Menapaki Tradisi, Prospek Wisata dan Jati Diri

Rabu, 18 Maret 2020 - 15:54 WIB
Menapaki Tradisi, Prospek...
Menapaki Tradisi, Prospek Wisata dan Jati Diri
A A A
LEWOLEBA - Semangat dan komitmen membangun kabupaten Lembata dengan leading sektor pada pengembangan potensi wisata oleh Bupati Lembata Eliaser Yentji Sunur dan Wakil Bupati Thomas Ola terus digalakan.

Potensi-potensi wisata digali dan di promosikan ke luar daerah. Salah satu potensi wisata yang saat ini sedang digali adalah potensi wisata budaya yang berada di desa-desa tertentu yang khas dan unik. Salah satu prospek pengembangan wisata budaya tersebut adalah “Guti Nale” sebuah tradisi dalam masyarakat Desa Pasir Putih yang sakral. Oleh Pemerintah daerah Kabupaten Lembata tradisi ini kemudian menjadi event budaya tahunan daerah yakni “Festival Guti Nale”.

Bupati Lembata Eliaser Yentji Sunur mengatakan suatu daerah yang memiliki keindahan alam atau kekhasan budaya, suatu saat pasti akan bertumbuh dan terkenal. Bukan sekarang ini, karena bicara tentang pariwisata berjalan terus dalam rentang waktu yang panjang.

Pernyataan orang nomor 1 di Kabupaten Lembata ini terbaca sederhana, namun bermakna bahwa menjadikan suatu daerah terkenal apalagi sampai ke manca negara butuh waktu dan proses yang panjang. Dengan pemahaman lain bahwa daerah lain yang saat ini sudah terkenal, diawali dengan menggali dan memperkenalkan potensi budaya dan keaneragaman keindahan alam daerahnya puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu.

Dengan mempromosikan potensi alam Lembata yang indah keluar daerah dan menciptakan event festival budaya dan kebijakan ikutannya, cita-cita Pemerintah Daeerah di bawah nahkoda Bupati Eliaser Yentji Sunur dan Wakil Bupati Thomas Ola untuk menjadikan Kabupaten Lembata menjadi terkenal akan terwujud.

Salah satu event budaya daerah yang saat ini mulai dikenal masyarakat luas adalah “Festival Guti Nale” di kampung Mingar Desa Pasir Putih Kecamatan Nagawutung.

NALE DALAM KISAH
Nale binatang kecil seperti cacing berwarna hijiau kebiruan yang hanya muncul di Desa Pasir Putih (Kampung Mingar) pada musim hujan di Bulan Pebruari dan Maret. Binatang kecil itu tidak datang begitu saja namun ada cerita panjang tentang sejenis cacing yang disebut Nale. Cerita ini digali dari tokoh pemilik Nale Andreas Puri Kepala suku Ketupapa.

Ande Puri mengisahkan, "Saat nenek moyang masih tinggal di kampung lama yang kami sebut Lagadoni kedua leluhur kami Bapak Belake dan Bapak Geroda biasa datang melaut di Watan Raja ini. Mereka melihat ada makluk sejenis cacing-cacing yang berhamburan di laut. Warna cacing-cacing itu biru kehijauan sangat banyak sehingga tak terhitung jumlahnya," paparnya.

Ande melanjutkan bahwa kedua leluhur tersebut tertarik dengan cacing cacing itu. Pada suatu hari mereka mengambil dan mengisinya di tempurung kelapa dan membawa pulang ke Kampung Lama Mingar yakni Lagadoni.

Awalnya mereka memasaknya dan memberi makan pada anjing piaraan mereka dan uji coba kali ini anjingnya tidak mati. Saat mereka turun melaut lagi, mereka mengambil cacing tersebut dan kali ini mereka masak dan diberikan pada seorang nenek yang sudah tua. Mereka bermaksud jika cacing itu kalau beracun biar nenek mereka yang sudah tua itu menjadi korbannya. Namun setelah dimakan ternyata nenek tua mengakui bahwa barang yang dimakan itu terasa enak dan bahkan badannya terasa lebih sehat dan kuat. Rupanya uji coba yang dilakukan itu diketahui nenek moyang mereka di Dulin. (Dunia lain di bawah lautan).

