Hukum adat, pasangan selingkuh dihanyutkan ke laut
A
A
A
Sindonews.com - Pasangan selingkuh, warga Desa Sumare, Kecamatan Simboro, Mamuju, harus menerima hukum adat. Mereka dihanyutkan ke laut, setelah sebelumnya diselesaikan secara hukum adat.
Tidak ada satupun warga setempat yang berani angkat bicara soal prosesi hukum adat ini. Namun dari pantauan di lapangan, pasangan selingkuh yang disebut-sebut Su dan Ud itu diketahui telah melanggar tatanan sosial dan hukum adat masyarakat setempat.
Ud adalah istri dari adik kandung Su. Keduanya ketahuan berselingkuh setelah Ud dipastikan hamil delapan bulan. Banyak rumor yang berkembang terkait perselingkuhan itu. Salah satunya disebabkan oleh suami Ud yang selalu lama melaut, sehingga membuka peluang perzinahan. Kekurangan ekonomi keluarga Ud menjadi penyebab lainnya.
Sekitar pukul 07.30 WITA kemarin, warga Desa Sumare sudah ramai di tepi pantai. Mereka menjadi saksi pelaksanaan hukuman oleh tetua adat.
Sebelum hukuman dilakukan Pemangku Adat, Umar G, dan beberapa tetua adat lainya menggelar ritual Tolak bala atau Tolak bala. Dalam bahasa Indonesia berarti semacam pembersihan kampung. Kemenyan dibakar dan doa-doa dipanjatkan.
Permohonan mereka adalah agar Desa Sumare tidak terkena azab. Selang beberapa saat kemudian, mereka menyembelih seekor kambing dan ayam jantan. Kemudian, sejumlah warga membuat rakit berukuran 1x1,5 meter berbahan gabus yang diikat sedemikian rupa dan dibawa ke tepi pantai.
Rakit inilah yang dipakai untuk menjalankan hukum adat pada Su dan Ud. Beberapa warga dilokasi saling berbisik. Mereka berpendapat bahwa hukum harus ditegakkan sebagai peringatan bagi warga lainnya. Atau bagi siapapun yang mencoba-coba melanggar norma sosial di Sumare.
Prosesi selanjutnya cukup membuat bulu kuduk berdiri. Warga dan tokoh adat menjemput pasangan mesum itu di rumah masing-masing. Tanpa ada perlawanan dari suami atau istri dan anak-anak mereka, keduanya digiring ke pantai. Dengan muka tertunduk, Su dan Ud langsung menuju rakit.
Pakaian mereka seadanya saja. Seperti yang dikenakan sehari-hari. Sejenak Su dan Ud menengok ke darat. Menatap keluarga masing-masing dan perlahan menaiki rakit. Ud tidak mampu menahan tangisnya. Sementara Su pucat dan sesekali menghela nafas.
Riak gelombang langsung menyambut keduanya dan membasah sarung yang dikenakan. Salah seorang tokoh adat memegangi rakit agar tidak segera hanyut. Sebab masih ada satu prosesi lagi yang harus dilakukan.
Dari balik kerumunan warga, seorang tokoh adat muncul. Dengan menggenggam gunting, dia menghampiri Su dan Ud yang sudah duduk di atas rakit. Pertama, dia mengelus rambut Ud. Kemudian menggunting beberapa helai rambut. Hal serupa dilakukan pada Su. Setelah berdoa, rakit didorong ke laut.
Sekitar beberapa saat rakit diterpa ombak kecil. Su dan Ud nampak bergegas melepas sarung dan baju, kemudian dilemparkannya ke laut. Ada warga yang berpendapat bahwa keduanya berusaha mengurangi beban rakit. Namun salah seorang tokoh adat mengatakan, mereka melakukan ritual membuang 'kotoran'.
Seluruh mata warga Sumare tertuju ke rakit. Dan tiba-tiba seorang tokoh adat berdiri. Dengan suara lantang dia mempersilahkan warga yang ingin menyelamatkan Su dan Ud. Tidak cukup satu detik, seorang warga langsung terjun ke laut dan menarik rakit itu ke tepi pantai.
Su dan Ud lesu, tidak berkata-kata saat menjejakkan kakinya kembali ke daratan. Sementara itu, suara riuh cemoohan dari warga memenuhi pantai Sumare.
Pesan penting dari prosesi ini bukan pada bentuk hukumannya. Tapi lebih kepada menghargai norma sosial dan agama. Seperti Su dan Ud yang harus menanggung malu dan takut luar biasa.
