Saatnya hargai budaya bangsa
A
A
A
Sindonews.com - Pemerintah diminta melakukan introspeksi diri terkait usulan masyarakat Mandailing di Malaysia yang mendaftarkan tarian Tor-Tor dan alat musik Gordang Sambilan ke warisan budaya Malaysia.
Antropolog Sumatera Utara (Sumut) Usman Pelly juga meminta semua pihak untuk menanggapi secara proporsional tentang kabar tersebut. Dia menilai akar persoalan ini sebenarnya berawal dari keinginan sekelompok warga Malaysia keturunan Mandailing yang ingin menjadikan Tor-Tor dan Gordang Sambilan sebagai bagian dari budaya mereka.
“Karena kecintaannya terhadap budaya Mandailing, mereka ingin menjadikannya bagian dari budaya Malaysia, jadi fairlah,” ujar Usman menjelaskan kepada wartawan, Senin 18 Juni 2012.
Usman menilai pemerintah tidak bisa menghentikan seseorang atau sekelompok tertentu melakukan kegiatan adat istiadat dan kebiasaan budayanya, karena itu melanggar hak asasi manusia (HAM). Pelarangan itu juga akan sia-sia karena suatu saat pasti muncul lagi. Sama halnya dengan kebudayaan Tionghoa yang dilarang pemerintah di zaman orde baru. Meski ada orang yang ditahan namun kebudayaan itu tetap tumbuh dan kini menjadi bagian dari budaya nasional.
“Kalau kita tidak ingin ada klaim harus mengukuhkannya di sini (Indonesia), dipatenkan ke PBB dan Unesco. Kita harus melihat persoalan secara proporsional. Kalau kita tidak terlebih dulu mengkukuhkannya, maka jangan salahkan kalau orang lain jika melakukan itu,” ungkap Usman.
Sebelumnya diberitakan media Bernama.com, Menteri Informasi, Komunikasi, dan Kebudayaan Datuk Seri Dr RaisYatim mengatakan, tarian Tor-Tor dan alat musik Godang Sambilan akan didaftarkan dalam Seksyen 67 sebagai Akta Warisan Kebangsaan 2005. Pendaftaran ini atas usulan dari komunitas Mandailing yang sudah menjadi warga negara Malaysia.
Sejarawan Universitas Sumatera Utara Flores Tanjung menilai, budaya tarian Tor-Tor itu tidak perlu dipersoalkan. Sebab, pada prinsipnya itu dilakukan warga Malaysia keturunan Mandailing yang ingin melestarikan budaya neneng moyangnya.
”Sekali pun identitasnya orang Malaysia, tapi karakternya masih tetap Mandailing,” ujarnya saat ditemui usai diskusi budaya Batak Mandailing Tor-Tor di Taman Budaya, Medan.
Dia mengatakan, komunitas Mandailing telah belasan tahun tinggal di kawasan Kampar Perak, salah satu provinsi di Malaysia. Dari situ sudah bertambah 60 persen populasi pribumi Indonesia di Malaysia. Sejatinya, sudah berulang kali aksesoris budaya Indonesia ”dipermainkan” oleh Malaysia. Namun, hal itu tidak membuat pemerintah sigap dengan mempatenkan budaya tersebut.
“Kita selalu kebakaran jenggot setelah orang lain mengambil budaya kita. Sebelum itu terjadi apa pernah berpikir untuk menjaga budaya kita?” ucap sejarawan Universitas Negeri Medan Erond Damanik. Lebih parahnya lagi,selama ini tarian Tor-Tor dan Gordang Sambilan di Indonesia hanya digunakan dalam kegiatan tertentu, seperti pernikahan dan kematian.Tidak pernah dijadikan sebagai daya tarik wisata nasional.
“Jadi jangan salahkan juga kalau kesenian dan budaya ini jadi daya tarik destinasi wisata Malaysia,” pungkasnya.
Lantas dari mana sebenarnya asal mula Tor-Tor dan Gordang Sambilan? Erond belum memiliki referensi seputar hal itu,baik dari buku maupun kajian penelitian yang menjelaskan waktu keduanya diperkenalkan. Namun, Erond menyakini kedua kesenian ini sudah mengiringi setiap kegiatan warga Tapanuli di Indonesia sejak lama. Pendiri Sanggar Seni Budaya Marojahan Mateus Su-warsono menyatakan, dari segi historis, sebelum Malaysia merdeka, sudah banyak warga Sumut yang bermukim di Malaysia, terutama masyarakat Tapsel. Bisa jadi mereka ingin budaya Tor-Tor tetap lestari ditengah budaya-budaya Negeri Jiran.