Diceritakan Ande, ada Geroda dan Belake turun lagi ke Watan Raja untuk melaut. Pada saat mereka sedang berada di laut untuk melihat Blike (alat untuk menjebak ikan) tiba-tiba ada dua orang lelaki paru baya berpakaian hitam berenang dari laut ke arah mereka. Belake dan Geroda terkejut dan langsung bertanya “ kamu dari mana ? Apakah ada kapal yang tenggelam sehingga kamu terdampar ke sini ?” Kami datang dari Duli. Kami berenang ikut ikan yang sedang berenang bersama kami ini.

Ikan ikan ini milik kami. Nama ikan ikan itu Nale. Ikan itu bisa dimakan dan tidak beracun. Cerita kedua orang asing itu dan memperkenalkan nama mereka yakni Serona dan Serani. Oleh Geroda dan Belake kedua orang asing itu disuruh ke darat dan tunggu di atas pohon Peda (Pandan) dengan memegang Nale dalam tempurung kelapa.

Ande melanjutkan ceritanya, pada saat mereka sedang duduk di atas pohon Pandan (Peda) datanglah Blawa kepala Suku Kabelen dengan busur anak panah dan tombak di tangan serta anjing piaraan. Ia pergi berburu dan singgah sesaat di Pantai Watan Raja. Ia tersentak kaget ketika anjingnya bereaksi dengan menyalak nyalak sambil melihat ke atas pohon .

Ia pun segera siapkan busur anak panahnya karena ia berpikir pasti ada binatang buruan yang bersembunyi di atas pohon. Ia sangat terkejut ketika melihat ke atas pohon peda (pandan) ternyata ada 2 orang pria berpakaian hitam hitam duduk di dahan pohon peda sambil memegang binatang sejenis cacing dalam tempurung kelapa (gema keok). Blawa spontan bertanya,” siapa kamu?” Kami Serona dan Serani. Jawab kedua orang asing itu. “Dari mana Kalian”? Kami dari Duli. Jawab kedua orang asing itu lagi. “Untuk apa kamu ke sini“? Tanya Blawa. Penuh penasaran. Kami membawa ini untuk memberi makan semua orang di kampung. Ini namanya Nale binatang laut yang enak dimakan, lanjut kedua orang asing itu. Saat sedang bercakap cakap, datanglah bapak Geroda dan Belake pulang dari laut. Mereka bersama-sama menarik sampan (bero) dan bersama kedua orang asing itu pergi ke kampung Lagadoni (kampung lama orang mingar) sambil memegang Nale di dalam tempurung.

Ande terus menceritakan bahwa kedua orang asing itu hidup bersama dengan warga mingar sebagai petani bersama Bapak Geroda dan Belake, Serona dan Serani mulai memberitahukan bagaimana cara mengambil Nale. Mereka berpesan agar yang masuk ke laut ambil Nale hanya orang yang berbadan sehat, berpakaian adat. Orang yang menderita sakit kudis, kusta hanya tunggu dipinggir pantai menjaga bakul untuk kumpul Nale yang disebut Seneri. Mengambilnya harus dengan kedua tangan menggayung sambil memasukkan dalam wadah berupa sokal kecil.

Orang yang membawa pulang Nale tidak boleh digaek kakinya dari belakang, kalau tidak Nale akan berubah wujud menjadi air. Musim Nale pada Bulan Pebruari atau dalam bahasa adat Lili Nola dan pada bulan Maret dengan sebutan adat Fetem Kefaru Olot. Perhitungan berdasarkan bulan di cakrawala purnama ke-tujuh dan ke-delapan. Mereka juga menyampaikan bahwa Nale ada di Watan Raja namun gelombang sangat besar sehingga mereka pindahkan ke Barat yakni Benebong dan Watanlolong. Mereka juga berpesan bahwa malam kedua bulan Maret kepala Suku Ketupapa harus memberi makan.

Setelah hidup selama 3 tahun bersama masyarakat Mingar di Kampung Lama, pada suatu hari tanpa sengaja kedua orang asing yakni itu makan daging babi. Dengan makan daging babi tersebut mereka mengalami sakit kepala yang luar biasa dan pada akhirnya keduanya meninggal dunia. Sebelum meninggal mereka berpesan agar kepala keduanya di tudek (disimpan) di dalam gua dekat pantai yang saat ini disebut Duli Ulu.