Ketua Dewan Kebudayaan Mandar, Adi Arwan Alimin menuturkan, bahwa hukum adat adalah bagian dari kearifan lokal yang dihormati secara turun temurun. Bentuk hukum adat ini bisa berbeda dengan daerah lain di Indonesia.
"Yang terjadi di Desa Sumare kemarin itu adalah bentuk dari kearifan lokal yang kita tahu hari ini sebagai hukum adat. Itu menjadi konsesi masyarakat, dihargai dan dijunjung tinggi. Saya kira itu tidak melawan hukum negara, seperti hukum pidana. Sebab bentuk hukum adat itu disepakati dan diterima masyarakatnya," kata Adi.
Hal demikian itu tumbuh dan lahir dari konsesi masyarakat. Siapapun diantara mereka pasti menerima resikonya. Menurut Adi, yang terjadi di Desa Sumare itu hanya perspektif budaya. Tidak ada sangkut pautnya dengan hukum negara.
Diakui, hukum negara dapat menyentuh semua elemen. Namun disebuah komunitas tertentu ada yang dikenal sebagai aturan adat dan tidak tercantum dalam butir-butir yang diatur oleh hukum negara.
"Saya kira itu wajar dan bisa terjadi dimana saja. Seperti di Nagroe Aceh Darussalam ada hukum rajam. Itu disepakati sebagai Perda. Di Mandar pun demikian. Ada hukum denda sapi atau kerbau jika terbukti bersalah. Atau seseorang diusir dari kampung. Itu bagian dari hukum adat," katanya.
Pada zaman dulu, pelaku perzinahan, pembunuhan dan pencurian benar-benar dihukum mati secara adat. Dikisahkan, pada saat zaman kerajaan Balanipa di tanah Mandar, ada seorang anak Paqbicara (pejabat penting kerajaan) yang dihukum mati karena terbukti membunuh warga tidak bersalah.
Disebutkan Adi, seorang raja pun dapat dibunuh jika terbukti bersalah. Sekedar diketahui, seorang raja di Mandar tidak ditentukan oleh keturunan. Tapi dipilih berdasarkan kemampuan yang dimiliki dan dinilai bermanfaat.
"Itulah yang melatarbelakangi almarhum Baharuddin Lopa sangat konsisten pada penegakan hukum. Karena dia melihat ada contoh bahwa seorang anak pejabat pun dihukum, jika terbukti bersalah," katanya.
Penggiat Budaya Mandar, Ridwan Alimuddin mengatakan, hukum adat yang terjadi di Desa Sumare masuk kategori pranata sosial. Salah satu bagian dari unsur kebudayaan. Masih berlaku sampai saat ini, sebab dari segi sosial bisa memberi efek jera pada pelaku dan masyarakat secara luas.
"Disisi lain, secara hukum tidak bertentangan dengan hukum nasional atau negara. Dengan kata lain, yang dilakukan masyarakat Desa Sumare itu tidak merugikan secara fisik si pelaku. Beda bila sanksi sosial itu melukai atau bisa menyebabkan nyawa melayang," tutur Ridwan.
Menurutnya, pranata atau hukum adat tetap bisa disentuh oleh hukum negara. Seperti konsep Siriq. Dari segi sosial, yang merasa menjadi korban atas sebuah siriq 'dibenarkan' untuk melakukan pembalasan.
"Misalnya jika seorang anak gadis diperkosa, dia dibolehkan membunuh pemerkosa. Dari segi hukum negara, itu tidak dibenarkan. Kalau pembalasan itu dilakukan, tentu akan dijerat hukum. Ini buktinya hukum masih bisa menyentuh hukum adat," katanya.
Seperti di Desa Sumare. Jika tokoh adat tidak menolong Su dan Ud, maka mereka harus mempertanggungjawabkannya di pengadilan. Ridwan menilai, hukum adat itu hanya sebuah simbolik.
Sementara Sekda Mamuju Habsi Wahid mengatakan, hukum adat tetap harus dihargai dan tidak bisa disentuh oleh hukum nasional secara umum. Sebab itu merupakan budaya yang diwariskan secara turun temurun.
"Ini supaya ada efek jera. Memang dramatis, namun begitulah hukum adat di sini. Tidak butuh biaya besar, namun efek psikologinya sangat besar," katanya, kemarin.