“Mereka sudah lama berada di Malaysia.Bisa jadi mereka ingin ekspresi seni itu menjadi warisan budaya di sana dan secara hukum di Malaysia itu sah saja,”ucap Suwarsono.
Dia melihat persoalan ini berbeda dengan kasus klaim Malaysia sebelumnya terhadap lagu Rasa Sayange dan Reog Ponorogo. Karena klaim Malaysia terhadap Tor-Tor dan Gordang Sambilan masih menyebutkan asal dari kesenian itu, yakni Tapsel.
“Kalau saya melihat, mereka di sini masih fair, beda kasusnya dengan lagu Rasa Sayange yang langsung diklaim hak intelektual Malaysia,” ucapnya.
Masalah ini sebenarnya sama dengan kesenian asal Thailand, yakni Makyong yang sangat terkenal di Kepri dan Riau. Atau pun kesenian asal Suriname yang terkenal di Jawa. Kondisi ini terjadi karena mereka memiliki budaya asal ketika merantau dan rindu suatu saat rindu dengan kebudayaan asalnya itu. Inilah yang terjadi pada warga Tapsel di Malaysia saat ini. Begitupun, dia meminta agar pemerintah bisa melakukan politik kebudayaan terhadap aset budaya yang ada di Indonesia.
“Kalau akhirnya Malaysia mempatenkan Tor-Tor dan Gordang Sambilan, tentu pemerintah harus mampu mendaftarkan itu juga sebagai milik Indonesia. Di sinilah dituntut pertarungan intelektual,” paparnya.
Permasalahan ini juga harus menjadi momentum introspeksi bagi pemerintah Indonesia. Karena selama ini pemerintah cenderung tidak peduli dengan kebudayaan.Pemerintah baru kebakaran jenggot ketika negara lain mengklaim.
“Harusnya kita introspeksi diri. Malaysia begitu getol untuk mengelola kearifan lokal budaya, termasuk budaya serumpun, tapi kita tidak,budaya sendiri juga tidak dipedulikan,” paparnya.
Sementara itu, budayawan Sumut Thompson HS menjamin bahwa Tor-Tor dan Gordang Sambilan merupakan kebudayaan asli Indonesia, khususnya Sumut. Akar budaya kesenian ini dimulai sejak berdirinya komunal-komunal di antara suku di Indonesia, terutama di Batak Toba, dan Mandailing.
”Tor-Tor dan Gordang Sambilan itu biasanya digunakan dalam kegiatan-kegiatan upacara. Tor-Tor itu satu paket dengan Gordang Sambilan dan tidak bisa dipisahkan,”kata Direktur Artistik Pusat Latihan Opera Batak (Plot) ini. Biasanya, kata dia, Tor-Tor dan Gordang Sambilan digunakan untuk upacara penyembahan terhadap leluhur maupun pesta raja-raja.Namun,dalam konteks pemerintah saat ini,Tor-Tor dan Gordang Sambilan biasanya digunakan untuk menerima tamu. Thompson menyebutkan, akar budaya Tor-Tor dan Gordang Sambilan sangat kuat bagi masyarakat Indonesia.
Namun karena terjadinya pergeseran pengaruh, lambat laun konteks Tor-Tor dan Gordang Sambilan menjadi ikon pariwisata. Masyarakat Mandailing dan China, kata dia, telah membangun pertambangan timah di Malaysia, tepatnya di Selangor dan Perlak pada tahun 1830-an.
“Mereka yang sudah lama berdomisili di sana tentunya rindu akan simbol-simbol budaya asal, sehingga mereka ingin memasukkan Tor-Tor dan Gordang Sambilan ini dalam akta warisan negara Malaysia,” tandasnya.
“Ini memang masih rencana, tapi kalau sudah terjadi berarti pemerintah Indonesia lagi-lagi gagal dalam memproteksi kebudayaannya,” sambungnya.
Pemerintah Indonesia seharusnya mampu melakukan proteksi terhadap kebudayaan asli Indonesia. Apalagi, komunitas Mandailing di Malaysia sudah mengakui bahwa Tor-Tor dan Gordang Sambilan merupakan budaya asli Indonesia. Di sisi lain, sejumlah aktivis seni dan budaya berkumpul di Taman Budaya Medan membahas klaim Malaysia ini dengan menggelar diskusi budaya.
