Kenaikan UMP Dilihat dari Inflasi, Pengamat Anggap Kurang Tepat

Rabu, 23 Oktober 2019 - 07:09 WIB
Kenaikan UMP Dilihat...
Kenaikan UMP Dilihat dari Inflasi, Pengamat Anggap Kurang Tepat
A A A
JAKARTA - Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2020 yang telah diteken mantan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Muhammad Hanif Dhakiri dianggap sebagian kalangan masih terbilang rasional. Namun, jika hendak berbicara objektif, maka harus ada kajian mendalam terkait kenaikan upah minimum bagi para pekerja.

Pengamat Ketenagakerjaan dan Sekertaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timbul Siregar mengatakan, dikeluarkannya aturan kenaikan UMP menjadi 8,51 persen tidak bisa dipukul rata berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Menurut Timbul, hal itu kurang objektif, mengingat disejumlah daerah tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi selalu beragam dan tidak bisa menjadi suatu acuan baku. Jika itu dilakukan, maka akan ada daerah yang langsung menaikkan tanpa mempertimbangkan inflasi dan pertumbuhan ekonominya.

Menyikapi hal itu, Timbul mendorong Pemerintah Daerah seperti DKI Jakarta untuk meningkatkan subsidi bagi para pekerja. Meskipun pekerja dapat menerima besaran gaji sebesar Rp4,2 juta untuk wilayah DKI Jakarta, maka untuk mengantisipasi gelombang protes harus diberlakukan hal tersebut.

"Iya betul, jadi kalau menurut pekerja itu tidak sesuai tidak cukup, tapi dengan adanya subsidi ini kan berarti income yang diterima akan lebih kecil untuk dibelanjakan, karena dapat subsidi," kata Timbul saat dihubungi SINDOnews, Kamis (23/10/2019).

Selanjutnya, Timbul menuturkan, untuk besaran gaji ideal dan mendapatkan kehidupan yang layak di Jakarta, Pempov DKI tidak mesti mengeluarkan aturan untuk menetapkan gaji tinggi bagi para pekerja. Pasalnya, jika program subsidi diterapkan maka akan tercipta kelayakan hidup itu sendir bagi para pekerja di Jakarta.

"Nah itulah yang nanti jadi simpanan, itu yang saya dorong seperti beli beras beli daging dan kebutuhan lain lain. Sebenarnya gini, itu harus melalui survei. tapi kan survei itu tidak dilakukan lagi. Jadi kalau mau ideal harus dilakukan kajian, terkait berapa cost hidup layak di jakarta. Nah ini yang belum dilakukan, sekarang jika belum dilakukan mana patokannya, ya berarti hanya di Pasal 44 itu PP (Peraturan Pemerintah) 78," terangnya.

Timbul mengatakan, maka wajar jika ada gelombang protes dari para pekerja. Karena, kata dia, secara tidak langsung buruh tidak ikut dilibatkan mengenai angka kebutuhan hidup, dimana kebutuhan sehari-hari terbilang menguras pendapatan mereka selama bekerja.

"Iya sebenarnya dari itu harus ada dialog sosial, proses negosiasi itu tidak dilaksanakan, tidak dijalankan, tidak dibuka. Dengan hadirnya PP (Peraturan Pemerintah nomor) 44, yang hanya mengatakan inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi sudah jumlahin saja. Itu artinya kan dialognya tidak dibuka oleh pemerintah, ini yang menyebabkan bahwa akhirnya serikat buruh melakukan penolakan. Jadi ruang komunikasinya terhambat," tandasnya.
(mhd)
Copyright © 2025 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1099 seconds (0.1#10.24)