NALE DALAM TRADISI MASYARAKAT MINGAR
Sabtu,15 Pebruari 2020 adalah Event Daerah Festival “Guti Nale”. Informasi Festival Guti Nale ini menggugah rasa ingin tahu setiap orang yang mendengarnya. Festival Guti Nale kali ini menjadi sangat spesial. Bupati Lembata Eliaser Yentji Sunur dan Ibu Yuni Damayanti, Wakil Bupati Lembata Thomas Ola dan ibu Maria Sadipun, Ketua DPRD Petrus Gero dan sejumlah Anggota DPRD, Pimpinan OPD dan ASN dari masing- masing OPD, Camat Nagawutung dan staf kecamatan serta masyarakat Desa Pasir Putih antusias mengikuti festival Nale.

Pukul 07.00 pagi iring iringan kendaraan yang menghantar Bapak Bupati dan rombongan tiba di Desa Pasir Putih. Anak-anak sekolah dan masyarakat Desa Pasir Putih telah siap dalam ritual penjemputan. Bupati Lembata diserahi temenaj (sokal kecil untuk menaru nale) langsung digantung dilehernya. Ditangannya menggenggam daun koli kering yang biasa digunakan untuk menyulu Nale. Dengan kelengkapan ini Bupati Lembata dan rombongan berarak menuju Duang Koker Nale.

Di saat semua orang sudah berada di gerbang Koker Nale, para tua adat dan saudari yang melayani seremoni berpakaian adat lengkap dengan barang sesajian memasuki lokasi. Wirelles Merk toa pun berbunyi, “Kami sampaikan bahwa yang namanya perempuan tidak diperkenankan masuk ke lokasi Koker Nale” suara lelaki tua itu terdengar tegas. Langkah kaki kaum hawapun berhenti sesaat setelah itu bergegas mengelilingi pagar untuk menyaksikan ritual memberi makan leluhur itu dari kejauhan. Bapak Bupati dan kaum lelaki bergegas mengikuti para tua adat menuju rumah Nale.

Suasana terasa hening, tak ada yang berbisik apalagi bergurau. Pemandu seremonial Rigo angkat bicara dengan menjelaskan, bahan-bahan yang digunakan dalam ritual yakni ayam betina berwarna hitam yang cara mematikannya dengan dipukul kepalanya dengan sebatang kayu. Setelah ayam mati dibelah dan diambil hatinya. Hati ayam kemudian dibakar dan diiris lalu dicampur dengan nasi dari beras hitam yang dimasak dengan periuk tanah. Ada Ume gengar (padi hitam yang dipanaskan sampai berbunga) Semua bahan itu kemudian diletakan di batu pusara diatas bale bale kecil yang di buat tinggi dibawah naungan atap daun kelapa jauh mendekati tanah dan tak terpotong ujungnya.

Bupati dan wakil diperkenankan masuk dan menyaksikan acara memberi makan kedua leluhur pemilik Nale tersebut yakni Serani dan Serona serta istri mereka Serupu dan Serepe yang dipercaya berada di Dulin sebuah alam di bawah laut.

Disaat meletakan bahan sesajian itu di atas batu pusara sang kepala suku bermantera “ Ama Serona Ama Serani, ina Serupu ina Serepe,...Pito lau buto ia, tunefikere bawaka ika juaka, jenau lauka, upula ia koker. Para ribu ratu kide knukak, kedak blurek” yang artinya “Bapak Serona dan Serani, mama Serupu dan Serepe, Bawalah ikan Nale datang. Kami anakmu besar kecil, tua muda, janda dan yatim piatu kelaparan. Hujan kadang turun kadang tidak, padi dan jagung yang ditanam tidak berhasil. Bawalah ikan Nale datang untuk memberi makan kami. Jika Nale tidak muncul di kaki tiang rumah adat ini berarti Nale masih dalam perjalanan, dan nanti malam Nale akan datang, kata sang dukun meyakinkan,".

Setelah selesai memberi makan di Koker Nale, para tua adat dan rombongan berarak menuju Duli Ulu yang berati Kepala Orang. Duli Ulu merupakan sebuah tempat dimana tersimpan kepala Serona dan Serani. Tengkorak kedua orang itu masih ada namun saat ini sebagian besar telah rusak termakan waktu. Di Dulu Ulu para tua adat memberi makan para leluhur dengan meletakan bahan sesajian di atas batu pusara didalam gua sambil mengucapkan mantra yang sama seperti di Koker Nale.

Lokasi tebing bergua di hiasi pohon beringin dengan rumpun akar bergantungan membuat bulu kuduk berdiri saat berada di lokasi tersebut. Di tempat ini juga yang bisa dalam lokasi adalah para kaum lelaki dan berjenis kalamin perempuan dilarang masuk.