Aksi juga dilakukan puluhan siswa SMA Negeri 3 Medan yang menggelar aksi protes terhadap klaim kebudayaan Malaysia tersebut dengan membentangkan poster penolakan dan menggelar aksi teaterikal.(azh)
Antropolog Sumatera Utara (Sumut) Usman Pelly juga meminta semua pihak untuk menanggapi secara proporsional tentang kabar tersebut. Dia menilai akar persoalan ini sebenarnya berawal dari keinginan sekelompok warga Malaysia keturunan Mandailing yang ingin menjadikan Tor-Tor dan Gordang Sambilan sebagai bagian dari budaya mereka.
“Karena kecintaannya terhadap budaya Mandailing, mereka ingin menjadikannya bagian dari budaya Malaysia, jadi fairlah,” ujar Usman menjelaskan kepada wartawan, Senin 18 Juni 2012.
Usman menilai pemerintah tidak bisa menghentikan seseorang atau sekelompok tertentu melakukan kegiatan adat istiadat dan kebiasaan budayanya, karena itu melanggar hak asasi manusia (HAM). Pelarangan itu juga akan sia-sia karena suatu saat pasti muncul lagi. Sama halnya dengan kebudayaan Tionghoa yang dilarang pemerintah di zaman orde baru. Meski ada orang yang ditahan namun kebudayaan itu tetap tumbuh dan kini menjadi bagian dari budaya nasional.
“Kalau kita tidak ingin ada klaim harus mengukuhkannya di sini (Indonesia), dipatenkan ke PBB dan Unesco. Kita harus melihat persoalan secara proporsional. Kalau kita tidak terlebih dulu mengkukuhkannya, maka jangan salahkan kalau orang lain jika melakukan itu,” ungkap Usman.
Sebelumnya diberitakan media Bernama.com, Menteri Informasi, Komunikasi, dan Kebudayaan Datuk Seri Dr RaisYatim mengatakan, tarian Tor-Tor dan alat musik Godang Sambilan akan didaftarkan dalam Seksyen 67 sebagai Akta Warisan Kebangsaan 2005. Pendaftaran ini atas usulan dari komunitas Mandailing yang sudah menjadi warga negara Malaysia.
Sejarawan Universitas Sumatera Utara Flores Tanjung menilai, budaya tarian Tor-Tor itu tidak perlu dipersoalkan. Sebab, pada prinsipnya itu dilakukan warga Malaysia keturunan Mandailing yang ingin melestarikan budaya neneng moyangnya.
”Sekali pun identitasnya orang Malaysia, tapi karakternya masih tetap Mandailing,” ujarnya saat ditemui usai diskusi budaya Batak Mandailing Tor-Tor di Taman Budaya, Medan.
Dia mengatakan, komunitas Mandailing telah belasan tahun tinggal di kawasan Kampar Perak, salah satu provinsi di Malaysia. Dari situ sudah bertambah 60 persen populasi pribumi Indonesia di Malaysia. Sejatinya, sudah berulang kali aksesoris budaya Indonesia ”dipermainkan” oleh Malaysia. Namun, hal itu tidak membuat pemerintah sigap dengan mempatenkan budaya tersebut.
“Kita selalu kebakaran jenggot setelah orang lain mengambil budaya kita. Sebelum itu terjadi apa pernah berpikir untuk menjaga budaya kita?” ucap sejarawan Universitas Negeri Medan Erond Damanik. Lebih parahnya lagi,selama ini tarian Tor-Tor dan Gordang Sambilan di Indonesia hanya digunakan dalam kegiatan tertentu, seperti pernikahan dan kematian.Tidak pernah dijadikan sebagai daya tarik wisata nasional.
“Jadi jangan salahkan juga kalau kesenian dan budaya ini jadi daya tarik destinasi wisata Malaysia,” pungkasnya.
Lantas dari mana sebenarnya asal mula Tor-Tor dan Gordang Sambilan? Erond belum memiliki referensi seputar hal itu,baik dari buku maupun kajian penelitian yang menjelaskan waktu keduanya diperkenalkan. Namun, Erond menyakini kedua kesenian ini sudah mengiringi setiap kegiatan warga Tapanuli di Indonesia sejak lama. Pendiri Sanggar Seni Budaya Marojahan Mateus Su-warsono menyatakan, dari segi historis, sebelum Malaysia merdeka, sudah banyak warga Sumut yang bermukim di Malaysia, terutama masyarakat Tapsel. Bisa jadi mereka ingin budaya Tor-Tor tetap lestari ditengah budaya-budaya Negeri Jiran.
