Misteri Alquran Tulisan Tangan Pangeran Diponegoro
A
A
A
PANGERAN Diponegoro terkenal sebagai pahlawan yang gagah berani dan gigih melawan penjajahan kolonial Belanda . Selain itu, pria yang digambarkan mengenakan jubah dan surban putih serta naik kuda itu meninggalkan Alquran tulisan tangannya sendiri.
Saat berperang melawan Belanda pada tahun 1825-1830, Pangeran Diponegoro juga masih sempat menyebarkan syiar Islam di sejumlah wilayah yang pernah disinggahinya. Salah satunya di kawasan Magelang. (Baca juga: Kisah Kiai Sirojudin, Panglima Perang Laskar Diponegoro)
Di daerah yang dikenal sebagai pusering (pusatnya) tanah Jawa dengan keberadaan Gunung Tidar ini, Diponegoro bahkan menulis langsung Alquran yang kini masih terawat dengan baik. Alquran tersebut disimpan di Masjid Langgar Agung Pahlawan Nasional Pangeran Diponegoro, Dusun Kamal, Desa Menoreh, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Secara fisik, Alquran ini lebih tebal dan ukuran lebih besar. Sedangkan sampulnya dibuat dari kulit.
Berdasarkan cerita dari para sesepuh Masjid Langgar Agung Diponegoro, Alquran tersebut ditulis sekitar 1825-1830. Alquran ini ditulis dengan menggunakan lidi aren (inau) dan keistimewaannya tintanya tidak pudar. Kualitas kertasnya bagus sekali, kemudian tintanya enggak pudar. Ini ada hiasannya berupa batik," kata pengelola Masjid Langgar Agung Diponegoro KH Ahmad Nur Shodiq beberapa waktu lalu, dikutip dari KORAN SINDO.
Sedangkan hiasan batik di Alquran tulisan tangan Pangeran Diponegoro tersebut berdasarkan penelitian ternyata merupakan motif atau gaya Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Hal ini sesuai dengan pembuatnya yang berasal dari Yogyakarta, yakni Pangeran Diponegoro. (Baca juga: Masjid Tiban Jatimalang: Jejak Perjuangan Pangeran Diponegoro)
"Ada tiga monumen yang ditinggalkan Pangeran Diponegoro yakni Alquran, tasbih dan jubah. Alquran menunjukkan beliau ahli bidang agama, tasbih menunjukkan ahli wirid dan jubah menunjukkan sufi," paparnya.
Dahulu saat berlangsung perang melawan Belanda di Magelang, Pangeran Diponegoro selalu berdoa di sebuah musala di Dusun Kamal, Menoreh, Salaman. Sedangkan para prajuritnya diminta sembunyi di sebuah gua.
Lokasi yang digunakan untuk berdoa tersebut sekarang dijadikan pengimaman di Masjid Langgar Agung Diponegoro.
Masjid ini memiliki keunikan, yakni menaranya setinggi 25 meter yang didominasi warna hijau. Bangunan masjid dibangun sekitar tahun 1946 oleh ABRI (TNI) bersama dengan masyarakat sekitar. Pembangunan tersebut sempat terhenti pada tahun 1965 karena meletus peristiwa pemberontakan G30S/PKI.
Pembangunan dilanjutkan lagi setelah sampai sekitar tahun 1972. Saat itu sempat terjadi kebingungan dalam penamaan tempat ibadah karena di lokasi yang berjarak sekitar 100 meter juga telah ada masjid agung.
"Akhirnya takmir pertama, yakni H Fathoni yang juga orang tua saya mengusulkan agar diberi nama Langgar Agung, karena sudah ada masjid. Tapi sebetulnya ini adalah masjid," ujarnya.
Sejak diresmikan tahun 1972, Masjid Langgar Agung belum pernah mengalami pemugaran. Untuk perawatan, pengelola masjid mengandalkan sumbangan dari jamaah.
Masjid dengan lebar 8 meter dan panjang 18 meter itu difungsikan sebagai tempat ibadah oleh masyarakat sekitar serta santri pondok pesantren (Ponpes) Nurul Falah yang berada satu kompleks dengan masjid. (Baca juga: Jejak Pangeran Diponegoro, Warga Makassar Marah Jika Makamnya Dipindah)
Sedangkan di depan masjid tersebut terdapat Jam Istiwak sebagai penanda adzan. “Ini setiap lima hari sekali dicek. Istiwak dengan Waktu Indonesia Barat (WIB), selisihnya antara 10-15 menit," jelasnya.