Hukum adat di Desa Sumare merupakan salah satu bentuk prosesi hukuman yang ada di Mamuju. Masih banyak yang lain dan semua menimbulkan efek jera. "Namun sekarang lebih manusiawi. Hanya memberikan efek jera saja," kunci Habsi. (san)
Tidak ada satupun warga setempat yang berani angkat bicara soal prosesi hukum adat ini. Namun dari pantauan di lapangan, pasangan selingkuh yang disebut-sebut Su dan Ud itu diketahui telah melanggar tatanan sosial dan hukum adat masyarakat setempat.
Ud adalah istri dari adik kandung Su. Keduanya ketahuan berselingkuh setelah Ud dipastikan hamil delapan bulan. Banyak rumor yang berkembang terkait perselingkuhan itu. Salah satunya disebabkan oleh suami Ud yang selalu lama melaut, sehingga membuka peluang perzinahan. Kekurangan ekonomi keluarga Ud menjadi penyebab lainnya.
Sekitar pukul 07.30 WITA kemarin, warga Desa Sumare sudah ramai di tepi pantai. Mereka menjadi saksi pelaksanaan hukuman oleh tetua adat.
Sebelum hukuman dilakukan Pemangku Adat, Umar G, dan beberapa tetua adat lainya menggelar ritual Tolak bala atau Tolak bala. Dalam bahasa Indonesia berarti semacam pembersihan kampung. Kemenyan dibakar dan doa-doa dipanjatkan.
Permohonan mereka adalah agar Desa Sumare tidak terkena azab. Selang beberapa saat kemudian, mereka menyembelih seekor kambing dan ayam jantan. Kemudian, sejumlah warga membuat rakit berukuran 1x1,5 meter berbahan gabus yang diikat sedemikian rupa dan dibawa ke tepi pantai.
Rakit inilah yang dipakai untuk menjalankan hukum adat pada Su dan Ud. Beberapa warga dilokasi saling berbisik. Mereka berpendapat bahwa hukum harus ditegakkan sebagai peringatan bagi warga lainnya. Atau bagi siapapun yang mencoba-coba melanggar norma sosial di Sumare.
Prosesi selanjutnya cukup membuat bulu kuduk berdiri. Warga dan tokoh adat menjemput pasangan mesum itu di rumah masing-masing. Tanpa ada perlawanan dari suami atau istri dan anak-anak mereka, keduanya digiring ke pantai. Dengan muka tertunduk, Su dan Ud langsung menuju rakit.
Pakaian mereka seadanya saja. Seperti yang dikenakan sehari-hari. Sejenak Su dan Ud menengok ke darat. Menatap keluarga masing-masing dan perlahan menaiki rakit. Ud tidak mampu menahan tangisnya. Sementara Su pucat dan sesekali menghela nafas.
Riak gelombang langsung menyambut keduanya dan membasah sarung yang dikenakan. Salah seorang tokoh adat memegangi rakit agar tidak segera hanyut. Sebab masih ada satu prosesi lagi yang harus dilakukan.
Dari balik kerumunan warga, seorang tokoh adat muncul. Dengan menggenggam gunting, dia menghampiri Su dan Ud yang sudah duduk di atas rakit. Pertama, dia mengelus rambut Ud. Kemudian menggunting beberapa helai rambut. Hal serupa dilakukan pada Su. Setelah berdoa, rakit didorong ke laut.
Sekitar beberapa saat rakit diterpa ombak kecil. Su dan Ud nampak bergegas melepas sarung dan baju, kemudian dilemparkannya ke laut. Ada warga yang berpendapat bahwa keduanya berusaha mengurangi beban rakit. Namun salah seorang tokoh adat mengatakan, mereka melakukan ritual membuang 'kotoran'.
Seluruh mata warga Sumare tertuju ke rakit. Dan tiba-tiba seorang tokoh adat berdiri. Dengan suara lantang dia mempersilahkan warga yang ingin menyelamatkan Su dan Ud. Tidak cukup satu detik, seorang warga langsung terjun ke laut dan menarik rakit itu ke tepi pantai.
Su dan Ud lesu, tidak berkata-kata saat menjejakkan kakinya kembali ke daratan. Sementara itu, suara riuh cemoohan dari warga memenuhi pantai Sumare.
Pesan penting dari prosesi ini bukan pada bentuk hukumannya. Tapi lebih kepada menghargai norma sosial dan agama. Seperti Su dan Ud yang harus menanggung malu dan takut luar biasa.
