KH Muslim Rifa'i Imam Puro (Mbah Lim) wafat
A
A
A
Sindonews.com - Innaalillaahi wa innaailaihi rojiuun. Kiai karismatik KH Muslim Rifa'i Imam Puro atau yang akrab disapa Mbah Lim, kemarin telah tutup usia. Kiai nyentrik yang dikenal nasionalis ini wafat dalam usia 91 tahun di Rumah Sakit Islam (RSI) Klaten sekitar pukul 05.00 WIB.
Pemakaman Mbah Lim dilangsungkan tadi malam pukul 20.00 WIB di Joglo Perdamaian Umat Manusia Seluruh Dunia, Kompleks Makam Hastana Giri Mulyo, Sumberejo Wangi, Troso, Karanganom, Klaten yang berjarak sekitar 100 meter dari kediamannya.
Pemakaman sengaja dilangsungkan pukul 20.00 WIB untuk memberi kesempatan kepada para santri Mbah Lim yang tersebar di seluruh pelosok Tanah Air datang dan memberikan penghormatan terakhir kepada orang yang mereka anggap sebagai imam.
Menurut keterangan anggota keluarga, Mbah Lim tidak menderita sakit apapun. Kondisi tubuhnya sehat termasuk saat dokter melakukan check up pada Senin lalu.
Mbah Lim sempat dibawa ke RSI dan menjalani rawat inap karena sesak napas. ”Hari (Kamis) ini sebenarnya diizinkan dokter untuk pulang, tetapi sebelum pulang ternyata sudah meninggal,” kata Saifudin Zuhri Moeslim, putra ketiga Mbah Lim.
Dia mengungkapkan bahwa empat hari sebelum meninggal, Mbah Lim sempat menulis surat wasiat terkait kematiannya. Dia meminta agar jenazahnya dipikul oleh anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) baik dari rumah menuju masjid untuk disalatkan dan dari masjid menuju pemakaman.
Mbah Lim juga meminta untuk diiringi dengan pembacaan salawat nabi dengan tabuhan rebana. ”Abah juga minta dimaafkan apabila semasa hidupnya telah berbuat salah dan meminta supaya didoakan khusnul khotimah,” katanya.
Pada bulan-bulan terakhir, ungkap Saifudin, Mbah Lim memang sudah mengurangi kegiatannya bepergian untuk berdakwah. Dan dua bulan terakhir, Mbah Lim bahkan sudah tidak mau bepergian.
”Padahal biasanya aktif sekali, ke Jakarta, ke Surabaya, dan ke banyak tempat lain yang mengundangnya untuk berdakwah,” ujar Saifudin.
Bahkan selama dua bulan terakhir itu, Mbah Lim juga selalu menyampaikan pesan kepada putra-putrinya. Di hadapan 8 orang putra-putrinya, Mbah Lim berpesan agar mereka tetap rukun, kompak dan meneruskan semua yang telah diajarkan oleh Mbah Lim termasuk meneruskan Yayasan Al-Muttaqien Pancasila Sakti.
Sementara itu, semasa hidup, Mbah Lim dikenal dekat dengan para pejabat tinggi negara terutama pada zaman orde baru. Kedekatannya dengan para pejabat dimulai sekitar 1960-1965.
Bertepatan dengan munculnya gerakan G 30 S/PKI terdapat organisasi seperti KAPI (Kesatuan Aksi Pemuda Indonesia), KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia), KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), dan KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia), Mbah Lim mendirikan KAWI (Kesatuan Aksi Waliullah Indonesia).
Pada tahun 1967, Mbah Lim yang sempat bekerja sebagai Pegawai PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api) ini mendirikan Pondok Pesantren Al-Muttaqien di Dukuh Sumberejo Wangi, Desa Troso, Kecamatan Karanganom, Klaten. Bersama istrinya, (almarhmah) Hj Ummu As'adah, Mbah Lim berdakwah.
Sejumlah tokoh mengaku merasa sangat kehilangan dengan meninggalnya Mbah Lim. ”Beliau merupakan sosok yang sederhana dengan kharisma tidak sederhana,” ujar Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah M Adnan.
Bupati Klaten Sunarna menyebut, Mbah Lim merupakan tokoh kiai yang nasionalis. Menurut Sunarna, dengan wafatnya Mbah Lim, masyarakat merasa kehilangan seorang tokoh atau salah satu kiai besar di wilayah Klaten.
”Mbah Lim ini, kiai yang nasionalis karena setiap ada kegiatan-kegiatan di ponpes selalu diawali menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya,” katanya. KH Jazuli Khasmani, anak menantu Mbah Lim mengemukakan, tamu yang hadir melayat di rumah duka, ribuan orang.
”Ponpes Al-Musttaqien Pancasila Sakti di Klaten ini, salah satu pesantren tertua di Indonesia yang memiliki sekitar 2.500 anggota pengasuh ponpes di Jateng dan DIY,” katanya.
Pengasuh Ponpes Tebuireng, Jombang,Jawa Timur KH Sholahudin Wahid juga mengungkapkan rasa kehilangan atas wafatnya Mbah Lim. Dalam akun twitter nya @Gus_Sholah mengaku terakhir bertemu dengan Mbah Lim pada Maret 2010 di Muktamar NU di Makassar.
”Kita kehilangan,” tulisnya. Selain itu, Gus Sholah juga menyebut Mbah Lim merupakan sosok yang unik. Dia mengaku dalam sebuah pertemuan di tahun 1987, Mbah Lim berujar bahwa dirinya akan menjadi kiai di Tebu Ireng.
