Kisruh Pembajakan Siaran FTA, KPID Riau Berseberangan dengan KPI Pusat
A
A
A
JAKARTA - Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Riau mengeluarkan pernyataan berseberangan dengan KPI Pusat, terkait hak cipta siaran free to air (FTA).
KPI menegaskan bahwa TV Kabel dan parabola berlangganan harus mendapatkan persetujuan hak siar dari pemilik materi siaran Lembaga Penyiaran Swasta (FTA) bila akan menayangkan materi siaran FTA.
Koordinator Bidang Kelembagaan KPI Pusat Irsyal Ambiya menjelaskan hal itu dikarenakan setiap lembaga penyiaran harus mencantumkan hak siarnya secara jelas.
Namun, Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Riau Hisam Setiawan berpandangan berbeda dengan KPI Pusat tersebut. Pada Minggu (6/10/2019), Hisam mengatakan siaran free to air gratis bagi lembaga penyiaran berlangganan.
Pernyataan Hisam itu mengesampingkan UU Hak Cipta dan berseberangan pula dengan pernyataan Koordinator Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran (PS2P) KPID DKI Jakarta Tri Andry meminta kepada lembaga penyiaran agar sebelum melakukan aktivitas penyiaran, maka seluruh materi siaran atau mata program acara wajib memiliki persetujuan hak menyiarkan dari lembaga penyiaran pemilik materi siaran.
"Tidak ada kompromi mengenai hak siar dan hak cipta," ujar Tri Andry dalam siaran pers resmi KPID DKI Jakarta, Sabtu, (28/9/2019).
Artinya, lanjut Tri Andry, setiap lembaga penyiaran harus berkerja sesuai Pasal 8 ayat 2 UU 32/2002 tentang Penyiaran. Hak siar dan hak cipta atas suatu mata acara telah dilindungi dalam undang-undang tersebut.
"Yang dimaksud hak siar yakni hak yang dimiliki lembaga penyiaran untuk menyiarkan program dan acara tertentu yang diperoleh secara sah yang dimiliki Hak Cipta atau pencipta," katanya.
Tri Andry menegaskan kloning siaran oleh TV kabel tanpa izin tidak saja melanggar UU, namun sangat merugikan pemilik hak siar tersebut. Pemilik hak siar telah bekerja keras menghasilkan program acara, namun diedarkan seenaknya.
"Seperti kita punya pohon pisang. Kita yang kasih pupuk, menyiram dan merawat, ketika pisang itu berbuah, orang lain yang panen. Setelah dipanen, dibuat pisang goreng dan dijual, marah nggak pemiliknya?," tegas Tri Andry menjawab pertanyaan wartawan.
Tri Andry menuturkan walaupun LPS menggunakan sistem free to air (FTA) secara gratis, namun jika ada TV Kabel dan parabola berlangganan yang hendak menyiarkan, maka harus meminta izin terhadap pemilik hak cipta. Hal ini juga sesuai dengan Pasal 25 ayat 1 dan 2 UU Hak Cipta.
Hal itu ditegaskan kembali oleh KPID DKI Jakarta dan seluruh regulator yang hadir dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema 'Tata Kelola Materi Siaran terhadap Hak Siar dan Hak Cipta di Lembaga Penyiaran' yang digelar oleh PS2P KPID DKI Jakarta pada Rabu, (26/9/2019).
KPI menegaskan bahwa TV Kabel dan parabola berlangganan harus mendapatkan persetujuan hak siar dari pemilik materi siaran Lembaga Penyiaran Swasta (FTA) bila akan menayangkan materi siaran FTA.
Koordinator Bidang Kelembagaan KPI Pusat Irsyal Ambiya menjelaskan hal itu dikarenakan setiap lembaga penyiaran harus mencantumkan hak siarnya secara jelas.
Namun, Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Riau Hisam Setiawan berpandangan berbeda dengan KPI Pusat tersebut. Pada Minggu (6/10/2019), Hisam mengatakan siaran free to air gratis bagi lembaga penyiaran berlangganan.
Pernyataan Hisam itu mengesampingkan UU Hak Cipta dan berseberangan pula dengan pernyataan Koordinator Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran (PS2P) KPID DKI Jakarta Tri Andry meminta kepada lembaga penyiaran agar sebelum melakukan aktivitas penyiaran, maka seluruh materi siaran atau mata program acara wajib memiliki persetujuan hak menyiarkan dari lembaga penyiaran pemilik materi siaran.
"Tidak ada kompromi mengenai hak siar dan hak cipta," ujar Tri Andry dalam siaran pers resmi KPID DKI Jakarta, Sabtu, (28/9/2019).
Artinya, lanjut Tri Andry, setiap lembaga penyiaran harus berkerja sesuai Pasal 8 ayat 2 UU 32/2002 tentang Penyiaran. Hak siar dan hak cipta atas suatu mata acara telah dilindungi dalam undang-undang tersebut.
"Yang dimaksud hak siar yakni hak yang dimiliki lembaga penyiaran untuk menyiarkan program dan acara tertentu yang diperoleh secara sah yang dimiliki Hak Cipta atau pencipta," katanya.
Tri Andry menegaskan kloning siaran oleh TV kabel tanpa izin tidak saja melanggar UU, namun sangat merugikan pemilik hak siar tersebut. Pemilik hak siar telah bekerja keras menghasilkan program acara, namun diedarkan seenaknya.
"Seperti kita punya pohon pisang. Kita yang kasih pupuk, menyiram dan merawat, ketika pisang itu berbuah, orang lain yang panen. Setelah dipanen, dibuat pisang goreng dan dijual, marah nggak pemiliknya?," tegas Tri Andry menjawab pertanyaan wartawan.
Tri Andry menuturkan walaupun LPS menggunakan sistem free to air (FTA) secara gratis, namun jika ada TV Kabel dan parabola berlangganan yang hendak menyiarkan, maka harus meminta izin terhadap pemilik hak cipta. Hal ini juga sesuai dengan Pasal 25 ayat 1 dan 2 UU Hak Cipta.
Hal itu ditegaskan kembali oleh KPID DKI Jakarta dan seluruh regulator yang hadir dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema 'Tata Kelola Materi Siaran terhadap Hak Siar dan Hak Cipta di Lembaga Penyiaran' yang digelar oleh PS2P KPID DKI Jakarta pada Rabu, (26/9/2019).
(rhs)