Usai memberi makan di Duli Ulu, Para tua adat dan rombongan berarak lagi menuju pantai Watan Raja. Disini para tua ada akan memberi makan di pusara bapak Belawa dari suku Kabelen. Ia adalah pemilik Nale sekaligus penjaga pantai Watan Raja.

Sambil meletakkan sesajian di atas pusara di bagian kepala sang dukun bermantera “ Ama Belawa...... Pito lau buto ia, tunefikere bawaka ika juaka, jenau lauka, upula ia koker. Para ribu ratu kide knukak, kedak blurek” yang artinya “ Bapak Belawa, bawalah ikan Nale datang. Kami anakmu besar kecil, tua muda, janda dan yatim piatu kelaparan. Hujan kadang turun kadang tidak, padi dan jagung yang ditanam tidak berhasil. Bawalah ikan Nale datang untuk memberi makan kami,".

Di tempat pusara Blawa inilah segala proses memberi makan sejak dari Koker Nale dan Duli Ulu itu benar atau salah dipertaruhkan. Jika seremoninya benar maka Nale akan muncul, jika seremoni salah maka Nale tidak akan muncul. Ukuran dari seluruh proses ritual itu adalah bersuara atau tidaknya binatang reptil yaitu cecak. Selesai bermantera sang dukun pun berpesan, ”Jika dalam suasana diam ini cecak tidak berbunyi, maka seluruh proses memberi makan dari Koker Nale, Duli Ulu dan semua rencana kegiatan ini benar dan direstui leluhur.

Suasana tegang dan terdiam beberapa detik. Suara cecak tidak terdengar di kubur
Belawa. Semua yang hadir tersenyum penuh keyakinan bahwa Nale akan muncul di malam itu. Upacara menjejaki sebuah tradisi masyarakat untuk memberi rasa hormat terhadap para leluhur dan pemilik Nale kini sudah berakhir di pusara Bapak Blawa.

Bupati dan rombongan bersama pimpinan dan Anggota DPRD serta pimpinan OPD mengikuti MUSRENBANG Tingkat Kecamatan Nagawutung di Aula SD setempat dan beristirahat sejenak.
Menunggu Nale yang akan muncul pada malam hari, Bupati Lembata dan rombongan menikmati makan siang dan beristirahat sambil berekreasi hingga menikmati sunset di Pantai Watan Raja. Suasana pun mulai remang memasuki malam.

Bupati Lembata dan seluruh rombongan berjejer sambil menanti datangnya Nale. Dua orang Bapak dari suku Kebele dan Ketupapa mendahului untuk mengamati sekaligus pemberi tanda kalau Nale sudah ada. Waktu terus berjalan, penantian dari siang hingga pukul 07.45 terasa lelah. Rasa ragu akan kebenaran upacara memberi makan serta suara cecak yang tak terdengar di pusara Bapak Belawa pelan pelan terusik di hati.

Tiba-tiba terdengar teriakan dari laut ”Duli Gere, Duli Gere !” Suara para pemilik Nale terdengar dari jauh. Dalam hitungan detik saja, Bupati dan rombongan serta masyarakat Desa Pasir Putih yang memenuhi Pantai Watan Raja tumpah rua dan melompat ke laut setinggi betis dengan meneriakan “Duli Gere, Duli Gere” sambil tangan menggayung jutaan Nale untuk dimasukan ke dalam temenej (sokal kecil).

Bupati Lembata, wakil Bupati Lembata, Ketua DPRD dan anggota DPRD serta hadirin antusias menggayungkan tangan di laut sambil memasukkan Nale diiringi teriakan duli gere, duli gere. “Waduh ! di tempat kecil ini kok, Nale keluar tidak ada habisnya, sampai kita cape sendiri!” Ketus Bupati Sunur, sambil meluruskan badannya sesaat..

Kurang lebih 1 jam mengambil Nale, akhirnya satu persatu meninggalkan pantai dan kembali ke rumah masing-masing. Pada malam kedua masyarakat Desa Pasir Putih turun lagi untuk mengambil Nale. Impian para tamu untuk melihat dan mengambil nale di Mingar kini terjawab. Nale tidak saja menjadi tradisi tapi saat ini menjadi momen yang unik dan menarik. Kesuksesan penyelenggaraan Festival ini berkat kerja sama yang apik Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dibawah komando Apol Mayan,S.Pd Pihak kecamatan Nagawutung dibawah kendali Mus Kalu,SH dan kepla desa Pasir Putih selaku tuan rumah.

