatan masterplan ini sebaiknya dilakukan melalui kajian akademik yang memadai dan komprehensif terlebih dulu. Kajian ilmiah perlu dilakukan lebih dulu sehingga nantinya tidak salah sasaran juga,” ungkapnya.
Selain pengurangan risiko bencana melalui mitigasi, Djati menegaskan, penguatan kapasitas lokal, baik masyarakat dan kelembagaan penting untuk dilakukan. Saat ini telah ada satu contoh desa tangguh bencana yang telah dirintis oleh PSB UGM yakni Desa Widarapayung di Cilacap.
“Selain banjir lahar dingin Merapi, banjir genangan juga masih menjadi persoalan di DIY, terutama di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman,” ujar Kepala Pusat Studi Bencana (PSB) UGM Dr Djati Mardiatno SSi MSi di Universitas Gajahmada, Rabu (9/1/2013).
Djati menuturkan, tak hanya banjir, curah hujan yang masih tinggi di awal tahun ini juga bisa memicu longsor, terutama pada tebing-tebing sungai. Warga yang berlokasi di pinggiran sungai diimbau meningkatkan kewaspadaan.
Menurutnya, kesiapsiagaan terhadap bencana penting dilakukan agar jika bencana tersebut terjadi, akan mengurangi jumlah korban jiwa.
“Seperti peristiwa gempa Yogyakarta tahun 2006 lalu, banyak yang kaget kenapa bisa terjadi. Padahal banyak prediksi gempa tidak terjadi di tahun atau pada siklus itu. Untuk itulah, kesiapsiagaan diperlukan,” imbuhnya.
Djati juga menyinggung tentang masterplan pengurangan risiko bencana tsunami yang tengah dibuat oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Menurutnya, pembuatan masterplan tsunami yang menelan anggaran hingga puluhan triliun tersebut sebaiknya tidak dilakukan terburu-buru.
“Pembuatan masterplan ini sebaiknya dilakukan melalui kajian akademik yang memadai dan komprehensif terlebih dulu. Kajian ilmiah perlu dilakukan lebih dulu sehingga nantinya tidak salah sasaran juga,” ungkapnya.
Selain pengurangan risiko bencana melalui mitigasi, Djati menegaskan, penguatan kapasitas lokal, baik masyarakat dan kelembagaan penting untuk dilakukan. Saat ini telah ada satu contoh desa tangguh bencana yang telah dirintis oleh PSB UGM yakni Desa Widarapayung di Cilacap.
(ysw)