”Tahun 2006 saya diminta Pak Ud (almarhum KH Yusuf Hasyim) untuk menggantikan beliau di Tebuireng,” sebutnya.(lin)
Pemakaman Mbah Lim dilangsungkan tadi malam pukul 20.00 WIB di Joglo Perdamaian Umat Manusia Seluruh Dunia, Kompleks Makam Hastana Giri Mulyo, Sumberejo Wangi, Troso, Karanganom, Klaten yang berjarak sekitar 100 meter dari kediamannya.
Pemakaman sengaja dilangsungkan pukul 20.00 WIB untuk memberi kesempatan kepada para santri Mbah Lim yang tersebar di seluruh pelosok Tanah Air datang dan memberikan penghormatan terakhir kepada orang yang mereka anggap sebagai imam.
Menurut keterangan anggota keluarga, Mbah Lim tidak menderita sakit apapun. Kondisi tubuhnya sehat termasuk saat dokter melakukan check up pada Senin lalu.
Mbah Lim sempat dibawa ke RSI dan menjalani rawat inap karena sesak napas. ”Hari (Kamis) ini sebenarnya diizinkan dokter untuk pulang, tetapi sebelum pulang ternyata sudah meninggal,” kata Saifudin Zuhri Moeslim, putra ketiga Mbah Lim.
Dia mengungkapkan bahwa empat hari sebelum meninggal, Mbah Lim sempat menulis surat wasiat terkait kematiannya. Dia meminta agar jenazahnya dipikul oleh anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) baik dari rumah menuju masjid untuk disalatkan dan dari masjid menuju pemakaman.
Mbah Lim juga meminta untuk diiringi dengan pembacaan salawat nabi dengan tabuhan rebana. ”Abah juga minta dimaafkan apabila semasa hidupnya telah berbuat salah dan meminta supaya didoakan khusnul khotimah,” katanya.
Pada bulan-bulan terakhir, ungkap Saifudin, Mbah Lim memang sudah mengurangi kegiatannya bepergian untuk berdakwah. Dan dua bulan terakhir, Mbah Lim bahkan sudah tidak mau bepergian.
”Padahal biasanya aktif sekali, ke Jakarta, ke Surabaya, dan ke banyak tempat lain yang mengundangnya untuk berdakwah,” ujar Saifudin.
Bahkan selama dua bulan terakhir itu, Mbah Lim juga selalu menyampaikan pesan kepada putra-putrinya. Di hadapan 8 orang putra-putrinya, Mbah Lim berpesan agar mereka tetap rukun, kompak dan meneruskan semua yang telah diajarkan oleh Mbah Lim termasuk meneruskan Yayasan Al-Muttaqien Pancasila Sakti.
Sementara itu, semasa hidup, Mbah Lim dikenal dekat dengan para pejabat tinggi negara terutama pada zaman orde baru. Kedekatannya dengan para pejabat dimulai sekitar 1960-1965.
Bertepatan dengan munculnya gerakan G 30 S/PKI terdapat organisasi seperti KAPI (Kesatuan Aksi Pemuda Indonesia), KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia), KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), dan KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia), Mbah Lim mendirikan KAWI (Kesatuan Aksi Waliullah Indonesia).
Pada tahun 1967, Mbah Lim yang sempat bekerja sebagai Pegawai PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api) ini mendirikan Pondok Pesantren Al-Muttaqien di Dukuh Sumberejo Wangi, Desa Troso, Kecamatan Karanganom, Klaten. Bersama istrinya, (almarhmah) Hj Ummu As'adah, Mbah Lim berdakwah.
Sejumlah tokoh mengaku merasa sangat kehilangan dengan meninggalnya Mbah Lim. ”Beliau merupakan sosok yang sederhana dengan kharisma tidak sederhana,” ujar Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah M Adnan.
Bupati Klaten Sunarna menyebut, Mbah Lim merupakan tokoh kiai yang nasionalis. Menurut Sunarna, dengan wafatnya Mbah Lim, masyarakat merasa kehilangan seorang tokoh atau salah satu kiai besar di wilayah Klaten.
”Mbah Lim ini, kiai yang nasionalis karena setiap ada kegiatan-kegiatan di ponpes selalu diawali menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya,” katanya. KH Jazuli Khasmani, anak menantu Mbah Lim mengemukakan, tamu yang hadir melayat di rumah duka, ribuan orang.
”Ponpes Al-Musttaqien Pancasila Sakti di Klaten ini, salah satu pesantren tertua di Indonesia yang memiliki sekitar 2.500 anggota pengasuh ponpes di Jateng dan DIY,” katanya.
Pengasuh Ponpes Tebuireng, Jombang,Jawa Timur KH Sholahudin Wahid juga mengungkapkan rasa kehilangan atas wafatnya Mbah Lim. Dalam akun twitter nya @Gus_Sholah mengaku terakhir bertemu dengan Mbah Lim pada Maret 2010 di Muktamar NU di Makassar.
”Kita kehilangan,” tulisnya. Selain itu, Gus Sholah juga menyebut Mbah Lim merupakan sosok yang unik. Dia mengaku dalam sebuah pertemuan di tahun 1987, Mbah Lim berujar bahwa dirinya akan menjadi kiai di Tebu Ireng.
”Tahun 2006 saya diminta Pak Ud (almarhum KH Yusuf Hasyim) untuk menggantikan beliau di Tebuireng,” sebutnya.(lin)
()