Jadi Rebutan Belanda-Jepang, Kini Rujukan Pasien asal Indonesia Timur

Selasa, 18 Februari 2020 - 07:45 WIB
Jadi Rebutan Belanda-Jepang,...
Jadi Rebutan Belanda-Jepang, Kini Rujukan Pasien asal Indonesia Timur
A A A
SURABAYA - Azizah Nur Hidayati (47), masih duduk di bangku panjang ruang tunggu di bagian depan RSUD dr Soetomo Surabaya. Dia datang bersama dengan anak sulungnya yang setiap sepekan sekali selalu ke Surabaya. Hari ini merupakan jadwal kemoterapi yang ketiga setelah dia divonis terkena kanker payudara.

Azizah menjalani pengobatan itu setelah dirujuk RSUD Dr R Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro untuk berobat lebih jauh ke Surabaya. Kanker stadium akhir yang dideritanya harus diobati dengan segera.

Untuk bisa maksimal, dia dirujuk ke RSUD dr Soetomo dalam penanganan lebih lanjut. Sejak pertama datang, antrean memang panjang. Namun dia masih bisa dilayani dengan cepat ketika ada kode kedaruratan. “Saya langsung datang ke RSUD dr Soetomo dan menjalani kemoterapi sampai saat ini,” kata Azizah.

Matanya masih menyimpan harapan untuk bisa terbebas dari penyakit ganas itu. Dia tak mau menyerah. Sebuah keyakinan datang dari dirinya untuk bisa bangkit dari keterpurukan. Dukungan dari keluarga dan keyakinan besar perawatan di RSUD dr Soetomo bisa membantunya mengalahkan kanker.

Meskipun tempat tinggalnya jauh dari rumah sakit, Azizah mengaku terbantu dengan kemudahan pelayanan di RS ini. Bahkan anak sulungnya hanya mendaftar melalui ponsel untuk ikut antrean kemoterapi. “Saya nggak paham, pokoknya pesan ruangan dan antrenya lewat ponsel saja,” jelasnya.

Selain Azizah, RSUD dr Soetomo juga telah menjadi tempat menaruh harapan kesembuhan jutaan warga selama berpuluh-puluh tahun. Peran vital itu pun sampai kini masih dipegang RSUD dr Soetomo yang terbukti banyak menjadi pusat rujukan pasien kawasan Indonesia timur. Layanan yang prima serta kelengkapan alat medis menjadi alasan kuat para pasien memenuhi ruangan rumah sakit di Jalan Karangmenjangan itu.

RSUD dr Soetomo bukanlah RS baru kemarin. RSUD dr Soetomo menjadi saksi bisu lipatan sejarah pergolakan di tiga zaman yang membentuk Indonesia. Rumah sakit yang namanya dulu disebut Nieuwe Centrale Burgerlijke Zienkenhuis (CBZ) tersebut memegang peran penting dalam kemerdekaan Indonesia.

Selama puluhan tahun, RSUD dr Soetomo memang menjadi rujukan para pasien di Indonesia timur untuk berobat. Mereka datang dari berbagai kota dan pulau terluar untuk bisa terbebas dari penyakit.

Kepala Instalasi Promosi Kesehatan Rumah Sakit (PKRS) dan Humas RSUD dr Soetomo dr Pesta Parulian menuturkan, banyak perubahan yang dilakukan di RSUD dr Soetomo setiap tahunnya. Makanya tak aneh bila semua rujukan pasien di Indonesia timur selalu ke sini. Bahkan pihaknya juga meraih sertifikat serta akreditasi baik tingkat nasional maupun internasional. “Termasuk prinsip utama dengan mengutamakan keselamatan pasien,” kata Pesta.

Perkembangan teknologi, menurutnya, juga terus diikuti untuk meningkatkan pelayanan serta informasi bagi pasien maupun keluarga pasien. Makanya saat ini pihak rumah sakit memiliki website rujukan yang bisa dimanfaatkan pasien maupun keluarga pasien. “Ada juga telemedicine serta webinar yang juga memberikan support pada semua pelayanan,” jelasnya.

Kehadiran RSUD dr Soetomo sampai saat ini memiliki pelayanan lengkap yang tak pernah tergerus zaman. Salah satunya seperti pelayanan bank jaringan dan regenerative medicine, endoskopi dan minimal invasive, paliatif dan bebas nyeri, sport clinic, resistensi antimikroba, pusat jantung terpadu, pusat pengembangan layanan kanker, dan sistem saraf terintegrasi.

Ada juga pelayanan tumbuh kembang anak, geriatri terpadu, endokrin terintegrasi, kembar siam, bayi tabung, ginjal terpadu, penyakit infeksi emerging dan re-emerging serta ortotik prostetik.

Perjalanan rumah sakit ini begitu panjang dalam perannya menjadi pusat layanan kesehatan di Indonesia timur. Pembangunannya pun tak lepas dari peran Rumah Sakit Simpang atau CBZ yang sudah ditanamkan fondasinya ketika Belanda berada di Indonesia.

