Ir H Juanda dan Berbagai Infrastruktur di Indonesia

Jum'at, 29 November 2019 - 05:00 WIB
Ir H Juanda dan Berbagai...
Ir H Juanda dan Berbagai Infrastruktur di Indonesia
A A A
Ir H Raden Djoeanda Kartawidjaja merupakan salah satu tokoh nasional atau pahlawan kemerdekaan nasional. Nama Perdana Menteri Indonesia ke-10 ini banyak disematkan pada berbagai infrastruktur ikonik di tanah air.

Ir H Raden Djoeanda Kartawidjaja atau Juanda Kartawijaya (EYD) merupakan anak seorang bangsawan bernama Raden Kartawidjaja dan Nyi Monat yang lahir di Tasikmalaya 14 Januari 1911. Raden Kartawidjaja merupakan Mantri Guru pada Hollandsch Inlansdsch School (HIS), kemudian pindah untuk mengenyam ke sekolah Europesche Lagere School (ELS) alias sekolah khusus untuk anak orang Eropa.

Juanda melanjutkan pendidikan di Technische Hooge School (Sekolah Tinggi Teknik) sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB), jurusan teknik sipil dan lulus pada 1933. Setelah itu, beliau memilih untuk menjadi pengajar di SMA Muhammadiyah di Jakarta dengan gaji seadanya walaupun ditawari menjadi asisten dosen di Technische Hogeschool dengan gaji lebih besar.

Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, Juanda memimpin para pemuda mengambilalih Jawatan Kereta Api dari Jepang pada 28 September 1945. Lalu, beliau menjabat Menteri Perhubungan pada 1946-1949. Dia juga pernah menjabat menjadi Menteri Pengairan, Kemakmuran, Keuangan, dan Pertahanan.

Beliau merupakan Perdana Menteri Indonesia ke-10, dari 9 April 1957 hingga 9 Juli 1959. Terakhir, beliau menjabat sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Kerja I pada 1959-1962. Berbagai jabatan menteri yang pernah dipegang membuatnya dijuluki “Menteri Marathon”.

Sejak awal kemerdekaan, tepatnya pada 1946 hingga akhir hayatnya, beliau selalu menjabat sebagai Menteri. Satu kali sebagai Menteri Muda, 14 kali sebagai Menteri, dan satu kali menjadi Pejabat Perdana Menteri Indonesia ke-10 sekaligus yang terakhir.

Juanda wafat di Jakarta pada 7 November 1963 karena serangan jantung dan dimakamkan di TMP Kalibata. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No 244/1963 Ir H Juanda Kartawijaya diangkat sebagai tokoh nasional atau pahlawan kemerdekaan nasional.

Kontribusi terbesar Juanda adalah Deklarasi Djuanda pada 1957. Deklarasi Juanda yang dicetuskan pada 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Juanda Kartawijaya adalah deklarasi yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI. Ini dikenal dengan sebutan sebagai negara kepulauan dalam konvensi hukum laut United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS).

Sebelum Deklarasi Juanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut.

Nama Juanda juga disematkan pada berbagai sarana infrastruktur ikonik dan megah yang masih digunakan saat ini. Di antaranya, Bandara Internasional Juanda di Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.

Pembangunan Bandara Juanda yang saat ini menjadi salah satu bandara terbesar dan tersibuk di Asia Tenggara, pertama kali digagas Biro Penerbangan Angkatan Laut RI pada 1956. Rencana pembangunan satu pangkalan udara baru yang bertaraf internasional untuk menggantikan pangkalan udara peninggalan Belanda di Morokrembangan dekat Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.

Di tengah proses pembangunan bandara ini, sempat terjadi krisis keuangan. Penanganan masalah ini sampai ke Presiden Sukarno dan memberikan mandat kepada Waperdam I Juanda untuk mengatasi masalah ini hingga proyek ini selesai. Pada 15 Oktober 1963, Juanda mendarat di landasan ini dengan menumpangi Convair 990 untuk melakukan koordinasi pelaksanaan proyek pembangunan.

Tidak lama setelah itu, pada 7 November 1963 Juanda wafat. Untuk mengenang jasa beliau atas selesainya proyek tersebut, maka pangkalan udara baru tersebut diberi nama Juanda. Pangkalan Udara Angkatan Laut (Lanudal) Juanda secara resmi dibuka oleh Presiden Sukarno pada 12 Agustus 1964. Selanjutnya pangkalan udara ini digunakan sebagai pangkalan induk (home base) skuadron pesawat pengebom Ilyushin IL-28 dan Fairey Gannet milik Dinas Penerbangan ALRI. (Baca juga; Si Tambun Gannet, Pemburu Kapal Selam Legendaris TNI AL )

Nama Juanda juga diabadikan pada salah satu waduk terbesar di Indonesia, yaitu Waduk Jatiluhur di Purwakarta, Jawa Barat. Bendungan ini mulai dibangun pada 1957 dengan peletakan batu pertama oleh Presiden RI pertama Soekarno dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 26 Agustus 1967.

Pembangunan bendungan Waduk Jatiluhur menelan dana USD230 juta. Nama bendungan waduk dinamakan Ir H Juanda untuk mengenang jasanya dalam memperjuangkan pembiayaan pembangunan Bendungan Jatiluhur. Pemerintah Republik Indonesia pada 19 Desember 2016, mengabadikan Juanda pada pecahan uang kertas rupiah baru NKRI, pecahan Rp50.000.

Di Kota Bandung, nama Juanda juga diabadikan untuk nama hutan raya dan nama jalan, yaitu Taman Hutan Raya Ir H Djuanda dan Jalan Ir H Juanda atau lebih dikenal Jalan Dago. Di Jakarta, namanya juga dijadikan nama jalan, yaitu Jalan Ir Juanda di bilangan Jakarta Pusat dan nama salah satu Stasiun Kereta Api di Indonesia, yaitu Stasiun Juanda.

PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI juga mengabadikan nama Ir H Djuanda menjadi nama Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat). Peresmian dilakukan pada puncak peringatan HUT ke-69 PT KAI oleh Dirut PT KAI Ignasius Jonan, Komisaris Utama Imam Haryatna, serta disaksikan ahli waris Ir H Djuanda di Pusdiklat PT KAI. (Baca juga; Ir H Juanda Diabadikan Jadi Nama Pusdiklat KAI )

Diolah dari berbagai sumber
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8016 seconds (0.1#10.140)