Keanekaragaman Hayati di Sulawesi, Tarsius dan Yaki Dalam Bahaya

Kamis, 20 Februari 2020 - 12:36 WIB
Keanekaragaman Hayati di Sulawesi, Tarsius dan Yaki Dalam Bahaya
Keanekaragaman Hayati di Sulawesi, Tarsius dan Yaki Dalam Bahaya
A A A
Terletak di tengah kepulauan Indonesia, pulau dengan garis berliku menyerupai huruf “K” ini terlihat unik di peta. Dikaruniai keasrian akan cagar alam, Sulawesi yang berasal dari kata ‘sula’ atau pulau dan ‘mesi’ yang artinya besi sebenarnya merupakan salah satu surga terindah di dunia.

Tak ada pulau seunik Sulawesi. Selain bentuknya, pulau ini rupanya memang menyimpan flora dan fauna endemik yang tak bisa ditemui di belahan dunia manapun. Sejumlah peneliti mengatakan keunikan itu tak terlepas dari percampuran dua biota, yakni Asia di barat dan Australia di timur. Bahkan, beberapa peneliti lainnya mengklaim bahwa pulau kesebelas terbesar di dunia ini merupakan hybrid zone dengan tingkat evolusi tercepat.

Meminjam istilah National Geographic, Sulawesi layaknya laboratorium alam tempat ditemukannya sejumlah fauna yang mengalami hibridasi atau perkawinan antarspesies berbeda. Mereka kemudian menimbulkan sifat-sifat biologi baru. Sebut saja seperti primata dari spesies tarsius dari utara yang kawin dengan spesies monyet dari bagian selatan. Primata terkecil di dunia itu lantas terdiferensiasi dalam waktu cepat dan melahirkan genetik baru.

Kini, tarsius telah menjadi ikon baru Sulawesi Utara (Sulut) sekaligus “penjaga” pintu gerbang Asia-Pasifik di utara. Fauna menarik ini mewakili keunikan-keunikan satwa lainnya yang telah menjadi daya tarik wisata sendiri bagi pencinta satwa. Keunikan dari sisi geologi Sulawesi pun ikut memberi andal lantaran jutaan tahun silam pulau ini berasal dari tiga pulau yang bersatu menjadi sebuah pulau. Jadi, tak heran bila Sulawesi dibingkai garis pantai dengan pantai berpasir, terumbu karang, dan beraneka ragam jenis ikan.

Selain tarsius, ada pula monyet hitam Sulawesi (Macaca nigra)—yang juga hanya ada di Sulut. Satwa yang juga disebut yaki atau monyet wolai ini terancam perburuan untuk dikonsumsi maupun dipelihara. Untunglah ada Cagar Alam Tangkoko, tempat tinggal sekaligus harapan satu-satunya agar spesies ini terjaga dari kepunahan. Pertanyaannya, benarkah nasibnya bisa terjamin di sana?

Setidaknya, harapan ini dilindungi Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Di sana, dituliskan bahwa cagar alam merupakan kawasan suaka (perlindungan) alam karena keadaan alamnya yang memiliki keunikan dan kekhasan tumbuhan, satwa, beserta ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi. Perkembangannya dilakukan secara alami apa adanya. Jadi, bisa dibilang tempat ini memang dibiarkan secara alami serta dipastikan tidak mendapat gangguan dari aktivitas manusia yang dapat menyebabkan kerusakan termasuk kepunahan.

Cagar Alam Tangkoko yang terletak di Kota Madya Bitung, Sulut, pun sebenarnya jauh dari pemukiman warga. Hanya mereka yang punya tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian yang boleh masuk. Itu pun harus dilakukan dengan mendapat izin dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setempat, yakni berupa SIMAKSI atau surat izin masuk konservasi.

Akan tetapi, tenaga ekstra tentu saja harus dimiliki. Untuk ke sana, kita harus punya kesabaran tingkat tinggi untuk menahan mabuk darat akibat jalan berliku dan menanjak. Namun jika Anda penikmat alam, hijaunya hutan dan udara yang segar sepertinya bakal mengobati mabuk tersebut.

Selain monyet hitam tadi, ada banyak keragaman satwa, seperti rusa (Cervus timorensis), musang cokelat (Macrogalidia musschenbroeki), maleo (Macrocephalon maleo), rangkong (Rhyticeros cassidix), kuskus (Ailurops ursinus), dan elang laut (Haliaeetus leucogaster). Oh ya, tarsius (Tarsius spectrum) juga ada di sini. Selain itu, berbagai flora khas juga masih ada, seperti beringin (Ficus spp), aras (Duabanga moluccana), nantu (Palaquium obtusifolium), edelweis (Anaphalis javanicum), dan kantong semar (Nephentes gynamphora).

Cagar Alam Tangkoko ada di Dua Saudara dan Batu Putih. Namun, yang paling butuh perhatian adalah yang terletak di Batu Putih lantaran banyak menghadapi masalah. Dengan luas 3.196 hektare, personel yang menjaga kawasan ini hanya hitungan jari. Jadi, jangan heran bila banyak perambahan dan perburuan liar di sini. Mereka pun kerap meminta bantuan beberapa warga desa untuk berjaga-jaga sekaligus menjadi guide jika ada pengunjung.

Pasalnya, yaki memang jadi buruan orang-orang tak bertanggung jawab. Si kepala hitam berjambul ini sering jadi korban penjualan hewan langka. Tak terkecuali untuk betinanya karena punya ciri khas, yakni pantat berwarna merah menyala. Hingga kini, populasi yaki makin menurun setiap tahun. Selain dijual, yaki kerap dikonsumsi sebagian masyarakat di Minahasa. Masalah kurangnya personel penjagaan pun jadi masalah di cagar alam lainnya di Sulawesi. (Wahyu Novianto)

Berikut Cagar Alam yang Ada di Sulawesi

Sulawesi Utara

Cagar Alam Teluk Apar; Bolaang Mangondow total 33.638,00 ha.
Cagar Alam Gunung Dua Saudara; Manado, Bitung, Sulawesi Utara, 4.299,00 ha
Cagar Alam Gunung Lokon; Minahasa, Sulawesi Utara, 100,00 ha
Cagar Alam Tangkoko Batuangus; Manado, Sulawesi Utara, 3.196,00 ha

Gorontalo

Cagar Alam Mas Popaya Raja; Gorontalo, 100,00 ha
Cagar Alam Tanjung Panjang; Gorontalo, 3.000,00 ha
Cagar Alam Panua; Gorontalo, 45.575,00 ha
Cagar Alam Tanggale; Gorontalo, 112,50 ha

Sulawesi Tengah

Cagar Alam Tanjung Api; Poso, Sulawesi Tengah, 4.246,00 ha
Cagar Alam Gunung Dako; Buol, Toli-toli, Donggala, Sulawesi Tengah, 19.590,20 ha
Cagar Alam Morowali; Poso, Sulawesi Tengah, 209.400,00 ha
Cagar Alam Pamona; Buol, Toli-toli, Donggala, Sulawesi Tengah, 25.967,30 ha
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9336 seconds (0.1#10.140)