Transmigran mandiri yang minim fasilitas

Rabu, 21 November 2012 - 15:03 WIB
Transmigran mandiri yang minim fasilitas
Transmigran mandiri yang minim fasilitas
A A A
Sindonews.com - Suara pengajian selepas salat subuh masih sayup-sayup terdengar di lokasi transmigrasi Kumai Seberang. Namun singkong goreng yang dicabut sendiri dari belakang rumah dan teh tawar itu sudah tersaji hangat untuk sarapan pagi.

Supatem sudah sejak pukul 05.00 Wita bangun untuk menyiapkan sarapan untuk suaminya, Kamsidi. Riska Amelia, anaknya yang berumur 6 tahun baru bangun bersiap sekolah di taman kanak-kanak satu-satunya di lokasi ini.

Kegiatan pagi itu dilakukan gelap-gelapan. Maklum listrik sudah mati sejak jam 11 malam dan listrik baru menyala pada pukul 6 sore lagi nanti.

Pasangan suami istri ini sudah menumpang hidup sejak 2008 lalu. Mereka kloter pertama transmigran yang dikirim pemerintah dari Lampung Selatan ke lokasi transmigran yang berlokasi di Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.

Ada 275 kepala keluarga atau 1.086 jiwa yang menerapkan produksi tanaman pangan. Keluarga Kamsidi ini menempati luas areal tanah selebar 50 meter dan panjang 200 meter. Mereka hidup dengan menanam padi dan cabai.

Bagi mereka, hidup sederhana dengan mencocok tanam adalah berkah sebab di kampung asalnya profesi mereka bekerja di lahan orang lain.

Padinya sendiri saat ini belum menghasilkan namun dalam waktu dekat mereka akan panen cabai. Cabai asal Kalimantan terkenal pedasnya maka harganya pun mampu bersaing dengan cabai dari daerah lain.

"Sekarang harga cabe Rp20 ribu per kilogramnya. Tapi kadang kami bisa jual Rp30 ribu. Alhamdulillah kami bisa mandiri. Ada pengepul yang datang langsung ke rumah untuk mengambil cabai. Kalau cabai super pedas kami jual ke daerah lain. Tapi kami juga tanam cabai biasa karena masyarakat sini malah tidak suka dengan cabai super pedas itu," kata ibu dua anak ini.

Lain lagi cerita Lina, dia mengaku mendapat satu hektare sawah yang ditanami padi jenis Cibogo dan Impari 17. Lina mengaku dari Kebumen. Dia dan suami hanya membawa pakaian saja. Karena pemerintah sudah menyediakan rumah, makanan pokok, lahan berikut pupuk serta bibitnya.

Saat ini Lina juga tengah menunggu panen padi dari sawah tadah hujannya dimana dia bisa mendapatkan 10 kuintal beras dengan kisaran harga Rp9.000 per kilogramnya. Ibu tiga orang anak ini juga mengaku kehidupannya lebih sejahtera. Karena di desanya dahulu dia malah tidak punya sawah.

Meski sudah mandiri, sangat disayangkan sarana prasarana di sebagian besar lokasi transmigran masih minim. Misalnya, listrik hanya berfungsi lima jam di malam hari yang digerakkan dengan diesel.

"Kalau mau minum air es kami harus ke kota. Karena tidak ada kulkas di sini," tutur Supatem.

Kapal klotok menjadi satu-satunya penghubung Kumai Seberang dengan Pangkalan Bun.

Jangan membayangkan jalan beraspal di sini. Karena pasir putih masih mendominasi, sehingga kalau hujan lebat jalan utama rusak.

Yang lebih parahnya adalah ketersediaan air. Contohnya di saat musim hujan ini mereka menadahkan air hujan di bak besar berwarna biru untuk mandi dan minum.

Mereka juga tidak dapat mengandalkan air sumur. Karena air mengandung besi yang lengket di badan ketika dipakai mandi. Kadang air pun terasa asin karena air laut sudah menyerap ke tanah mereka.

Jika saja ada listrik, warga bisa saja mengebor dan membeli mesin pompa yang mampu menjangkau lapisan tanah lebih dalam untuk menjangkau air bersih.

Selain itu hanya ada satu TK dan SD di lokasi ini. Sehingga bagi siswa kelas IX Aria Ananda harus naik motor sejauh 10 kilometer lagi-lagi di satu-satunya SMP Satu Atap 2 Kumai yang terletak di Sungai Bedaun.

Sementara SMA letaknya lebih jauh lagi yang menyebabkan lulusan SMP di Kumai Seberang memilih menikah muda dan bekerja di perkebunan sawit.

Namun masih tersirat asa pada Nanda untuk melanjutkan sekolah, karena gadis manis berjilbab ini bercita-cita ingin menjadi PNS.

"Ibu saya bekerja di perkebunan sawit. Bapak petani padi. Dulu saat di Kebumen bapak hanya jualan kayu bakar," ujarnya bangga.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar menyatakan, diperlukan kerja sama lintas kementerian. Terutama dari Kementan, Kementerian PU, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional, dan Kementerian BUMN.

”Tanpa peran serta instansi terkait, maka akan lebih sulit untuk menciptakan program transmigrasi yang berkualitas,” ungkapnya.

Diketahui, pada tahun 2011 sebanyak 8.392 KK berhasil ditempatkan dalam program transmigrasi. Selanjutnya pada 2012 ini diproyeksikan 9.500 KK transmigran akan difasilitasi untuk ditempatkan di berbagai kawasan transmigrasi di Indonesia.
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0940 seconds (0.1#10.140)