Saat berperang melawan Belanda pada tahun 1825-1830, Pangeran Diponegoro juga masih sempat menyebarkan syiar Islam di sejumlah wilayah yang pernah disinggahinya. Salah satunya di kawasan Magelang. (Baca juga: Kisah Kiai Sirojudin, Panglima Perang Laskar Diponegoro)
Di daerah yang dikenal sebagai pusering (pusatnya) tanah Jawa dengan keberadaan Gunung Tidar ini, Diponegoro bahkan menulis langsung Alquran yang kini masih terawat dengan baik. Alquran tersebut disimpan di Masjid Langgar Agung Pahlawan Nasional Pangeran Diponegoro, Dusun Kamal, Desa Menoreh, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Secara fisik, Alquran ini lebih tebal dan ukuran lebih besar. Sedangkan sampulnya dibuat dari kulit.
Berdasarkan cerita dari para sesepuh Masjid Langgar Agung Diponegoro, Alquran tersebut ditulis sekitar 1825-1830. Alquran ini ditulis dengan menggunakan lidi aren (inau) dan keistimewaannya tintanya tidak pudar. Kualitas kertasnya bagus sekali, kemudian tintanya enggak pudar. Ini ada hiasannya berupa batik," kata pengelola Masjid Langgar Agung Diponegoro KH Ahmad Nur Shodiq beberapa waktu lalu, dikutip dari KORAN SINDO.
Sedangkan hiasan batik di Alquran tulisan tangan Pangeran Diponegoro tersebut berdasarkan penelitian ternyata merupakan motif atau gaya Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Hal ini sesuai dengan pembuatnya yang berasal dari Yogyakarta, yakni Pangeran Diponegoro. (Baca juga: Masjid Tiban Jatimalang: Jejak Perjuangan Pangeran Diponegoro)
"Ada tiga monumen yang ditinggalkan Pangeran Diponegoro yakni Alquran, tasbih dan jubah. Alquran menunjukkan beliau ahli bidang agama, tasbih menunjukkan ahli wirid dan jubah menunjukkan sufi," paparnya.
Dahulu saat berlangsung perang melawan Belanda di Magelang, Pangeran Diponegoro selalu berdoa di sebuah musala di Dusun Kamal, Menoreh, Salaman. Sedangkan para prajuritnya diminta sembunyi di sebuah gua.
Lokasi yang digunakan untuk berdoa tersebut sekarang dijadikan pengimaman di Masjid Langgar Agung Diponegoro.
Masjid ini memiliki keunikan, yakni menaranya setinggi 25 meter yang didominasi warna hijau. Bangunan masjid dibangun sekitar tahun 1946 oleh ABRI (TNI) bersama dengan masyarakat sekitar. Pembangunan tersebut sempat terhenti pada tahun 1965 karena meletus peristiwa pemberontakan G30S/PKI.
Pembangunan dilanjutkan lagi setelah sampai sekitar tahun 1972. Saat itu sempat terjadi kebingungan dalam penamaan tempat ibadah karena di lokasi yang berjarak sekitar 100 meter juga telah ada masjid agung.
"Akhirnya takmir pertama, yakni H Fathoni yang juga orang tua saya mengusulkan agar diberi nama Langgar Agung, karena sudah ada masjid. Tapi sebetulnya ini adalah masjid," ujarnya.
Sejak diresmikan tahun 1972, Masjid Langgar Agung belum pernah mengalami pemugaran. Untuk perawatan, pengelola masjid mengandalkan sumbangan dari jamaah.
Masjid dengan lebar 8 meter dan panjang 18 meter itu difungsikan sebagai tempat ibadah oleh masyarakat sekitar serta santri pondok pesantren (Ponpes) Nurul Falah yang berada satu kompleks dengan masjid. (Baca juga: Jejak Pangeran Diponegoro, Warga Makassar Marah Jika Makamnya Dipindah)
Sedangkan di depan masjid tersebut terdapat Jam Istiwak sebagai penanda adzan. “Ini setiap lima hari sekali dicek. Istiwak dengan Waktu Indonesia Barat (WIB), selisihnya antara 10-15 menit," jelasnya.
(wib)