“Mereka sudah lama berada di Malaysia.Bisa jadi mereka ingin ekspresi seni itu menjadi warisan budaya di sana dan secara hukum di Malaysia itu sah saja,”ucap Suwarsono.
Dia melihat persoalan ini berbeda dengan kasus klaim Malaysia sebelumnya terhadap lagu Rasa Sayange dan Reog Ponorogo. Karena klaim Malaysia terhadap Tor-Tor dan Gordang Sambilan masih menyebutkan asal dari kesenian itu, yakni Tapsel.
“Kalau saya melihat, mereka di sini masih fair, beda kasusnya dengan lagu Rasa Sayange yang langsung diklaim hak intelektual Malaysia,” ucapnya.
Masalah ini sebenarnya sama dengan kesenian asal Thailand, yakni Makyong yang sangat terkenal di Kepri dan Riau. Atau pun kesenian asal Suriname yang terkenal di Jawa. Kondisi ini terjadi karena mereka memiliki budaya asal ketika merantau dan rindu suatu saat rindu dengan kebudayaan asalnya itu. Inilah yang terjadi pada warga Tapsel di Malaysia saat ini. Begitupun, dia meminta agar pemerintah bisa melakukan politik kebudayaan terhadap aset budaya yang ada di Indonesia.
“Kalau akhirnya Malaysia mempatenkan Tor-Tor dan Gordang Sambilan, tentu pemerintah harus mampu mendaftarkan itu juga sebagai milik Indonesia. Di sinilah dituntut pertarungan intelektual,” paparnya.
Permasalahan ini juga harus menjadi momentum introspeksi bagi pemerintah Indonesia. Karena selama ini pemerintah cenderung tidak peduli dengan kebudayaan.Pemerintah baru kebakaran jenggot ketika negara lain mengklaim.
“Harusnya kita introspeksi diri. Malaysia begitu getol untuk mengelola kearifan lokal budaya, termasuk budaya serumpun, tapi kita tidak,budaya sendiri juga tidak dipedulikan,” paparnya.
Sementara itu, budayawan Sumut Thompson HS menjamin bahwa Tor-Tor dan Gordang Sambilan merupakan kebudayaan asli Indonesia, khususnya Sumut. Akar budaya kesenian ini dimulai sejak berdirinya komunal-komunal di antara suku di Indonesia, terutama di Batak Toba, dan Mandailing.
”Tor-Tor dan Gordang Sambilan itu biasanya digunakan dalam kegiatan-kegiatan upacara. Tor-Tor itu satu paket dengan Gordang Sambilan dan tidak bisa dipisahkan,”kata Direktur Artistik Pusat Latihan Opera Batak (Plot) ini. Biasanya, kata dia, Tor-Tor dan Gordang Sambilan digunakan untuk upacara penyembahan terhadap leluhur maupun pesta raja-raja.Namun,dalam konteks pemerintah saat ini,Tor-Tor dan Gordang Sambilan biasanya digunakan untuk menerima tamu. Thompson menyebutkan, akar budaya Tor-Tor dan Gordang Sambilan sangat kuat bagi masyarakat Indonesia.
Namun karena terjadinya pergeseran pengaruh, lambat laun konteks Tor-Tor dan Gordang Sambilan menjadi ikon pariwisata. Masyarakat Mandailing dan China, kata dia, telah membangun pertambangan timah di Malaysia, tepatnya di Selangor dan Perlak pada tahun 1830-an.
“Mereka yang sudah lama berdomisili di sana tentunya rindu akan simbol-simbol budaya asal, sehingga mereka ingin memasukkan Tor-Tor dan Gordang Sambilan ini dalam akta warisan negara Malaysia,” tandasnya.
“Ini memang masih rencana, tapi kalau sudah terjadi berarti pemerintah Indonesia lagi-lagi gagal dalam memproteksi kebudayaannya,” sambungnya.
Pemerintah Indonesia seharusnya mampu melakukan proteksi terhadap kebudayaan asli Indonesia. Apalagi, komunitas Mandailing di Malaysia sudah mengakui bahwa Tor-Tor dan Gordang Sambilan merupakan budaya asli Indonesia. Di sisi lain, sejumlah aktivis seni dan budaya berkumpul di Taman Budaya Medan membahas klaim Malaysia ini dengan menggelar diskusi budaya.
Aksi juga dilakukan puluhan siswa SMA Negeri 3 Medan yang menggelar aksi protes terhadap klaim kebudayaan Malaysia tersebut dengan membentangkan poster penolakan dan menggelar aksi teaterikal.(azh)
()