NALE DALAM PROSPEK WISATA
Tradisi pengambilan Nale yang oleh masyarakat Kampung Mingar dianggap biasa-biasa kini mulai di kenal luas oleh masyarakat Lembata dan luar Lembata melalui media. Setelah mengikuti seluruh rangkaian acara dalam festival ini baru terkuak kesan bahwa Guti Nale ternyata merupakan salah satu obyek wisata budaya yang Unik dan menarik.

Kepala Dinas Pariwisata Apol Mayan Bokilia di kediamannya menjelaskan, salah satu kebijakan kita dalam mendukung pariwisata adalah promosi pariwisata. Dalam promosi pariwisata tersebut dilakukan melalui event-event melalui festival-festival.

Ia melanjutkan di Kabupaten Lembata Festival Tiga Gunung merupakan Main Eventnya. Sebelum Festival 3 Gunung ada pra Event yakni festival Budaya Uyelewun Raya, ada Festival Nale, ada Festival Leva. Terkait Festival Nale Kadis Kebudayaan dan Pariwisata Bokilia menjelaskan bahwa Festival Nale lebih focus pada upaya pembinaan dan pelestarian nilai-nilai budaya.

Dalam festival inikan ada proses ritual dan seremoni adat yang sakral, ada prosesi budaya yang mencerminkan nilai-nilai moral yang terkandung didalamnya yang di hormati warga setempat,.katanya. Ia menguraikan ada peran peran penting dalam suku-suku yang tidak tergantikan oleh orang atau suku lain. Ada nilai nilai yang diwariskan seperti nilai sosial, nilai gotong royong, nilai persaudaraan, ada nilai persatuan dan kesatuan di antara mereka.

Ini sesuatu yang unik, orang tidak sekedar datang mengambil nalenya, tapi ada serentetan tradisi yang mesti diikuti, ujarnya. Ia optimis prospek pengembangan pariwisata ke depan akan maju jika desa-desa yang ada ikut mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam pengembangan pariwisata di desanya. Ke depan Pemerintah Daerah akan take offer event dan diserahkan event pariwisata untuk diatur oleh masing-masing desa,katanya.

BUDAYA ADALAH JATI DIRI
Menurut Ward Goodenough, Kebudayaan suatu masyarakat terdiri atas segala sesuatu yang harus diketahui atau dipercayai seseorang agar dia dapat berperi-laku dalam cara yang dapat diterima oleh anggota-anggota masyarakat tersebut. Budaya bukanlah suatu penomena material: dia tidak berdiri atas benda-benda, manusia, tingkah laku atau emosi-emosi. Budaya lebih merupakan organisasi dari hal-hal tersebut.

Budaya adalah bentuk hal-hal yang ada dalam pikiran (mind) manusia, model-model yang dipunyai manusia untuk menerima, menghubungkan, dan kemudian menafsirkan penomena material di atas. Sejalan dengan pemikiran di atas, Guti Nale hanya dapat di ketahui dipercayai dan selanjutnya berperilaku untuk melanjutkan tradisi Guti Nale apa bila tradisi ini terus dipertahankan secara terus menerus di zaman modern ini.

Guti Nale salah satu tradisi unik dari Mingar Desa Pasir Putih Kecamatan Nagawutung namun saat ini sudah menjadi budaya kita. Pemerintah telah menjadikan Gute Nale menjadi entertaiment sesuatu yang juga menghibur untuk membangkitkan aspek lain dalam Festival Nale dan mendapat sambutan serta antusias masyarakat di lokasi kegiatan.

Ovi (22 thn) seorang ibu rumah tangga di Mingar menyatakan, selama ini tradisi ini selalu dibuat dan kami mengambil Nale seperti biasanya. Kali ini kami merasakan luar biasa karena Bupati dan Wakil Bupati serta semua orang berdatangan ke sini, banyak atraksi dan pementasan tarian budaya, anak-anak bisa mengkisahkan sejarah nale, ada lomba melukis, ada yang jualan dilokasi, semua itu menjadikan Guti Nale sesuatu yang menarik dan spesial, katanya.

Oleh Marselus Molan, Dinas Komunikasi dan Informatika Lembata
(atk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1026 seconds (0.1#10.140)