Ketua Dewan Kebudayaan Mandar, Adi Arwan Alimin menuturkan, bahwa hukum adat adalah bagian dari kearifan lokal yang dihormati secara turun temurun. Bentuk hukum adat ini bisa berbeda dengan daerah lain di Indonesia.
"Yang terjadi di Desa Sumare kemarin itu adalah bentuk dari kearifan lokal yang kita tahu hari ini sebagai hukum adat. Itu menjadi konsesi masyarakat, dihargai dan dijunjung tinggi. Saya kira itu tidak melawan hukum negara, seperti hukum pidana. Sebab bentuk hukum adat itu disepakati dan diterima masyarakatnya," kata Adi.
Hal demikian itu tumbuh dan lahir dari konsesi masyarakat. Siapapun diantara mereka pasti menerima resikonya. Menurut Adi, yang terjadi di Desa Sumare itu hanya perspektif budaya. Tidak ada sangkut pautnya dengan hukum negara.
Diakui, hukum negara dapat menyentuh semua elemen. Namun disebuah komunitas tertentu ada yang dikenal sebagai aturan adat dan tidak tercantum dalam butir-butir yang diatur oleh hukum negara.
"Saya kira itu wajar dan bisa terjadi dimana saja. Seperti di Nagroe Aceh Darussalam ada hukum rajam. Itu disepakati sebagai Perda. Di Mandar pun demikian. Ada hukum denda sapi atau kerbau jika terbukti bersalah. Atau seseorang diusir dari kampung. Itu bagian dari hukum adat," katanya.
Pada zaman dulu, pelaku perzinahan, pembunuhan dan pencurian benar-benar dihukum mati secara adat. Dikisahkan, pada saat zaman kerajaan Balanipa di tanah Mandar, ada seorang anak Paqbicara (pejabat penting kerajaan) yang dihukum mati karena terbukti membunuh warga tidak bersalah.
Disebutkan Adi, seorang raja pun dapat dibunuh jika terbukti bersalah. Sekedar diketahui, seorang raja di Mandar tidak ditentukan oleh keturunan. Tapi dipilih berdasarkan kemampuan yang dimiliki dan dinilai bermanfaat.
"Itulah yang melatarbelakangi almarhum Baharuddin Lopa sangat konsisten pada penegakan hukum. Karena dia melihat ada contoh bahwa seorang anak pejabat pun dihukum, jika terbukti bersalah," katanya.
Penggiat Budaya Mandar, Ridwan Alimuddin mengatakan, hukum adat yang terjadi di Desa Sumare masuk kategori pranata sosial. Salah satu bagian dari unsur kebudayaan. Masih berlaku sampai saat ini, sebab dari segi sosial bisa memberi efek jera pada pelaku dan masyarakat secara luas.
"Disisi lain, secara hukum tidak bertentangan dengan hukum nasional atau negara. Dengan kata lain, yang dilakukan masyarakat Desa Sumare itu tidak merugikan secara fisik si pelaku. Beda bila sanksi sosial itu melukai atau bisa menyebabkan nyawa melayang," tutur Ridwan.
Menurutnya, pranata atau hukum adat tetap bisa disentuh oleh hukum negara. Seperti konsep Siriq. Dari segi sosial, yang merasa menjadi korban atas sebuah siriq 'dibenarkan' untuk melakukan pembalasan.
"Misalnya jika seorang anak gadis diperkosa, dia dibolehkan membunuh pemerkosa. Dari segi hukum negara, itu tidak dibenarkan. Kalau pembalasan itu dilakukan, tentu akan dijerat hukum. Ini buktinya hukum masih bisa menyentuh hukum adat," katanya.
Seperti di Desa Sumare. Jika tokoh adat tidak menolong Su dan Ud, maka mereka harus mempertanggungjawabkannya di pengadilan. Ridwan menilai, hukum adat itu hanya sebuah simbolik.
Sementara Sekda Mamuju Habsi Wahid mengatakan, hukum adat tetap harus dihargai dan tidak bisa disentuh oleh hukum nasional secara umum. Sebab itu merupakan budaya yang diwariskan secara turun temurun.
"Ini supaya ada efek jera. Memang dramatis, namun begitulah hukum adat di sini. Tidak butuh biaya besar, namun efek psikologinya sangat besar," katanya, kemarin.
Hukum adat di Desa Sumare merupakan salah satu bentuk prosesi hukuman yang ada di Mamuju. Masih banyak yang lain dan semua menimbulkan efek jera. "Namun sekarang lebih manusiawi. Hanya memberikan efek jera saja," kunci Habsi. (san)
()