Sejarawan Universitas Airlangga RN Bayu Aji menuturkan, saat itu campur tangan Gubernur Jenderal Willem Herman Deandles pada 1808–1811 menjadi permulaan adanya rencana rumah sakit. Nieuwe CBZ akhirnya benar-benar dibangun pada 29 Oktober 1938 di sebuah desa bernama Karang Menjangan atau Viaduct Straat. “Gedung ini bersebelahan dengan bangunan Nederlandsch Indische Artsen School (Nias) atau yang kemudian dikenal sebagai Fakultas Kedokteran Unair,” katanya.

Pada era sebelum kemerdekaan, para korban perang begitu banyak. Masyarakat juga menderita berbagai penyakit yang membuatnya harus segera mendapatkan pertolongan. Sementara itu Rumah Sakit Simpang tak mampu menampung para pasien yang harus dirawat.

Gayung pun bersambut, pembangunan RSUD dr Soetomo terus dikebut. Namun pembangunan rumah sakit sempat terhenti pada 1942 ketika Jepang menguasai Surabaya. Meskipun sempat terhenti, pembangunan rumah sakit kembali dilanjutkan Jepang pada 1943. Setelah selesai, bangunan itu dijadikan Rumah Sakit Angkatan Laut Bala Tentara Jepang atau Kaigun.

Pergolakan belum berhenti, pada 1943 juga, Nieuwe CBZ kembali dikuasai Belanda dan dijadikan Rumah Sakit Marinir atau Marine Hospital Surabaya. Intervensi Belanda pun terlihat jelas dalam desain bangunan serta penataan ruangan yang dipakai di rumah sakit.

Pada 1950, ketika Indonesia sudah menyatakan diri merdeka, sejarah baru tercipta. Pada 7 Agustus Rumah Sakit Marine Hospital diserahkan kepada Angkatan Laut Republik Indonesia Serikat (ALRIS). Pada tahun ini pula berubah lagi namanya menjadi Rumah Sakit Umum (RSU) Pusat.

Baru pada 1951 hingga 1954 aktivitas RS Simpang mulai dipindah ke RS Karang Menjangan. Namun pelayanan bedah akut tetap dilakukan di Rumah Sakit Simpang. Segala pelayanan kesehatan pun dilakukan dengan baik.

Pada 20 Mei 1964 berdasarkan SK Menkes RI No.26769/KAB/76 Rumah Sakit Umum Pusat berubah nama menjadi RSU dr Soetomo. Memasuki 1980, semua kegiatan pelayanan dijadikan satu di RSU dr Soetomo. Rumah Sakit Simpang dijual dan sekarang menjadi Plaza Surabaya.

Pada 2002, Perda Provinsi Jatim menetapkan perubahan nama lagi menjadi RS Umum Daerah dr Soetomo yang diberlakukan sampai sekarang ini. Sebelumnya jejak kelahiran RSUD dr Soetomo sempat menjadi perdebatan sengit dalam beberapa tahun silam. Kelahiran rumah sakit ini berbeda dengan RS lainnya yang memiliki tanggal pasti serta jejak berupa prasasti maupun plakat lainnya.

Hari lahir RSUD dr Soetomo awalnya diperingati setiap 20 Mei yang merujuk pada selesainya pembangunan di tahun 1964. Namun hari lahir itu tidak relevan ketika disesuaikan dengan sejarah RS Karang Menjangan yang menjadi cikal bakalnya.

Para dokter di RSUD dr Soetomo berkumpul dan mencari asal-usul dan tanggal dibangunnya RS Karang Menjangan. Usaha yang dilakukan, baik dalam penggalian data maupun dari beberapa narasumber dan kepustakaan, dilakukan sejak Desember 2006 dan selesai pada Maret 2007.

Ketua Panitia Penentuan Hari Lahir Berdirinya RSUD dr Soetomo dr Urip Murtedjo SpB (KL), PGD menuturkan, hari lahir RSUD dr Soetomo bukan pada 20 Mei 1964 melainkan 29 Oktober 1938. Banyak bukti sejarah yang mendukung peranan penting rumah sakit tersebut.

Dia melanjutkan, berdasarkan bukti-bukti otentik selama dilakukan penelitian oleh tim penelusur sejarah, pihaknya sudah mencari letak tetenger RS Karang Menjangan. Mulai Gedung Direksi dan Gedung Posa hingga atas bangunan maupun lonceng rumah sakit serta alat-alat tua tidak ada tetenger. Akhirnya tim penelusur sejarah berhasil mengumpulkan bukti-bukti dan ternyata RS Karang Menjangan dibangun di areal Lapangan Thor dan dilakukan di era Gubernur van der Plas dengan biaya 1,8 juta gulden.

Pada 29 Oktober 1938, katanya, peletakan batu pertama Nieuwe CBZ. Pembangunan berlangsung sampai masuknya bala tentara Jepang menduduki Surabaya dan mengambil alih RS Karang Menjangan pada 1942. (Aan Haryono)
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1114 seconds (0.1#10.140)